Selasa, 06 Oktober 2020

SEMESTA YANG MELUAS : Sebuah Percakapan

 

(8 Juli 2020)


Senja kami habiskan sedikit demi sedikit di kafe legenda. Bolehlah sesekali nongkrong sebentar menikmati hidup setelah terkurung di rumah saja untuk sekian lama. Kami memilih meja, saya memesan minuman stroberi bersoda, G memesan minum sekaligus 3: lemon tea, air mineral dan coffee drip Toraja. Tanpa perlu diminta, ia menjelaskan hal yang sebenarnya tak perlu karena sudah nampak di depan mata. “Aku ini ya, satu orang saja pesan minumnya tiga. Mungkin karena aku sekarang menggemuk ya, jadi entahlah, berasa lebih cepat haus rasanya. Sekarang aku kalau sama air itu adiktif.” Pernyataannya yang demikian aku sambut dengan canda, bahwa jika orang lain mencandu itu sabu atau ganja, sedangkan dia air belaka. Ya kan semua orang juga pada dasarnya sama? Maka kelakarku untuk menjawabnya: ”Aku juga punya kecanduan kok, Gid.. Kecanduan zat O2!” Lalu berhamburlah tawa.

 

“Tapi dikau tau nggak sih Des, jika oksigen di bumi ini lebih banyak atau lebih sedikit dari 20% kadarnya (atau lebih tepatnya 20,9%), maka bumi dalam bahaya? Bahkan oksigen yang kita pandang sebagai zat adiktif yang selalu kita hirup sepanjang harinya harus punya takaran yang tepat juga. Keren ya! Kamu merasa ini keren nggak sih, Des?” katanya dengan antusiasme yang menyala. Maka dimulailah pembicaraan kami menjadi sebuah hal extraordinary hanya karena diawal dari zat tak kasat mata namun bermassa yang kita hirup tanpa henti, tak pernah kita sadari, dan bahkan jarang kita syukuri. Semesta punya resep yang pas sekaligus aneh di setiap situasi. Apakah ada pembicaraan antar sahabat yang seperti ini, atau hanya keanehan kami?

 

Namun memanglah demikian. Jika kadar oksigen terlalu banyak, maka akan mengancam kehidupan mulai dari potensi kebakaran gila-gilaan, keracunan oksigen yang berdampak pada organ vital, korosi karat akan lebih cepat, matinya bakteri E. Coli pada pencernaan dan lahir Kembali monster-monster raksasa yang pernah hidup di jaman purba saat bumi berkadar oksigen di angka 35. Bayangkan ulat bulu gatal sebesar pohon kelapa atau capung sebesar elang melayang dimana-mana! Begitu pun saat kekurangan oksigen, maka bumi kita dalam bahaya, mulai dari sesak nafas hingga bencana di mana-mana. Mengerikan sekali walau hanya membayangkannya..

 

Kami menyadari bahwa semesta ini punya proporsi, komposisi dan presisi yang sedemikian aneh namun juga akurat dan tepat tanpa kita tahu siapa yang menentukan aturannya. Jarak antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, rotasi bumi, lapis demi lapis atmosfer yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi, dark matter dan dark energy yang berselimutkan misteri, hingga hal-hal sekecil atom atau sel tubuh, mitokondria atau hormon oksitoksin, proton, neutron dan electron yang tak Nampak oleh mata. Siapa yang menentukan aturan semesta yang begitu hebatnya? Kala? Tuhan Yang Maha Kuasa? “Eh, kalau kayak gini, kamu percaya Tuhan nggak sih, Des?” pertanyaan diajukannya tiba-tiba.

 

“Maksudku begini, seringkali Tuhan hadir sebatas (atau dibatasi) pada kasih, juru selamat, pengampun, dogma, ajaran agama. Jarang ada kesempatan manusia untuk melihat kehadiran Tuhan di dalam hal-hal semacam ini. Dalam oksigen yang tepat ukurannya, pergerakan rasi bintang, sel darah merah yang merah karena berkarat akibat pertemuan oksigen dan karbon, dahsyatnya peran si mungil metokondria seperti yang kau ceritakan tadi. Tuhan itu hadir dalam hal0hal yang seindah dan sekeren ini ternyata! Gila ya!”

 

“Lalu mengapa orang menyadari kehadiran Gusti Allah yang semacam ini ya, G? Mungkin banyak orang yang tak mengerti bahwa fakta semacam ini memang ada, atau sebagian lagi bodo amat dan tak peduli, atau yaitu tadi, sebagian orang tak memberi cukup ruang yang luas dan lapang untuk menerima kehadiran Allah dengan berbagai macam wujud dan rupa.”

 

“Kita pernah ikut teologi dan sains kan Des? Masih ingat nggak?” (dalam batinku berkata ya jelas enggak lah.. hahaha..).

“Begini,” lanjutnya “sudah bukan saatnya lagi mempertentangkan Tuhan dan sains, bagaimana alam semesta terbentuk versi ilmuwan dan versi dalam kitab suci setiap agama pasti berbeda. Kita menyadari bahwa Tuhan itu hadir tidak hanya dalam satu periode masa saja melainkan hadir di sepanjang sejarah kehidupan. Maka seperti semesta yang semakin meluas (expand) padahal sudah terisi 2 triliun galaksi (2 TRILIUN! Dan itu GALAKSI!) pada objek alam semesta yang bisa diamati, maka sudah sepatutnya manusia juga memberi ruang yang terus meluas bagi kehadiran Allah yang berkarya sepanjang sejarah ini.”

 

“Tapi di sinilah masalahnya: manusia memang mampu untuk melihat perjumpaan Allah, namun ada diantara mereka yang tidak cukup mampu memperluas (expand) ruang di dalam dirinya sehingga tak cukup mampu menampung hal-hal yang menurutnya di luar batas itu karena seringkali dianggap tidak sesuai moral atau unethical. Tadi kita membahas bahwa Allah hadir dalam sepanjang sejarah, kan? Berarti Allah juga hadir dalam bayi tabung, dalam cloning, dalam aborsi, dalam obat-obat kimia dan sebagainya kan?”

 

“Tapi apakah memberi ruang terhadap kehadiran Allah pada hal-hal semacam itu berarti pula menyetujui semuanya?”

 

“Tentu saja tidak! Siapa bilang kita harus menyetujui semuanya. Namun setidaknya, memperluas ruang akan kehadiran Allah akan memberikan kita pemahaman bahwa Allah hadir dalam segala macam cara yang kadang misterius dan tak terselami oleh alam pikiran manusia. Dengan memperluas semesta kita, maka kita akan menghadirkan ruang dialog yang lebih terbuka sehingga kita lebih peka kepada sesame dan humanis juga. Dalam kasus LGBT, misalnya, kita akan lebih mudah menolak keberadaan mereka daripada menghadirkan dialog yang mungkin saja kita tak setuju tapi kita kan bisa tetap menerima, memahami dan mendengarkan mereka, terbuka pada opsi-opsi lain yang tak melulu harus dijawab dengan hitam dan putih, ya dan tidak.. Dan bagaimana kita bisa memperluas ruang akan kehadiran Allah dalam semesta kecil kita?”

 

“Salah satunya adalah membaca memahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dari pada pengguna narkoba, dari orang-orang fanatic dan kaum radikal yang kita sebelnya setengah mati sampai di ubun-ubun kepala, dari orang-orang jalanan, para adiyuswa dan kanak-kanan, teman-teman dengan gangguan mental atau mereka yang berkebutuhan berbeda. Seperti kita menerima Jupiter yang besar sampai hal-hal kecil yang tak kasat mata semisal udara. Dengan demikian, semesta kecil kita akan meluas dan kita mampu menghadirkan Allah yang berkarya dalam sepanjang sejarah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar