Kamis, 14 Oktober 2021

"Happy Anniversary!" 💕


Aku menemuinya tergesa. Sudah setahun ini kami selalu bertemu di sebuah tempat istimewa dengan rumput hijau di bawah naungan pohon kamboja dengan rumpun kembang kertas yg seperti di semai begitu saja.. Ku bawakan mawar yang mewangi dan sedap malam yang berbatang kurus tak melengkung dan terlihat jangkung.. "Happy Anniversary!", bunga kuberikan, terlihat romantis bukan?


Seperti layaknya orang-orang lain yang merayakan ulang hari istimewanya entah itu tanggal jadian atau pernikahan, maka kami pun jua. Tepat di hari ini, Oktober tanggal dua. Kami mengingat dan merayakannya sebagai anniversary perpisahan kami, 12 bulan sudah tak bersama lagi..

Kami mengenang waktu dulu, tertawa menertawakan masa kecil atau kejadian apapun yang bila dikenang kembali hanya akan menjadi cerita lucu, menceritakan apa saja yg terjadi kini dan mengakhirinya dengan berbalasan doa yg kadang menyusutkan air mata. Lalu berpadulah janji: "Kita akan bertemu lagi.." lalu dia menjawab: "Ah, bukankah kita bertemu setiap hari?"

Terkadang ada baiknya pula merayakan perpisahan. Apalagi jika dia tak benar-benar berpisah dari kita. Setahun jasadnya akan lepas, tinggal tulang-belulang yang terurai lebih lama. Yang lain akan melebur, menjadi tanah atau udara, menjadi kabut atau ion air, bulu kucing, dedaunan di pekarangan. Mengisi semesta. Menanungi dalam wujud yang tak terkira. Apalagi kita berbagi DNA yang sama.. Tak benar-benar berpisah, justru mengada yang sebenarnya..

"Happy Anniversary yang pertama.." Bunga mawar yang menguarkan aroma dan sedap malam yang jangkung kuletakkan di pusara.. 💕

Jumat, 29 Januari 2021

MISTERI: Teror Yang Sesungguhnya (Surat Untuk Sahabat)

 MISTERI: Teror yang Sesungguhnya (Surat untuk Sahabat)

~30 Januari 2017~


D, yang terkasih
Katanya, ada hantu di luar sana. Sebagaimana hantu lain, ia tak nampak, namun ditakuti. Begitu ngeri hingga mendengar namanya saja orang sudah tak tenang. Presiden pun takut padanya, apalagi rakyat. Bahkan lembaga besar seperti Bank Indonesia harus menyatakan diri bahwa mereka bebas darinya. Kita mengerti permainan ini, karena ada beberapa orang yang belakangan berlagak bermain jelangkung. Memanggil-manggil hantu itu untuk kembali muncul. Mereka ingin menjual ketakutan dengan harga murah.
Beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sejak goyahnya sang Bapak Tua, isu hantu itu kembali muncul. Ada kelompok-kelompok yang berusaha meyakinkan satu sama lain, bahwa sebenarnya mereka bukan hantu. Mereka hanya disebut hantu supaya orang tak berani mendekat, supaya pohon keropos itu tak disentuh, dan dibiarkan benalunya mengakar sampai ke dasar bumi. Dan ketika kita akhirnya tahu kenyataan tentang pohon itu, kita mengutuknya. Kisah hantu itu kita tahu hanya rekaan.
Tapi mungkin alam bawah sadar kita punya cara lain untuk bekerja, mereka tetap menakutkan di dasar sana. Disangkut pautkan dengan hantu itu berarti engkau layak dibenci. Atau setidaknya diseringai. Seolah upaya meyakinkan cerita yang sudah usang itu tak benar-benar berguna. Dalam hati kita, sang hantu tetaplah hantu. Dan selamanya akan begitu.
D, yang terkasih
Tahukah engkau apa yang paling menakutkan di dunia ini? Aku akan memberitahumu: teror. Ketika kita takut, kita dirampas olehnya. Ketika kita berani melawannya, kita siap mati. Atau bagaimana jika tidak demikian?
Di dunia manusia ini tidak ada yang tahu kedalaman hati. Seperti seseorang yang menyatakan berpindah agama, namun dalam nurani mereka sebenarnya tak pernah benar-benar berpindah. Mereka menyatakan berpindah karena penderitaan terlalu berat. Karena mereka berjuang untuk yang mereka sebut hidup. Jika untuk hidup mereka sendiri, kita mungkin menyebut itu kekhawatiran, namun bagaimana jika itu untuk orang tua? Atau untuk mereka yang terkasih?
Kita yang hidup jauh dari teror dan ketakutan, yang masih bisa makan dua kali sehari tahu berdiet. Tapi mereka tak perlu diet untuk menjadi kurus, karena mereka mengasihi yang lain. Pilihan mati mungkin lebih mudah. Namun kematian mereka nyatanya tak membuat teror itu berhenti. Teror itu hanya berhenti jika mereka mengaku murtad. Maka apa yang akan kau pilih? Mengaku murtad dan mereka hidup. Atau engkau memilih mati dan mereka ikut mati. Jangan bertanya padaku, aku tidak tahu. Dan aku akan mengatakan: jika kau memilih murtad, kau tak setia; jika kau memilih setia, kau egois. Entahlah mengapa hantu itu begitu perkasa.
Kau mungkin bertanya kepadaku, apakah ada yang begitu? Jawabku ada. Banyak. Dan jangan bertanya padaku bagaimana, karena aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
D, yang terkasih
Selama ini, dalam matematika kita diajarkan tentang adanya bilangan riil yang terdiri dari bilangan rasional dan bilangan irasional. Bilangan rasional dapat dinyatakan dengan a/b dengan b tidak boleh nol. Bilangan irasional adalah bilangan yang tidak bisa dibagi atau hasil baginya tidak akan pernah habis. Bilangan rasional seperti ¾ atau 5/35 dan sebagainya. Bilangan irasional seperti π, √2 atau e. Bilangan rasional akan sangat berguna untk menghitung jumlah uang kita, jumlah ayam di kandang, atau jumlah pecahan roti hingga pembagian warisan. Tapi kita tidak akan bisa menggunakannya untuk menghitung volume sebuah tabung, bahkan sekadar untuk luas lingkaran. Karena ada bilangan ajaib π yang tiba-tiba muncul di sana. Tiba-tiba dengan 22/7 semua bisa diselesaikan. Dari mana 22/7 itu? Kita yang selama ini belajar matematika dasar, hanya tahu tentang π, tapi dari mana π berasal apakah kita pernah tergelitik untuk bertanya? Dan anehnya hanya dengan π itulah volume sebuah tabung, bola, atau luas lingkaran bisa ditemukan. Artinya bahwa selama ini angka yang kita ketahui secara umum sangat sederhana, padahal dalam perihal paling sederhana yang kita jumpai dalam hidup pun, ada bilangan irasional.
Dan jika dikau sudah mulai bertanya tentang asal muasal π, atau √2, dikau mulai akan bertanya tentang adakah bilangan yang tidak riil. Maka dikau di jalan yang benar, karena memang ada angka yang tidak riil. Kita menyebutnya bilangan imajiner yang biasa disebut dengan i. Bilangan ini jauh lebih ajaib daripada bilangan irasional (jika dikau menganggap bilangan irasional sudah ajaib). Sebutlah dikau menyelesaikan x² + 1 = 0, atau dengan kata lain x = √-1. Bagaimana mungkin menyelesaikan √-1 jika dikau tahu akar dari bilangan negatif saja tidak ada? Maka kita mengenal i atau bilangan imajiner. Dalam bentuknya yang paling sederhana i = √-1. Semua bilangan yang memiliki sifat √-1 adalah bilangan imajiner. Bilangan yang tidak ada, tapi sebenarnya ada.
Dikau mungkin bertanya kepadaku untuk apa bilangan i ini? Dan aku akan menceritakan sedikit kegunaannya. Bilangan ini digunakan untuk memelajari aliran fluida di sekitar obyek tertentu, untuk memelajari deret tak hingga, fisika kuantum. Atau paling sederhana dia berfungsi untuk pemodelan gelombang. Tanpa i, kita tidak akan bisa berkomunikasi lewat henpon atau radio. Karena satu-satunya cara membuat pemodelan gelombangnya adalah dengan bilangan imajiner. Bilangan yang tidak ada itu. Termasuk ketika dikau mengisi baterai di henponmu dengan mencolokkan chargermu di colokan listrik rumahmu. Ada proses aliran arus listrik yang hanya bisa dihitung dengan menyertakan bilangan imajiner di dalamnya. Tanpa bilangan imajiner, kita tidak akan bisa terbang ke angkasa dan pulang dengan selamat.
Ada bilangan riil ada bilangan imajiner, mereka semua disebut bilangan kompleks. Dan percayakah dikau, bahwa semua bilangan yang kita jumpai di semesta ini dalam kondisi aslinya adalah bilangan kompleks. Yang kita sebut 2+2=4 adalah penyederhanaan yang sesederhana mungkin, agar bisa diselesaikan oleh anak SD hingga SMA. Karena segala hitungan matematikan di dunia ini sejatinya pasti mengandung bilangan imajiner. Hanya saja untuk memudahkan, i tersebut terpaksa dihilangkan. Semuanya kompleks, aliran darah dalam tubuhmu, udara yang kau hirup, pijar hemponmu yang menyala semuanya kompleks dan semuanya mengandung bilangan imajiner ini.
Apakah ada bilangan lain selain bilangan riil dan bilangan imajiner yang termasuk bilangan kompleks. Kemungkinan itu sangat besar ada. Sama seperti mungkin sekali ditemukan ada unsur kimia lain selain unsur kimia yang terdapat dalam sistem periodik unsur yang kita pelajari dalam pelajaran kimia di sekolah.
Kehidupan ini begitu kompleks. Mengapa kenangan tidak mudah dihapuskan. Mengapa kehilangan begitu menyakitkan. Mengapa orang-orang baik itu harus menderita. Mengapa seorang gadis dan seorang pria yang duduk di tempat yang sama bisa saling jatuh cinta. Aku bukan bertanya tentang bagaimana, tetapi mengapa. Dan mengapa itu jauh lebih rumit daripada bagaimana. Kau bisa menjawab bagaimana memasak kue cucur, tapi mengapa kau memilih untuk memasak kue cucur bukan jawaban yang mudah. Sekali lagi misteri.
D, yang terkasih
Aku akan kembali pada hantu dan teror yang menjadi pembicaraan kita di awal. Ketahuilah D, sebenarnya aku tak tahu banyak hal. Mengapa hantu itu harus dihindari. Aku bisa menduga-duga, namun aku tak pernah tahu. Dalamnya hati siapa tahu, karena mungkin bahkan sang pemilik hati pun tak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Mungkin jika ada yang tahu, itu adalah Sang Misteri. Sang Kompleks yang mewadahi semuanya. Dan kadang kita menyederhanakan semuanya begitu saja, seolah-olah yang begini pasti begitu. Mereka yang tidak setia sedang berkhianat. Bahwa rajin pangkal pandai dan hemat pangkal kaya. Mereka yang menyebut ayat Alkitab yang lain sedang menistakan agama. Pengetahuan kita tentang bilangan rasional saja tidak jangkep, kita sudah mau berbicara seolah kita adalah bilangan kompleks itu sendiri. Seolah kita mengerti Sang Misteri. Bagaimana berbicara tentang itu, jika kita saja tidak tahu mengapa kentut kita berbau.
Yang aku tahu bahwa teror adalah upaya untuk membatasi Sang Misteri dengan memasukkannya ke dalam kotak kecil sebesar biji kacang tanah. Dan setelah Sang Misteri dipaksa masuk, lalu semuanya dipaksa masuk ke sana. Yang aku tahu itu jahat. Mengapa tidak menjadi rendah hati saja dan mengakui bahwa Misteri itu punya ceritanya sendiri. Jika ada teror yang sejati, sesungguhnya Sang Misteri itulah teror yang sejati. Karena hanya dia yang bisa mengerti tentang dirinya sendiri, sang segalanya. Maka jika gentar, gentarlah padanya, karena yang lain terlalu sederhana dibandingkannya. Maka dengan demikian tidak perlu takut dengan patah hati, tidak perlu khawatir dengan gagal, tidak perlu ngeri pada hukuman, tidak perlu gentar pada apa pun, kecuali pada Sang Misteri.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berpindah agama untuk menyelamatkan keluarganya? Mengapa yang disebut Tuhan diam saja? Atau tidak diam? Apakah Tuhan sungguh-sungguh ada? Untuk itu pun aku tidak tahu, bahkan ketika aku seorang pendeta. Yang aku yakin (jangan tanyakan mengapa aku yakin, aku tak tahu), mengasihi saja cukup. Karena hanya dengan mengasihi kita menyatukan semua bilangan di dunia, menyatukan semua unit, mewujudlah Sang Misteri.
PS: Jangan-jangan yang biasa dikatakan orang-orang dengan begitu sederhana itu benar, bahwa siapakah Sang Misteri, dia tidak lain adalah Cinta, tanpa syarat. Bukankah ini menggelitik, Sang Misteri itu adalah Teror, namun dia juga Cinta.
Gide

Rabu, 07 Oktober 2020

INGATAN PERTAMA

 INGATAN PERTAMA

21 Mei 2020

“Lembaran foto hitam putih, Kembali teringat lagi wangi rumah di sore itu. Kue coklat balon warna warni, pesta hari ulang tahunku..” (Monokrom ~ Tulus)

 

Suatu kali, G mengajukan 1 pertanyaan yang tak pernah ditanyakan orang lain sebelumnya. Ah, bukankah ia selalu begitu, membuka sekat dalam sisi hidup dengan sesuatu yang baru. Sial, kini aku jadi merindukan saat-saat kami bertemu, nonton, berbincang, tertawa sampai menangis tersedu. Apa yang ia tanyakan? Tetiba ia berkata: “Des, apa ingatan pertamamu?” Kami sama-sama berpikir, mengaduk-aduk masa lalu.

 

Sejauh yang saya ingat, memori pertama saya adalah digendong mburi oleh ibu dengan selendang yang berbau apek ketika saya ikut ibu ke pasar untuk kulakan barang dagangan. Saya bercampur dengan aneka sayuran dan barang-barang eceran. Ingatan saja juga tertuju saat saya bermain di lincak dengan beberapa gelundung kelapa atau saat saya main sepeda didorong oleh beberapa anak tetangga yang sebaya.Mungkin saat itu saya berumur 4 atau 5. Semua yang saya ingat adalah pengalaman yang baik dan gembira walaupun saya hidup dalam sederhana. Berbeda dengan sahabat saya, ia pun mulai bercerita. Ingatan pertama yang terlintas di pikirannya adalah mendorong pintu Bersama budhenya saat angin besar menerpa. Beberapa kepahitan dan trauma hidup yang pernah dia rasakan masih terekam jelas di benaknya. Menurutnya, secara langsung ataupun tidak, itu mempengaruhi hidupnya, ikut membentuk dirinya.

 

Barusan saya membaca beberapa artikel tentang ingatan pertama. Menurut penelitian, rerata memori awal manusia berada di usia 3 tahun, tepatnya 3,24 tahun. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh 3 universitas yaitu London, Bradford dan Nothingham University mengatakan bahwa ada juga yang mengaku memiliki kenangan saat berusia 2 tahun ke bawah. Dalam jurnal Psychological Science yang mereka terbitkan, sebanyak 6.641 relawan dilibatkan dan sebanyak 38,6% bisa mengingat apa yang terjadi di usia 2 tahun. Bahkan 893 orang diantaranya memiliki ingatan saat masih berusia 1 tahun. Wah, hebat betul!

 

Namun, kata ilmuwan itu, ingatan di bawah 3 tahun dianggap sebagai kenangan fiktif berdasarkan ingatan yang terlintas dalam pikiran mereka, misalnya warna baju, kereta dorong, anggota keluarga dan sebagainya yang muncul sebagai pengalaman masa lalu yang terlintas dalam pemikiran mereka atau representasi mental episodikmemori. Kenangan fiktif ini terjadi karena manusia biasanya salah memperkirakan umur saat mengingat masa lalu. Di samping itu, perkembangan memori belum sepenuhnya terbangun sampai pada usia 3-4 tahun di dalam otak kita yang punya 86 miliar neuron dan 10 triliun sinapsis ini. Dan yang lebih membuat kita lebih hati-hati adalah 75% kekeliruan berasal dari memori visual yang salah. Lhah…

 

Di samping itu, ada factor pembentukan Bahasa yang memudahkan kita mengingat dan berbagi cerita yang teratur dan rinci. “Bahasa bisa membantu menyediakan struktur atau pengaturan akan memori kita, dan itu adalah sebuah narasi. Dengan menciptakan sebuah kisah, pengalaman ini menjadi lebih terorganisir, dan maka jadi lebih mudah diingat.” Demikian kata seorang ahli.

 

Trivia: Tahukah kita bagian otak apakah yang bertanggung jawab menyimpan kenangan? Seperti saat kamu mengingat memori tentang dia yang tak pernah bisa dimiliki? Eaaa…

 

Yup, adalah hipokampus yang bertugas mengelola memori, baik jangka pendek atau Panjang. Makanya, jika kita nyanyi “lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia..” maka suara kita harusnya ditujukan padanya. Namun apakah pertumbuhan hipokampus yang belum penuh ini menjadi penyebab mengapa kita tidak bisa mengingat peristiwa masa kecil kita dan lebih cenderung pada ingatan palsu belaka? Lalu bagaimana dengan ingatan pertama yang kita yakini sepenuhnya terjadi pada usia dibawah 3?

 

Nah, justru itulah hebatnya otak kita!!! Peristiwa masa lalu akan terus mempengaruhi perilaku kita bahkan lama setelah kita melupakannya. Maka psikolog berpikir bahwa ingatan ini bertahan di suatu tempat. Ingatan ini mungkin akan tersimpan di suatu tempat yang kini tak bisa diakses, namun sulit untuk menunjukkan itu secara empiris. Jadi sampai saat ini pun masih menjadi misteri. Wah, otak kit aini keren sekali!!

 

Jadi harus bagaimana? Maka kita harus hati-hati saat mengingat apa yang terjadi pada masa itu -masa kecil yang mungkin penuh dengan ingatan palsu akan peristiwa yang sebenarnya tak pernah terjadi. Elizabeth Loftus, psikolog di University Of California mengatakan bahwa “Orang bisa mengambil suatu sugesti dan mulai memisualisasikannya – sehingga menjadi semacam ingatan.” Katanya.

 

Namun, bagaimanapun juga, mengingat ingatan pertama semasa hidup ternyata seru juga. Kepada Bu Haky saya sempat menanyakan pertanyaan serupa. Dia bercerita tentang banyak hal dari masa kecilnya yang sering sakit dan pengalamannya terperosok ke sungai yang membuatnya hamper kehilangan nyawa. Pengalaman pertama yang membuatnya memaknai betapa pentingnya Kesehatan dan juga cinta kasih dan pengorbanan keluarga kepadanya. Sedangkan bagi saya, kenangan pertama membuat saya bersyukur bahwa hidup saya luar biasa sejak saya bisa mengingatnya dan bersyukur dibuatnya meski hidup kadang tak sempurna. Sedang untuk sahabat yang pernah memiliki trauma dan berusaha merengkuh dan menerimanya, berproses dengan berat untuk bisa bergandengan tangan dengannya dari hari ke hari dan menjadikannya sekarang sebagai karakter yang mendewasa, kepadamu saya menaruh hormat sedalam-dalamnya.

 

Setiap orang punya memori pertama yang akan selalu diingatnya baik fiksi maupun fakta. Ada yang manis, ada yang traumatis. Ada yang begitu sukacita saat mengingatnya, namun ada pula yang berusaha mati-matian untuk melupakannya. Meskipun kita harus hati-hati dalam mengelola ingatan pertama itu benar adanya, namun kita juga menyadari betapa hebatnya otak kita, yang -disamping mengingat- melupakan juga adalah sebuah anugerah tak terkira bagi manusia. Ingatan pertama membuat kita lebih menghargai perjalanan hidup dan kehidupan itu sendiri, mengingat masa lalu untuk membenahi masa kini.

 

Jadi, apa ingatan pertamamu jika boleh tahu?


Selasa, 06 Oktober 2020

HASHTAG (#) TENTANG CINTA (Sebuah percakapan)

G : Tau gak sih, kalau gravitasi terlalu besar maka tidak akan ada semesta, yang ada hanyalah black hole. Terlalu kecil gravitasi semua akan beterbangan tanpa arah dan membosankan. Semesta terjadi karena gravitasi yang "just right", dan sialnya gimana menentukan just right itu... #tentang kita
Aku rasa di sanalah kuncinya cinta... Semua ada di just right itu! Atau kunci akan diri kita... Dan kunci apapun...

D : Wow! Tapi jika ada penguasa semesnta -jika memang ada- yang membuat atau mengatur alam ini sehingga menjadi "just right", bagaimana dengan yang lainnya? Bagaimana dengan "just right" dalam cinta, dalam diri kita dan apapun itu...

G: Aku rasa kalau Dia ada, akan lebih sederhana jadinya. Kita jadi punya tujuan, kepadaNya, mengertiNya.. Bedanya, ada Tuhan atau tidak hanya pada ke mana kita mengalamatkan. Kenapa dugaanku begitu? Semua akan kembali ke mana semua berasal. Hukumnya begitu. Kalau tidak, ya bersiap dengan anomali dan kemungkinan yang lain. Jika kamu bertanya apakah harga yang paling mahal dalam semesta ini: adalah anomali dan segala konsekuensinya. Karena kita jadi bertemu dengan segala ketidakpastian baru yang sama sekali baru. Kalau berani, aku rasa boleh-boleh saja.

D : Anomali adalah penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya.

G : Ya, benar sekali! Itulah kenapa  ada yang bilang, mother of everything, theorigin is witty, karena butuh seseorang yang berselera humor dan santai untuk bisa menghadapi semua dengan tenang, setidaknya pada akhirnya tenang... Lihat saja tentang frekuensi manusia normal bisa melihat dan mendengar frekuensi tertentu, jika frekuensi ini terlalu besar atau terlalu kecil dan manusia masih bisa menangkapnya, kita menyebutnya indigo. Apakah indigo ini jika bukan salah satu anomali."

D: "Tunggu sebentar, aku mengingat sesuatu! Mungkin yang pernah kubaca dalam kisah Gadis Jeruk itu kayak gini ya? Ayahnya, Georg, berkali-kali menanyakan kabar teleskop Hubble. Bercerita betapa kecilnya kita dalam semesta, namun jika kita diberi pilihan, apakah kita mau hadir berada dalam semesta dengan semua kemungkinannya dan kemudian suatu saat tercerabut begitu saja, atau kita memilih untuk tidak hadir sama sekali dalam semesta."

G: "Bisa jadi. Hubble adalah internet yang membuat kita menjelajah, seperti diri kita, seperti cinta itu sendiri. Benar. Dan harga dari pilihan kita inidalam bahasanya Dee Lestari disebut bifurkasi. Ini hak terbesar dalam hidup kita, meminta, hak itu sudah ada sejak semula dan akan terus ada. 

D: "Hmmm, yayaya... (berusaha memahami)

G: "Hubble adalah pemantik kita, membuat kita mampu melihat realitas dan kemungkinan pilihan dengan jauh lebih jangkep dari yang kita miliki sebelumnya.."

D: (saya menyadari betapa luasnya pembicaraan kami. Lalu tergelitiklah saya pada sebuah pertanyaan berkaitan dengan filsafat Jawa). "Tapi bagaimana dengan jagad cilik kita, G? Semesta kecil kita?"

G: "Aku tak tahu, Des.. Tapi aku percaya ini, dengan penebalan pada kata percaya, kita berasal pada sumber yang sama. Kita dan semua yang ada di semesta. Ingatkah kita pada hukum kekekalan energi? Energi tak bisa hilang atau bertambah. Jumlahnya akan selalu tetap. Artinya, sekecil apapun kita, kita adalah bagian dari semesta ini, dan punya artinya tersendiri, entah sebagai apapun itu. Maklumlah kita jikalau pertanyaan pertama dan kedua dalam filsafat selalu: siapakah aku dan mengapa aku hidup.

G: "Itu yang pertama. Yang kedua adalah jika kita berasal dari realitas yang sama, kita harus berterima kasih dengan penemuan DNA, bahwa tidak mungkin ada yang sama sekali tercerabut dari akarnya, semua hal mewakili realitas yang menurunkannya. Maka bisa jadi jagad cilik ini adalah sampel atau miniatur jagad gede. Lihat saja, kita punya anomali bernama cinta, kita bergravitasi, kita memiliki kecepatan dan percepatan, bergerak, tumbuh, mati dan sepakat bahwa kita tak bisa lepas dari hukum sebab akibat. Jangan-jangan untuk mengerti jagad gede, mungkin loh ini, sederhana saja, mengertilah akan jagad cilik kita. Mungkin.. Aku pun juga tidak tahu, karena penebalan lagi-lagi pada kata percaya.. Dan Yesus mengatakan bahwa pracayamu sing mitulungi kowe.."

D: "What a conversation! Ah, I Love you, G! Tau nggak sih, pembicaraan seperti ini sangat menyegarkanku dan membuatku senyum-senyum tauk!"

G: "Frekuensi, sayang, frekuensi.. Berterima kasihlah pada penemu itu. Kita masih punya bahasa untuk menyatakan apa yang membuat kita begitu sama, atau juga begitu lain. Frekuensi."

(Dan aku bisa merasakan senyumnya mengembang sama seperti senyumku sekarang. Sial!)
 



SEMESTA YANG MELUAS : Sebuah Percakapan

 

(8 Juli 2020)


Senja kami habiskan sedikit demi sedikit di kafe legenda. Bolehlah sesekali nongkrong sebentar menikmati hidup setelah terkurung di rumah saja untuk sekian lama. Kami memilih meja, saya memesan minuman stroberi bersoda, G memesan minum sekaligus 3: lemon tea, air mineral dan coffee drip Toraja. Tanpa perlu diminta, ia menjelaskan hal yang sebenarnya tak perlu karena sudah nampak di depan mata. “Aku ini ya, satu orang saja pesan minumnya tiga. Mungkin karena aku sekarang menggemuk ya, jadi entahlah, berasa lebih cepat haus rasanya. Sekarang aku kalau sama air itu adiktif.” Pernyataannya yang demikian aku sambut dengan canda, bahwa jika orang lain mencandu itu sabu atau ganja, sedangkan dia air belaka. Ya kan semua orang juga pada dasarnya sama? Maka kelakarku untuk menjawabnya: ”Aku juga punya kecanduan kok, Gid.. Kecanduan zat O2!” Lalu berhamburlah tawa.

 

“Tapi dikau tau nggak sih Des, jika oksigen di bumi ini lebih banyak atau lebih sedikit dari 20% kadarnya (atau lebih tepatnya 20,9%), maka bumi dalam bahaya? Bahkan oksigen yang kita pandang sebagai zat adiktif yang selalu kita hirup sepanjang harinya harus punya takaran yang tepat juga. Keren ya! Kamu merasa ini keren nggak sih, Des?” katanya dengan antusiasme yang menyala. Maka dimulailah pembicaraan kami menjadi sebuah hal extraordinary hanya karena diawal dari zat tak kasat mata namun bermassa yang kita hirup tanpa henti, tak pernah kita sadari, dan bahkan jarang kita syukuri. Semesta punya resep yang pas sekaligus aneh di setiap situasi. Apakah ada pembicaraan antar sahabat yang seperti ini, atau hanya keanehan kami?

 

Namun memanglah demikian. Jika kadar oksigen terlalu banyak, maka akan mengancam kehidupan mulai dari potensi kebakaran gila-gilaan, keracunan oksigen yang berdampak pada organ vital, korosi karat akan lebih cepat, matinya bakteri E. Coli pada pencernaan dan lahir Kembali monster-monster raksasa yang pernah hidup di jaman purba saat bumi berkadar oksigen di angka 35. Bayangkan ulat bulu gatal sebesar pohon kelapa atau capung sebesar elang melayang dimana-mana! Begitu pun saat kekurangan oksigen, maka bumi kita dalam bahaya, mulai dari sesak nafas hingga bencana di mana-mana. Mengerikan sekali walau hanya membayangkannya..

 

Kami menyadari bahwa semesta ini punya proporsi, komposisi dan presisi yang sedemikian aneh namun juga akurat dan tepat tanpa kita tahu siapa yang menentukan aturannya. Jarak antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, rotasi bumi, lapis demi lapis atmosfer yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi, dark matter dan dark energy yang berselimutkan misteri, hingga hal-hal sekecil atom atau sel tubuh, mitokondria atau hormon oksitoksin, proton, neutron dan electron yang tak Nampak oleh mata. Siapa yang menentukan aturan semesta yang begitu hebatnya? Kala? Tuhan Yang Maha Kuasa? “Eh, kalau kayak gini, kamu percaya Tuhan nggak sih, Des?” pertanyaan diajukannya tiba-tiba.

 

“Maksudku begini, seringkali Tuhan hadir sebatas (atau dibatasi) pada kasih, juru selamat, pengampun, dogma, ajaran agama. Jarang ada kesempatan manusia untuk melihat kehadiran Tuhan di dalam hal-hal semacam ini. Dalam oksigen yang tepat ukurannya, pergerakan rasi bintang, sel darah merah yang merah karena berkarat akibat pertemuan oksigen dan karbon, dahsyatnya peran si mungil metokondria seperti yang kau ceritakan tadi. Tuhan itu hadir dalam hal0hal yang seindah dan sekeren ini ternyata! Gila ya!”

 

“Lalu mengapa orang menyadari kehadiran Gusti Allah yang semacam ini ya, G? Mungkin banyak orang yang tak mengerti bahwa fakta semacam ini memang ada, atau sebagian lagi bodo amat dan tak peduli, atau yaitu tadi, sebagian orang tak memberi cukup ruang yang luas dan lapang untuk menerima kehadiran Allah dengan berbagai macam wujud dan rupa.”

 

“Kita pernah ikut teologi dan sains kan Des? Masih ingat nggak?” (dalam batinku berkata ya jelas enggak lah.. hahaha..).

“Begini,” lanjutnya “sudah bukan saatnya lagi mempertentangkan Tuhan dan sains, bagaimana alam semesta terbentuk versi ilmuwan dan versi dalam kitab suci setiap agama pasti berbeda. Kita menyadari bahwa Tuhan itu hadir tidak hanya dalam satu periode masa saja melainkan hadir di sepanjang sejarah kehidupan. Maka seperti semesta yang semakin meluas (expand) padahal sudah terisi 2 triliun galaksi (2 TRILIUN! Dan itu GALAKSI!) pada objek alam semesta yang bisa diamati, maka sudah sepatutnya manusia juga memberi ruang yang terus meluas bagi kehadiran Allah yang berkarya sepanjang sejarah ini.”

 

“Tapi di sinilah masalahnya: manusia memang mampu untuk melihat perjumpaan Allah, namun ada diantara mereka yang tidak cukup mampu memperluas (expand) ruang di dalam dirinya sehingga tak cukup mampu menampung hal-hal yang menurutnya di luar batas itu karena seringkali dianggap tidak sesuai moral atau unethical. Tadi kita membahas bahwa Allah hadir dalam sepanjang sejarah, kan? Berarti Allah juga hadir dalam bayi tabung, dalam cloning, dalam aborsi, dalam obat-obat kimia dan sebagainya kan?”

 

“Tapi apakah memberi ruang terhadap kehadiran Allah pada hal-hal semacam itu berarti pula menyetujui semuanya?”

 

“Tentu saja tidak! Siapa bilang kita harus menyetujui semuanya. Namun setidaknya, memperluas ruang akan kehadiran Allah akan memberikan kita pemahaman bahwa Allah hadir dalam segala macam cara yang kadang misterius dan tak terselami oleh alam pikiran manusia. Dengan memperluas semesta kita, maka kita akan menghadirkan ruang dialog yang lebih terbuka sehingga kita lebih peka kepada sesame dan humanis juga. Dalam kasus LGBT, misalnya, kita akan lebih mudah menolak keberadaan mereka daripada menghadirkan dialog yang mungkin saja kita tak setuju tapi kita kan bisa tetap menerima, memahami dan mendengarkan mereka, terbuka pada opsi-opsi lain yang tak melulu harus dijawab dengan hitam dan putih, ya dan tidak.. Dan bagaimana kita bisa memperluas ruang akan kehadiran Allah dalam semesta kecil kita?”

 

“Salah satunya adalah membaca memahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dari pada pengguna narkoba, dari orang-orang fanatic dan kaum radikal yang kita sebelnya setengah mati sampai di ubun-ubun kepala, dari orang-orang jalanan, para adiyuswa dan kanak-kanan, teman-teman dengan gangguan mental atau mereka yang berkebutuhan berbeda. Seperti kita menerima Jupiter yang besar sampai hal-hal kecil yang tak kasat mata semisal udara. Dengan demikian, semesta kecil kita akan meluas dan kita mampu menghadirkan Allah yang berkarya dalam sepanjang sejarah.”

Senin, 30 Maret 2020

UANG DAN MAMON - SURAT UNTUK SAHABAT

Uang dan Mamon (30 Maret 2019)
Surat untuk Sahabat
D yang terkasih,
Betapa istimewanya hidupmu. Kau adalah debu-debu bintang yang bercecar di semesta. Dalam sebuah kesempatan mereka berkolisi, lalu menjadi bumi, menjadi kabut tipis dan gelarit awan di stratosfer, menjadi tumbuhan di bumi, menjadi hewan, dan menjadi orang tuamu. Lalu menjadimu. Betapa panjang lintasan yang harus dilalui oleh debu-debu bintang itu sejak mereka berabduksi dari sang sumber. Maka tak ada alasan untuk menyatakan bahwa kau biasa saja. Kau adalah sebuah kesempatan yang tercipta dari kengerian yang menakjubkan tapi juga kelembutan yang mengguncangkan. Dan kau benar, kau berkawan denganku, tapi juga dengan asteroid, aurora, dan kursi yang kau duduki. Kita semua berasal dari orang tua yang sama saja. Debu-debu bintang.
Dan kita pun berpikir* - juga merasa, juga bermimpi, juga bertanya dan curiga - dan semuanya berubah.
(*Aku mengatakan berpikir di awal tanpa sedang mengatakan cogito ergo sum dan meninggikan sains daripada iman, semuanya berjajar, mungkin berserupa, tapi hanya sedang mencari bahasa yang bisa mempertemukan kita. Sekadar biar kita bisa saling bicara.)
Kau tak lagi sekadar debu-debu bintang sesudahnya. Kau menilai hidupmu, dan hidup yang lain. Salah satu yang segera muncul dariku adalah: kau tak biasa karena prosesmu yang panjang. Tapi sebenarnya bukankah kita sama saja, tanpa itu pun kita ada sebagaimana adanya kita.
Demikian pula atas uang dan mamon.
"Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." Matius 6:24.
Apa yang terjadi berikutnya? Kita seolah dipaksa untuk memilih Allah atau Mamon. Mengapa memilih? Karena kita selalu diajarkan berpikir dualistis. Ini dan itu, kau tak bisa merengkuh keduanya, maka kau, ya kau, harus memilih. Segala nilai yang kita bangun dari pikiran akhirnya berujung pada sebuah kesunyataan: pilihan. Menjengkelkan, tapi dari banyak hal, kita sering tak bisa - atau tak diijinkan - mengelak. Pilihan itu membentuk sebuah bangunan - konstruk, karena dia bukan kenyataan tunggal, dia senyawa - yang kita sebut etika.
Lalu kau, sebagaimana aku, diajarkan di sekolah kita. Etika adalah tentang memilih yang baik dan yang benar. Yang tepat. Tapi lihatlah lintasan debu-debu bintang tadi, kita tak benar tahu apakah mereka sedang menuju sebuah kesimpulan, atau mereka meniatkan diri membentukmu dan aku. Mengapa kita begitu yakin bahwa memang ada yang benar dan baik. Dalam lintasan tanpa pretensi, tak berterimakah kita jika semuanya sejatinya tanpa makna saja? Ataukah kita ini manusia karena kita makhluk yang mendambakan makna.
Dan atas hobi kita memakna - Allah adalah baik, dia adalah sistem. Mamon adalah buruk, dia adalah pencar.
Lalu yang biasa kau dengar harus kukatakan lagi: Betapa gereja kita membenci uang. Berbicara tentang persembahan dalam khotbah, seperti tidak layak. Kita harus membangun narasi untuk menjadikaknnya baik, misalnya bazar kalau diadakan di gereja baiknya untuk kepentingan gereja, bukan kepentinganmu. Menggunakan uang gereja untuk usaha adalah keliru, kecuali dalam rangka pemberdayaan. Kita khawatir terjadinya korupsi uang di gereja. Tapi bujubuneng, kita mencintai uang tiada tara.
Jika uang adalah mamon, maka hubungan kita dengannya rindu dendam. Benci untuk mencinta, cinta untuk membenci. Jangan dikuasai mamon, jangan dikuasai uang. Tetapi kuasailai dia. Kita makhluk paling mulia katanya, salah satunya karena kita segambar dan serupa Allah, maka tak boleh kemuliaan itu terkalahkan oleh dikuasai.
Tapi tidakkah kau lelah dengan segala perbincangan tak kreatif itu. Mengulang-ulang saja, dan berujung pada dilemma yang serupa. Itu-itu saja. Kesimpulannya juga itu-itu saja: kita butuh uang, tapi uang bukan segala-galanya. Lalu apa yang segala-galanya? Kita. Atau paling tidak keinginan kita menjadi manusia serba makna.
Aku memang melihat kehancuran-kehancuaran yang disebabkan karena uang. Mulai dari seorang pribadi, relasi, hingga negara. Gereja juga termasuk, berapa yang terpecah karena itu. Itu membuat kita membenci uang sedemikian rupa. Dan uang menjadi kata lain dari mamon. Sikap kita terhadapnya begitu buruk. Tapi sadarkah kita, entah dengan bahasa antisipasi atau apa lah, etika kita dibangun di atas trauma. Uang lalu dikaitkan dengan keserakahan, dikaitkan dengan penguasaan, dikaitkan dengan penindasan, dikaitkan dengan kebohongan, prostitusi online 80 juta, OTT di Kemenag, kolonialisme dan bencana.
Uang menjadi monstrous, serupa lendir vagina, dibenci sedemikian rupa. Tapi monstrous apa pun selalu diam-diam dicinta. Paradoksal.
Apa yang hilang? Ada narasi-narasi yang luput ketika etika kita dibangun dari trauma. Serupa Trump yang mau membangun tembok menyekitar Amerika Serikat. Terkait uang, yang hilang adalah kerja keras. Gereja pun menjadi pemalas, lalu saking malasnya berusaha, mereka memilih ribut kalau urusan dana. Saling menyakiti. Karena mereka membenci uang. Pokoknya uang jelek, gak peduli dari korupsi atau dari kerja keras, Gak peduli kita dapatnya susah payah memerah otak, memeram rasa, memeras daya upaya kita ataukah sekadar barang di atas meja untuk ditukar meja yang lain. Pokoknya uang adalah mamon, begitu saja. Maka aku mengerti mengapa agama begitu membosankan, begitu baik, begitu kelu bertemu dengan realitas yang tak sesuai dengan makna dan harapannya.
Kau ingat cerita tentang bendahara yang tidak jujur? Yesus memuji bendahara itu, tapi kadang kita tak mau mengakuinya. Mungkin karena tidak mungkin Yesus memuji sikap tidak jujur sang bendahara. Kita takut mereka, atau kita - tapi utamanya mereka - menjadi seperti sang bendahara. Mereka tak mau menerima bahwa Yesus memujinya. Tepatnya dia mengatakan, "Anak terang gak sekreatif bendahara yang tidak jujur itu." Bendahara yang tidak jujur itu kreatif, anak-anak terang dalam etika mereka berhenti menjadi kreatif.
Maka kembalilah kita pada debu-debu bintang. Kita dan uang tak berbeda dengan kita dan Allah. Kita sama-sama membutuhkan mereka. Tapi ketika mereka berlebihan kita menjadi eneg. Debu-debu bintang menjadi kamu dan aku. Lalu pada kesempata lain menjadi cermin dan televisi. Menjadi planet dan cincin Saturnus. Mereka kreatif, tak berburuk sangka, tidak dualistis. Entahlah mengapa kita begitu dualistis, lalu memilih menjadi satu kutub saja.
Bagaimana menurutmu?

Rabu, 25 Maret 2020

MENIMBANG MORALITAS - SURAT UNTUK SAHABAT

Menimbang moralitas
Surat untuk sahabat
(24 Maret 2019)

D, yang terkasih, kali ini aku akan bercerita tentang sesuatu yang sangat menggangguku. Moralitas.
Tentu sama seperti biasanya kita akan berbicara terlebih dahulu tentang semesta, karena kurasa kita menikmati pembicaraan tentangnya. Kali ini, aku akan berbicara sebuah konsep fisika tentang entropi. Begini, lebih baik kita memulainya dari narasi tentang waktu. Ketika kita berbicara tentang waktu (aku tidak akan berbicara mengenai kronos dan kairos, anggaplah pembicaraan demikian sudah cara yang telah menjadi kemarin), ada dua cara yang biasa dipakai.

Yang pertama, waktu bersifat linear, kita melihatnya sebagai garis. Benar konsep demikian banyak muncul dari agama-agama, sejak yang paling purba. Sebuah cerita dimulai dari pada mulanya dan berujung pada akhirnya. Konsep-konsep eskatologis biasanya melihat waktu demikian, ditambah eskalasi yang terus naik, waktu akhir akan menjadi klimaks. Di ujung waktu, yang puncak itu, akan ada - pada titik ini biasanya terjadi penyimpulan yang beragam, tergantung seberapa optimis agama-agama tersebut – entah kiamat atau langit bumi baru atau perang atau kerajaan penuh damai. Ilmu pengetahuan pun serupa, upaya mencari awal mula semesta dengan big bang hingga pada akhirnya – menimbang sekarang gerak segala benda semesta semakin menjauh, semakin cepat dari pusat – bisa jadi hilang sama sekali. Walaupun ada yang masih berpandangan bahwa semesta akan mengembang hingga akhirnya kembali kisut.

Yang paling terasa dari pola ini adalah lahirnya upaya untuk progresif. Karena sesuatu memiliki awal dan akhir, maka akhir adalah puncak dari progres. Bukankah eskatologi selalu berpuncak. Hari besok diharapkan menjadi lebih baik dari hari kemarin. Moralitas yang terbangun darinya adalah moralitas yang cenderung biner, sudah nampak dari ada awal di poros satu, dan akhir di poros lain. Kemarin dan masa depan (bolehlah ditambah hari ini – tapi biasanya hari ini menjadi bagian yang gamang, karena kecenderungan untuk membandingkan lampau dan akan). Ada baik, maka ada buruk. Ada salah, maka ada benar. Maka bisa dimengerti jika moralitas yang lahir kemudian adalah untuk menjadikan besok menjadi lebih baik dan benar. Buruk dan salah dihindari atau bahkan enggan ditengok, karena kemudian proyeksi diarahkan pada yang baik dan benar. Demikianlah banyak orang mengatakan ‘ayo memperbaikinya esok’.

Pernahkah dikau bertanya kepada seseorang, dan sama seperti Aristoteles orang tersebut menjawab, ‘Tujuan hidup saya adalah untuk bahagia.’ Dugaanku banyak yang begitu. Bahagia lalu diidentikkan dengan tawa, cerah, lega, tuntas, ria, harmonis, ideal, perkasa, cantik, gemilang, berprestasi, juara. Dan kebahagiaan mereka diarahkan ke sana. Dan dikau segera tahu, kan, yang demikian ini membuat orang jadi mensubordinasikan lemah, getas, kelam, sendu, gelap, disintergrasi, pupus, semplah, dendam, marah, hancur. Bukankah ungkapan, ‘jangan lupa bahagia’ cenderung bernuansa demikian. ‘Jangan lupa bahagia’ berarti jangan hancur, jangan runyam, jangan buruk, jangan salah, dan sebagainya.

Aku rasa inilah moralitas yang sekarang ini kita sering sebut dengan etika – juga etiket. Etika adalah menjadi progresif, going up. Dari sana tanggung jawab moral muncul. Juga tentang tidak bermoral. Bahwa seorang perempuan hamil di luar nikah itu buruk. Aku sengaja berkali-kali menyinggung ini, karena di banyak cerita linear, ini bencana. Ya seksualitas menjadi normatif di sini. Kita bisa menyebutkan Agustinus di sini. Upaya memperbaiki dan membenarkan melahirkan sikap patriotik yang heroik. Mesianik, hingga sindrom juru selamat. Karena dalam yang linear, orang berusaha menanjak. Ah bahkan para tokoh tasawuf pun juga kadang begini juga. Termasuk seni, semakin tidak jelas semakin ‘baik’. Apa yang kerap dikorbankan dalam yang demikian? Dugaanku, biasanya relasi. Karena orang ingin baik, maka dia merelatifkan relasi. Pandangan mereka pada apa yang seharusnya baik dan benar, itulah yang dilakukan, itulah tujuan atau dalam menjadi untuk tujuan.

Untuk melihat yang kedua, aku akan mengajakmu berjalan ke Peru, tepatnya Chankillo. Tidak seterkenal Easter Island, kuil Maya atau Inka, tidak juga seramai pembahasan tentang Stonehenge. Namun di sana kita akan bertemu sebuah kalender kuno, yang diduga berusia sekitar 2500an tahun. Bentuknya tiga belas menara diagonal. Matahari akan bersinar di sisi lain yang berseberangan dengan kita, dan setiap bulan matahari akan bergeser, di masing-masing cekung menara tersebut. Dari sana mereka lalu menghitung bulan. Mereka menjadi tahu kapan musim tanam dan musim dingin. Mereka tahu bahwa setiap tahun, matahari tidak akan bergeser linear, tapi akan berkitar saja kiri ke kanan, kanan ke kiri. Melulu di situ. Y acara lain membaca waktu adalah sirkular. Persis seperti ouroboros, kita bisa membedakan kepala dan ekor, tapi karena ekor adalah kepala, maka tak ada ujung dan ujung. (Aku tahu ada orang yang berusaha menggabungkan keduanya, misalnya dengan sirkular progresif, beberapa menggabungkan dengan cemerlang, beberapa lalai).

Hanya dengan berangkat dari yang kedua inilah aku merasa kita akan bisa mengerti (dan menghargai) entropi. Setelah ini bersiaplah dengan bahasa yang mungkin tidak mudah (aku pun mungkin tak sepenuhnya paham, sial!). Tapi sebelumnya begini, kita memang bisa melihat entropi dari cara pandang linear, tapi akan ada yang hilang, khususnya jika yang linear selalu diharapkan progresif.

Entropi muncul dalam konsep termodinamika, melahirkan hukum termodinamika yang kedua, bunyinya kurang lebih ‘dalam sistem terisolasi – ya memang artinya diidealkan – maka entropi selalu bertambah dan konstan’. Entropi digunakan untuk mengukur energi dalam satuan untuk setiap temperatur. Entropi adalah kecenderungan sistem bergegar terkait panas. Jika panas ini lalu kemudian terisolasi, entropi akan terus naik. Jika entropi terus naik, maka sistem menjadi semakin gegar.

Contohnya begini: lihatlah sebuah batang kayu, lama kelamaan batang kayu menjadi rapuh. Ketika kayu kokoh entropinya rendah, ketika kayu rapuh hingga melapuk dan hancur, maka entropinya semakin tinggi. Lihatlah sebuah rumah yang tidak ditinggali sekian lama, rumah itu menjadi dingin dan guyah. Bahkan kadang tiba-tiba merontok setelah sekian tahun tak dihuni. Pada saat itu entropi rumah tersebut semakin tinggi. Namun ketika rumah itu dihuni, terjadi aliran panas yang datang dan pergi, dari penghuninya, dari alat-alat rumah di dalamnya, dari pembakaran dapur – lalu anehnya rumah itu lebih kokoh daripada ketika rumah itu tidak dihuni. Bukan sekadar karena rumah itu dirawat, tapi karena karena muncul relasi antara rumah dengan yang ada di dalam dan di luar rumah. Relasi ini kemudian menjadi agak lebih berarti.

Ya, panas selalu bergerak dari yang suhunya tinggi ke yang suhunya rendah, maka gerak bolak-balik selalu terjadi, karena kenyataannya, dalam realitas, panas selalu bergerak. Maka entropi ini naik dan turun, bukan karena usaha – entropi sama sekali tidak mengukur usaha – tapi karena terjadi relasi. Maka bukan usaha memperbaiki yang menjadi tidak lebih penting dibandingkan terus terjadinya proses yang merelasi. Entropi pun lalu kadang naik kadang turun bersama relasi tersebut. Dalam sistem termodinamika tertutup entropi memang terus bertambah, sebuah sistem semakin rapuh. Namun sistem demikian kan nyatanya tak benar-benar ada. Maka yang linear (entropi bertambah dan konstan) sebenarnya tidak benar-benar ada, atau paling tidak tak selalu ada.

Ya! Ini menggentarkan! Dalam prinsip sirkular, tidak ada baik dan buruk, tidak ada benar dan salah, tidak ada besok dan kemarin. Moralitas a la mode pertama, tak berlaku di sini. Kau pasti pernah mendengar tentang kisah anak petani, tentara, kemalangan, dan keberuntungan. Serupa itu kekira. Kerapuhan, kegetasan, kebencian, kehancuran, keperkasaan, kegemilangan tak tergantung dari usaha. Kali ini sistem bergantung dari relasi-relasi yang ada di dalamnya. Relasi dijaga bukan dengan saling melekat tapi selalu berketegangan. Relasi kadang kala juga tak diusahakan tapi selalu menjadi, segala hal selalu merelasi. Masak kamu mencoba berelasi dengan tembok rumahmu? Menari-nari seperti penari tembok.

Maka sistem yang demikian tidak takut pada sakit, pada lama, karena itu hanya sebuah kesementaraan dalam keterkaitannya dengan relasi. Tidak ada yang hancur lebur, karena hancur lebur adalah cerita lain dari pembangunan. Tidak ada pembangunan, karena pembangunan adalah cerita lain dari hancur lebur.

Dalam sistem demikian, kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menikmati. Menikmati darah yang mendidih, menikmati darah yang mengalir, menikmati darah yang membeku. Karena ya bisa berarti tidak, dan tidak bisa berarti ya. Dan ya kenikmatan juga terkait selalu kagum.

Kamu mungkin bertanya apakah yang demikian ini ada? Kita adalah buktinya yang demikian ini ada. Kita menjauh dan mendekat. Namun sepanjang relasi kita terjadi, mendekat dan menjauh tak lagi masalah, karena kita terus saling bersinggungan. Jika pun kita kembali pada kebahagiaan tadi, kebahagiaan adalah kita yang masih saling menghangatkan, dan kadang juga mendinginkan, tapi masih kita. Seksualitas adalah intimasi yang paling merelasi, maka seksualitas dihargai. Hamil di luar nikah tak masalah, karena itu adalah bagian dari sebuah perlintasan yang terus menerus menjadi dan menjadi. Tak masalah menjadi baik atau buruk. Entahlah mengapa banyak orang takut gagal, takut jatuh dan tersungkur. Mungkin karena moralitas yang linear sudah terlalu kuat kita pegang. Perang dan keinginan berkuasa salah satu dampak dari keinginan unggul, tanda bahwa kita mendamba yang berundak, dan sebisa mungkin di puncak undakan. Tapi benarkah ada undakan?

Kamu benar, dalam hal ini ternyata aku pun masih dualistis. Tapi ketimbang memilih salah satu dari yang dualistis tadi, yang terjadi adalah tawaran bermain di keduanya. Seperti seorang anak kecil yang berjalan di sepasang rel kereta api. Ke sana dan ke sini. Bukankah kita selalu tentang ke sana dan ke sini, linear dan sirkular. Lalu memunculkan vektor-vektor lain, yang tak sekadar lurus atau patah-patah, atau lengkung, tapi bahkan benang ruwet dan serba abstrak.

Maka sampai di tahap ini aku akan berhenti. Bukan karena segala cerita ini serba cukup, atau serba tidak cukup, tapi supaya kita sejenak berdiam. Dan karena dalam segala kegelisahanmu dan pernyataanmu, ‘ngomong opo to iki, kok mbingungi!’ sejatinya diam-diam kau paham yang kumaksudkan. Atau sebaliknya jika kau mengatakan paham, kau sama sepertiku, sejatinya tak benar-benar paham. Kita bodoh yang sepintar-pintarnya, pintar yang sebodoh-bodohnya.

PS: Jujurlah! Bukankah ketika sedang beriang dalam berhujan-hujan, atau ketika kau sedang berair mata sesenggukan dalam terang cemerlang, kau sebenarnya menikmatinya juga.