Menimbang moralitas
Surat untuk sahabat
(24 Maret 2019)
D, yang terkasih, kali ini aku akan bercerita tentang sesuatu yang sangat menggangguku. Moralitas.
Tentu sama seperti biasanya kita akan berbicara terlebih dahulu tentang semesta, karena kurasa kita menikmati pembicaraan tentangnya. Kali ini, aku akan berbicara sebuah konsep fisika tentang entropi. Begini, lebih baik kita memulainya dari narasi tentang waktu. Ketika kita berbicara tentang waktu (aku tidak akan berbicara mengenai kronos dan kairos, anggaplah pembicaraan demikian sudah cara yang telah menjadi kemarin), ada dua cara yang biasa dipakai.
Yang pertama, waktu bersifat linear, kita melihatnya sebagai garis. Benar konsep demikian banyak muncul dari agama-agama, sejak yang paling purba. Sebuah cerita dimulai dari pada mulanya dan berujung pada akhirnya. Konsep-konsep eskatologis biasanya melihat waktu demikian, ditambah eskalasi yang terus naik, waktu akhir akan menjadi klimaks. Di ujung waktu, yang puncak itu, akan ada - pada titik ini biasanya terjadi penyimpulan yang beragam, tergantung seberapa optimis agama-agama tersebut – entah kiamat atau langit bumi baru atau perang atau kerajaan penuh damai. Ilmu pengetahuan pun serupa, upaya mencari awal mula semesta dengan big bang hingga pada akhirnya – menimbang sekarang gerak segala benda semesta semakin menjauh, semakin cepat dari pusat – bisa jadi hilang sama sekali. Walaupun ada yang masih berpandangan bahwa semesta akan mengembang hingga akhirnya kembali kisut.
Yang paling terasa dari pola ini adalah lahirnya upaya untuk progresif. Karena sesuatu memiliki awal dan akhir, maka akhir adalah puncak dari progres. Bukankah eskatologi selalu berpuncak. Hari besok diharapkan menjadi lebih baik dari hari kemarin. Moralitas yang terbangun darinya adalah moralitas yang cenderung biner, sudah nampak dari ada awal di poros satu, dan akhir di poros lain. Kemarin dan masa depan (bolehlah ditambah hari ini – tapi biasanya hari ini menjadi bagian yang gamang, karena kecenderungan untuk membandingkan lampau dan akan). Ada baik, maka ada buruk. Ada salah, maka ada benar. Maka bisa dimengerti jika moralitas yang lahir kemudian adalah untuk menjadikan besok menjadi lebih baik dan benar. Buruk dan salah dihindari atau bahkan enggan ditengok, karena kemudian proyeksi diarahkan pada yang baik dan benar. Demikianlah banyak orang mengatakan ‘ayo memperbaikinya esok’.
Pernahkah dikau bertanya kepada seseorang, dan sama seperti Aristoteles orang tersebut menjawab, ‘Tujuan hidup saya adalah untuk bahagia.’ Dugaanku banyak yang begitu. Bahagia lalu diidentikkan dengan tawa, cerah, lega, tuntas, ria, harmonis, ideal, perkasa, cantik, gemilang, berprestasi, juara. Dan kebahagiaan mereka diarahkan ke sana. Dan dikau segera tahu, kan, yang demikian ini membuat orang jadi mensubordinasikan lemah, getas, kelam, sendu, gelap, disintergrasi, pupus, semplah, dendam, marah, hancur. Bukankah ungkapan, ‘jangan lupa bahagia’ cenderung bernuansa demikian. ‘Jangan lupa bahagia’ berarti jangan hancur, jangan runyam, jangan buruk, jangan salah, dan sebagainya.
Aku rasa inilah moralitas yang sekarang ini kita sering sebut dengan etika – juga etiket. Etika adalah menjadi progresif, going up. Dari sana tanggung jawab moral muncul. Juga tentang tidak bermoral. Bahwa seorang perempuan hamil di luar nikah itu buruk. Aku sengaja berkali-kali menyinggung ini, karena di banyak cerita linear, ini bencana. Ya seksualitas menjadi normatif di sini. Kita bisa menyebutkan Agustinus di sini. Upaya memperbaiki dan membenarkan melahirkan sikap patriotik yang heroik. Mesianik, hingga sindrom juru selamat. Karena dalam yang linear, orang berusaha menanjak. Ah bahkan para tokoh tasawuf pun juga kadang begini juga. Termasuk seni, semakin tidak jelas semakin ‘baik’. Apa yang kerap dikorbankan dalam yang demikian? Dugaanku, biasanya relasi. Karena orang ingin baik, maka dia merelatifkan relasi. Pandangan mereka pada apa yang seharusnya baik dan benar, itulah yang dilakukan, itulah tujuan atau dalam menjadi untuk tujuan.
Untuk melihat yang kedua, aku akan mengajakmu berjalan ke Peru, tepatnya Chankillo. Tidak seterkenal Easter Island, kuil Maya atau Inka, tidak juga seramai pembahasan tentang Stonehenge. Namun di sana kita akan bertemu sebuah kalender kuno, yang diduga berusia sekitar 2500an tahun. Bentuknya tiga belas menara diagonal. Matahari akan bersinar di sisi lain yang berseberangan dengan kita, dan setiap bulan matahari akan bergeser, di masing-masing cekung menara tersebut. Dari sana mereka lalu menghitung bulan. Mereka menjadi tahu kapan musim tanam dan musim dingin. Mereka tahu bahwa setiap tahun, matahari tidak akan bergeser linear, tapi akan berkitar saja kiri ke kanan, kanan ke kiri. Melulu di situ. Y acara lain membaca waktu adalah sirkular. Persis seperti ouroboros, kita bisa membedakan kepala dan ekor, tapi karena ekor adalah kepala, maka tak ada ujung dan ujung. (Aku tahu ada orang yang berusaha menggabungkan keduanya, misalnya dengan sirkular progresif, beberapa menggabungkan dengan cemerlang, beberapa lalai).
Hanya dengan berangkat dari yang kedua inilah aku merasa kita akan bisa mengerti (dan menghargai) entropi. Setelah ini bersiaplah dengan bahasa yang mungkin tidak mudah (aku pun mungkin tak sepenuhnya paham, sial!). Tapi sebelumnya begini, kita memang bisa melihat entropi dari cara pandang linear, tapi akan ada yang hilang, khususnya jika yang linear selalu diharapkan progresif.
Entropi muncul dalam konsep termodinamika, melahirkan hukum termodinamika yang kedua, bunyinya kurang lebih ‘dalam sistem terisolasi – ya memang artinya diidealkan – maka entropi selalu bertambah dan konstan’. Entropi digunakan untuk mengukur energi dalam satuan untuk setiap temperatur. Entropi adalah kecenderungan sistem bergegar terkait panas. Jika panas ini lalu kemudian terisolasi, entropi akan terus naik. Jika entropi terus naik, maka sistem menjadi semakin gegar.
Contohnya begini: lihatlah sebuah batang kayu, lama kelamaan batang kayu menjadi rapuh. Ketika kayu kokoh entropinya rendah, ketika kayu rapuh hingga melapuk dan hancur, maka entropinya semakin tinggi. Lihatlah sebuah rumah yang tidak ditinggali sekian lama, rumah itu menjadi dingin dan guyah. Bahkan kadang tiba-tiba merontok setelah sekian tahun tak dihuni. Pada saat itu entropi rumah tersebut semakin tinggi. Namun ketika rumah itu dihuni, terjadi aliran panas yang datang dan pergi, dari penghuninya, dari alat-alat rumah di dalamnya, dari pembakaran dapur – lalu anehnya rumah itu lebih kokoh daripada ketika rumah itu tidak dihuni. Bukan sekadar karena rumah itu dirawat, tapi karena karena muncul relasi antara rumah dengan yang ada di dalam dan di luar rumah. Relasi ini kemudian menjadi agak lebih berarti.
Ya, panas selalu bergerak dari yang suhunya tinggi ke yang suhunya rendah, maka gerak bolak-balik selalu terjadi, karena kenyataannya, dalam realitas, panas selalu bergerak. Maka entropi ini naik dan turun, bukan karena usaha – entropi sama sekali tidak mengukur usaha – tapi karena terjadi relasi. Maka bukan usaha memperbaiki yang menjadi tidak lebih penting dibandingkan terus terjadinya proses yang merelasi. Entropi pun lalu kadang naik kadang turun bersama relasi tersebut. Dalam sistem termodinamika tertutup entropi memang terus bertambah, sebuah sistem semakin rapuh. Namun sistem demikian kan nyatanya tak benar-benar ada. Maka yang linear (entropi bertambah dan konstan) sebenarnya tidak benar-benar ada, atau paling tidak tak selalu ada.
Ya! Ini menggentarkan! Dalam prinsip sirkular, tidak ada baik dan buruk, tidak ada benar dan salah, tidak ada besok dan kemarin. Moralitas a la mode pertama, tak berlaku di sini. Kau pasti pernah mendengar tentang kisah anak petani, tentara, kemalangan, dan keberuntungan. Serupa itu kekira. Kerapuhan, kegetasan, kebencian, kehancuran, keperkasaan, kegemilangan tak tergantung dari usaha. Kali ini sistem bergantung dari relasi-relasi yang ada di dalamnya. Relasi dijaga bukan dengan saling melekat tapi selalu berketegangan. Relasi kadang kala juga tak diusahakan tapi selalu menjadi, segala hal selalu merelasi. Masak kamu mencoba berelasi dengan tembok rumahmu? Menari-nari seperti penari tembok.
Maka sistem yang demikian tidak takut pada sakit, pada lama, karena itu hanya sebuah kesementaraan dalam keterkaitannya dengan relasi. Tidak ada yang hancur lebur, karena hancur lebur adalah cerita lain dari pembangunan. Tidak ada pembangunan, karena pembangunan adalah cerita lain dari hancur lebur.
Dalam sistem demikian, kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menikmati. Menikmati darah yang mendidih, menikmati darah yang mengalir, menikmati darah yang membeku. Karena ya bisa berarti tidak, dan tidak bisa berarti ya. Dan ya kenikmatan juga terkait selalu kagum.
Kamu mungkin bertanya apakah yang demikian ini ada? Kita adalah buktinya yang demikian ini ada. Kita menjauh dan mendekat. Namun sepanjang relasi kita terjadi, mendekat dan menjauh tak lagi masalah, karena kita terus saling bersinggungan. Jika pun kita kembali pada kebahagiaan tadi, kebahagiaan adalah kita yang masih saling menghangatkan, dan kadang juga mendinginkan, tapi masih kita. Seksualitas adalah intimasi yang paling merelasi, maka seksualitas dihargai. Hamil di luar nikah tak masalah, karena itu adalah bagian dari sebuah perlintasan yang terus menerus menjadi dan menjadi. Tak masalah menjadi baik atau buruk. Entahlah mengapa banyak orang takut gagal, takut jatuh dan tersungkur. Mungkin karena moralitas yang linear sudah terlalu kuat kita pegang. Perang dan keinginan berkuasa salah satu dampak dari keinginan unggul, tanda bahwa kita mendamba yang berundak, dan sebisa mungkin di puncak undakan. Tapi benarkah ada undakan?
Kamu benar, dalam hal ini ternyata aku pun masih dualistis. Tapi ketimbang memilih salah satu dari yang dualistis tadi, yang terjadi adalah tawaran bermain di keduanya. Seperti seorang anak kecil yang berjalan di sepasang rel kereta api. Ke sana dan ke sini. Bukankah kita selalu tentang ke sana dan ke sini, linear dan sirkular. Lalu memunculkan vektor-vektor lain, yang tak sekadar lurus atau patah-patah, atau lengkung, tapi bahkan benang ruwet dan serba abstrak.
Maka sampai di tahap ini aku akan berhenti. Bukan karena segala cerita ini serba cukup, atau serba tidak cukup, tapi supaya kita sejenak berdiam. Dan karena dalam segala kegelisahanmu dan pernyataanmu, ‘ngomong opo to iki, kok mbingungi!’ sejatinya diam-diam kau paham yang kumaksudkan. Atau sebaliknya jika kau mengatakan paham, kau sama sepertiku, sejatinya tak benar-benar paham. Kita bodoh yang sepintar-pintarnya, pintar yang sebodoh-bodohnya.
PS: Jujurlah! Bukankah ketika sedang beriang dalam berhujan-hujan, atau ketika kau sedang berair mata sesenggukan dalam terang cemerlang, kau sebenarnya menikmatinya juga.