Uang dan Mamon (30 Maret 2019)
Surat untuk Sahabat
Surat untuk Sahabat
D yang terkasih,
Betapa istimewanya hidupmu. Kau adalah debu-debu bintang yang bercecar di semesta. Dalam sebuah kesempatan mereka berkolisi, lalu menjadi bumi, menjadi kabut tipis dan gelarit awan di stratosfer, menjadi tumbuhan di bumi, menjadi hewan, dan menjadi orang tuamu. Lalu menjadimu. Betapa panjang lintasan yang harus dilalui oleh debu-debu bintang itu sejak mereka berabduksi dari sang sumber. Maka tak ada alasan untuk menyatakan bahwa kau biasa saja. Kau adalah sebuah kesempatan yang tercipta dari kengerian yang menakjubkan tapi juga kelembutan yang mengguncangkan. Dan kau benar, kau berkawan denganku, tapi juga dengan asteroid, aurora, dan kursi yang kau duduki. Kita semua berasal dari orang tua yang sama saja. Debu-debu bintang.
Dan kita pun berpikir* - juga merasa, juga bermimpi, juga bertanya dan curiga - dan semuanya berubah.
(*Aku mengatakan berpikir di awal tanpa sedang mengatakan cogito ergo sum dan meninggikan sains daripada iman, semuanya berjajar, mungkin berserupa, tapi hanya sedang mencari bahasa yang bisa mempertemukan kita. Sekadar biar kita bisa saling bicara.)
Kau tak lagi sekadar debu-debu bintang sesudahnya. Kau menilai hidupmu, dan hidup yang lain. Salah satu yang segera muncul dariku adalah: kau tak biasa karena prosesmu yang panjang. Tapi sebenarnya bukankah kita sama saja, tanpa itu pun kita ada sebagaimana adanya kita.
Demikian pula atas uang dan mamon.
"Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." Matius 6:24.
Apa yang terjadi berikutnya? Kita seolah dipaksa untuk memilih Allah atau Mamon. Mengapa memilih? Karena kita selalu diajarkan berpikir dualistis. Ini dan itu, kau tak bisa merengkuh keduanya, maka kau, ya kau, harus memilih. Segala nilai yang kita bangun dari pikiran akhirnya berujung pada sebuah kesunyataan: pilihan. Menjengkelkan, tapi dari banyak hal, kita sering tak bisa - atau tak diijinkan - mengelak. Pilihan itu membentuk sebuah bangunan - konstruk, karena dia bukan kenyataan tunggal, dia senyawa - yang kita sebut etika.
Lalu kau, sebagaimana aku, diajarkan di sekolah kita. Etika adalah tentang memilih yang baik dan yang benar. Yang tepat. Tapi lihatlah lintasan debu-debu bintang tadi, kita tak benar tahu apakah mereka sedang menuju sebuah kesimpulan, atau mereka meniatkan diri membentukmu dan aku. Mengapa kita begitu yakin bahwa memang ada yang benar dan baik. Dalam lintasan tanpa pretensi, tak berterimakah kita jika semuanya sejatinya tanpa makna saja? Ataukah kita ini manusia karena kita makhluk yang mendambakan makna.
Dan atas hobi kita memakna - Allah adalah baik, dia adalah sistem. Mamon adalah buruk, dia adalah pencar.
Lalu yang biasa kau dengar harus kukatakan lagi: Betapa gereja kita membenci uang. Berbicara tentang persembahan dalam khotbah, seperti tidak layak. Kita harus membangun narasi untuk menjadikaknnya baik, misalnya bazar kalau diadakan di gereja baiknya untuk kepentingan gereja, bukan kepentinganmu. Menggunakan uang gereja untuk usaha adalah keliru, kecuali dalam rangka pemberdayaan. Kita khawatir terjadinya korupsi uang di gereja. Tapi bujubuneng, kita mencintai uang tiada tara.
Jika uang adalah mamon, maka hubungan kita dengannya rindu dendam. Benci untuk mencinta, cinta untuk membenci. Jangan dikuasai mamon, jangan dikuasai uang. Tetapi kuasailai dia. Kita makhluk paling mulia katanya, salah satunya karena kita segambar dan serupa Allah, maka tak boleh kemuliaan itu terkalahkan oleh dikuasai.
Tapi tidakkah kau lelah dengan segala perbincangan tak kreatif itu. Mengulang-ulang saja, dan berujung pada dilemma yang serupa. Itu-itu saja. Kesimpulannya juga itu-itu saja: kita butuh uang, tapi uang bukan segala-galanya. Lalu apa yang segala-galanya? Kita. Atau paling tidak keinginan kita menjadi manusia serba makna.
Aku memang melihat kehancuran-kehancuaran yang disebabkan karena uang. Mulai dari seorang pribadi, relasi, hingga negara. Gereja juga termasuk, berapa yang terpecah karena itu. Itu membuat kita membenci uang sedemikian rupa. Dan uang menjadi kata lain dari mamon. Sikap kita terhadapnya begitu buruk. Tapi sadarkah kita, entah dengan bahasa antisipasi atau apa lah, etika kita dibangun di atas trauma. Uang lalu dikaitkan dengan keserakahan, dikaitkan dengan penguasaan, dikaitkan dengan penindasan, dikaitkan dengan kebohongan, prostitusi online 80 juta, OTT di Kemenag, kolonialisme dan bencana.
Uang menjadi monstrous, serupa lendir vagina, dibenci sedemikian rupa. Tapi monstrous apa pun selalu diam-diam dicinta. Paradoksal.
Apa yang hilang? Ada narasi-narasi yang luput ketika etika kita dibangun dari trauma. Serupa Trump yang mau membangun tembok menyekitar Amerika Serikat. Terkait uang, yang hilang adalah kerja keras. Gereja pun menjadi pemalas, lalu saking malasnya berusaha, mereka memilih ribut kalau urusan dana. Saling menyakiti. Karena mereka membenci uang. Pokoknya uang jelek, gak peduli dari korupsi atau dari kerja keras, Gak peduli kita dapatnya susah payah memerah otak, memeram rasa, memeras daya upaya kita ataukah sekadar barang di atas meja untuk ditukar meja yang lain. Pokoknya uang adalah mamon, begitu saja. Maka aku mengerti mengapa agama begitu membosankan, begitu baik, begitu kelu bertemu dengan realitas yang tak sesuai dengan makna dan harapannya.
Kau ingat cerita tentang bendahara yang tidak jujur? Yesus memuji bendahara itu, tapi kadang kita tak mau mengakuinya. Mungkin karena tidak mungkin Yesus memuji sikap tidak jujur sang bendahara. Kita takut mereka, atau kita - tapi utamanya mereka - menjadi seperti sang bendahara. Mereka tak mau menerima bahwa Yesus memujinya. Tepatnya dia mengatakan, "Anak terang gak sekreatif bendahara yang tidak jujur itu." Bendahara yang tidak jujur itu kreatif, anak-anak terang dalam etika mereka berhenti menjadi kreatif.
Maka kembalilah kita pada debu-debu bintang. Kita dan uang tak berbeda dengan kita dan Allah. Kita sama-sama membutuhkan mereka. Tapi ketika mereka berlebihan kita menjadi eneg. Debu-debu bintang menjadi kamu dan aku. Lalu pada kesempata lain menjadi cermin dan televisi. Menjadi planet dan cincin Saturnus. Mereka kreatif, tak berburuk sangka, tidak dualistis. Entahlah mengapa kita begitu dualistis, lalu memilih menjadi satu kutub saja.
Bagaimana menurutmu?