Rabu, 07 Oktober 2020

INGATAN PERTAMA

 INGATAN PERTAMA

21 Mei 2020

“Lembaran foto hitam putih, Kembali teringat lagi wangi rumah di sore itu. Kue coklat balon warna warni, pesta hari ulang tahunku..” (Monokrom ~ Tulus)

 

Suatu kali, G mengajukan 1 pertanyaan yang tak pernah ditanyakan orang lain sebelumnya. Ah, bukankah ia selalu begitu, membuka sekat dalam sisi hidup dengan sesuatu yang baru. Sial, kini aku jadi merindukan saat-saat kami bertemu, nonton, berbincang, tertawa sampai menangis tersedu. Apa yang ia tanyakan? Tetiba ia berkata: “Des, apa ingatan pertamamu?” Kami sama-sama berpikir, mengaduk-aduk masa lalu.

 

Sejauh yang saya ingat, memori pertama saya adalah digendong mburi oleh ibu dengan selendang yang berbau apek ketika saya ikut ibu ke pasar untuk kulakan barang dagangan. Saya bercampur dengan aneka sayuran dan barang-barang eceran. Ingatan saja juga tertuju saat saya bermain di lincak dengan beberapa gelundung kelapa atau saat saya main sepeda didorong oleh beberapa anak tetangga yang sebaya.Mungkin saat itu saya berumur 4 atau 5. Semua yang saya ingat adalah pengalaman yang baik dan gembira walaupun saya hidup dalam sederhana. Berbeda dengan sahabat saya, ia pun mulai bercerita. Ingatan pertama yang terlintas di pikirannya adalah mendorong pintu Bersama budhenya saat angin besar menerpa. Beberapa kepahitan dan trauma hidup yang pernah dia rasakan masih terekam jelas di benaknya. Menurutnya, secara langsung ataupun tidak, itu mempengaruhi hidupnya, ikut membentuk dirinya.

 

Barusan saya membaca beberapa artikel tentang ingatan pertama. Menurut penelitian, rerata memori awal manusia berada di usia 3 tahun, tepatnya 3,24 tahun. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh 3 universitas yaitu London, Bradford dan Nothingham University mengatakan bahwa ada juga yang mengaku memiliki kenangan saat berusia 2 tahun ke bawah. Dalam jurnal Psychological Science yang mereka terbitkan, sebanyak 6.641 relawan dilibatkan dan sebanyak 38,6% bisa mengingat apa yang terjadi di usia 2 tahun. Bahkan 893 orang diantaranya memiliki ingatan saat masih berusia 1 tahun. Wah, hebat betul!

 

Namun, kata ilmuwan itu, ingatan di bawah 3 tahun dianggap sebagai kenangan fiktif berdasarkan ingatan yang terlintas dalam pikiran mereka, misalnya warna baju, kereta dorong, anggota keluarga dan sebagainya yang muncul sebagai pengalaman masa lalu yang terlintas dalam pemikiran mereka atau representasi mental episodikmemori. Kenangan fiktif ini terjadi karena manusia biasanya salah memperkirakan umur saat mengingat masa lalu. Di samping itu, perkembangan memori belum sepenuhnya terbangun sampai pada usia 3-4 tahun di dalam otak kita yang punya 86 miliar neuron dan 10 triliun sinapsis ini. Dan yang lebih membuat kita lebih hati-hati adalah 75% kekeliruan berasal dari memori visual yang salah. Lhah…

 

Di samping itu, ada factor pembentukan Bahasa yang memudahkan kita mengingat dan berbagi cerita yang teratur dan rinci. “Bahasa bisa membantu menyediakan struktur atau pengaturan akan memori kita, dan itu adalah sebuah narasi. Dengan menciptakan sebuah kisah, pengalaman ini menjadi lebih terorganisir, dan maka jadi lebih mudah diingat.” Demikian kata seorang ahli.

 

Trivia: Tahukah kita bagian otak apakah yang bertanggung jawab menyimpan kenangan? Seperti saat kamu mengingat memori tentang dia yang tak pernah bisa dimiliki? Eaaa…

 

Yup, adalah hipokampus yang bertugas mengelola memori, baik jangka pendek atau Panjang. Makanya, jika kita nyanyi “lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia..” maka suara kita harusnya ditujukan padanya. Namun apakah pertumbuhan hipokampus yang belum penuh ini menjadi penyebab mengapa kita tidak bisa mengingat peristiwa masa kecil kita dan lebih cenderung pada ingatan palsu belaka? Lalu bagaimana dengan ingatan pertama yang kita yakini sepenuhnya terjadi pada usia dibawah 3?

 

Nah, justru itulah hebatnya otak kita!!! Peristiwa masa lalu akan terus mempengaruhi perilaku kita bahkan lama setelah kita melupakannya. Maka psikolog berpikir bahwa ingatan ini bertahan di suatu tempat. Ingatan ini mungkin akan tersimpan di suatu tempat yang kini tak bisa diakses, namun sulit untuk menunjukkan itu secara empiris. Jadi sampai saat ini pun masih menjadi misteri. Wah, otak kit aini keren sekali!!

 

Jadi harus bagaimana? Maka kita harus hati-hati saat mengingat apa yang terjadi pada masa itu -masa kecil yang mungkin penuh dengan ingatan palsu akan peristiwa yang sebenarnya tak pernah terjadi. Elizabeth Loftus, psikolog di University Of California mengatakan bahwa “Orang bisa mengambil suatu sugesti dan mulai memisualisasikannya – sehingga menjadi semacam ingatan.” Katanya.

 

Namun, bagaimanapun juga, mengingat ingatan pertama semasa hidup ternyata seru juga. Kepada Bu Haky saya sempat menanyakan pertanyaan serupa. Dia bercerita tentang banyak hal dari masa kecilnya yang sering sakit dan pengalamannya terperosok ke sungai yang membuatnya hamper kehilangan nyawa. Pengalaman pertama yang membuatnya memaknai betapa pentingnya Kesehatan dan juga cinta kasih dan pengorbanan keluarga kepadanya. Sedangkan bagi saya, kenangan pertama membuat saya bersyukur bahwa hidup saya luar biasa sejak saya bisa mengingatnya dan bersyukur dibuatnya meski hidup kadang tak sempurna. Sedang untuk sahabat yang pernah memiliki trauma dan berusaha merengkuh dan menerimanya, berproses dengan berat untuk bisa bergandengan tangan dengannya dari hari ke hari dan menjadikannya sekarang sebagai karakter yang mendewasa, kepadamu saya menaruh hormat sedalam-dalamnya.

 

Setiap orang punya memori pertama yang akan selalu diingatnya baik fiksi maupun fakta. Ada yang manis, ada yang traumatis. Ada yang begitu sukacita saat mengingatnya, namun ada pula yang berusaha mati-matian untuk melupakannya. Meskipun kita harus hati-hati dalam mengelola ingatan pertama itu benar adanya, namun kita juga menyadari betapa hebatnya otak kita, yang -disamping mengingat- melupakan juga adalah sebuah anugerah tak terkira bagi manusia. Ingatan pertama membuat kita lebih menghargai perjalanan hidup dan kehidupan itu sendiri, mengingat masa lalu untuk membenahi masa kini.

 

Jadi, apa ingatan pertamamu jika boleh tahu?


Selasa, 06 Oktober 2020

HASHTAG (#) TENTANG CINTA (Sebuah percakapan)

G : Tau gak sih, kalau gravitasi terlalu besar maka tidak akan ada semesta, yang ada hanyalah black hole. Terlalu kecil gravitasi semua akan beterbangan tanpa arah dan membosankan. Semesta terjadi karena gravitasi yang "just right", dan sialnya gimana menentukan just right itu... #tentang kita
Aku rasa di sanalah kuncinya cinta... Semua ada di just right itu! Atau kunci akan diri kita... Dan kunci apapun...

D : Wow! Tapi jika ada penguasa semesnta -jika memang ada- yang membuat atau mengatur alam ini sehingga menjadi "just right", bagaimana dengan yang lainnya? Bagaimana dengan "just right" dalam cinta, dalam diri kita dan apapun itu...

G: Aku rasa kalau Dia ada, akan lebih sederhana jadinya. Kita jadi punya tujuan, kepadaNya, mengertiNya.. Bedanya, ada Tuhan atau tidak hanya pada ke mana kita mengalamatkan. Kenapa dugaanku begitu? Semua akan kembali ke mana semua berasal. Hukumnya begitu. Kalau tidak, ya bersiap dengan anomali dan kemungkinan yang lain. Jika kamu bertanya apakah harga yang paling mahal dalam semesta ini: adalah anomali dan segala konsekuensinya. Karena kita jadi bertemu dengan segala ketidakpastian baru yang sama sekali baru. Kalau berani, aku rasa boleh-boleh saja.

D : Anomali adalah penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya.

G : Ya, benar sekali! Itulah kenapa  ada yang bilang, mother of everything, theorigin is witty, karena butuh seseorang yang berselera humor dan santai untuk bisa menghadapi semua dengan tenang, setidaknya pada akhirnya tenang... Lihat saja tentang frekuensi manusia normal bisa melihat dan mendengar frekuensi tertentu, jika frekuensi ini terlalu besar atau terlalu kecil dan manusia masih bisa menangkapnya, kita menyebutnya indigo. Apakah indigo ini jika bukan salah satu anomali."

D: "Tunggu sebentar, aku mengingat sesuatu! Mungkin yang pernah kubaca dalam kisah Gadis Jeruk itu kayak gini ya? Ayahnya, Georg, berkali-kali menanyakan kabar teleskop Hubble. Bercerita betapa kecilnya kita dalam semesta, namun jika kita diberi pilihan, apakah kita mau hadir berada dalam semesta dengan semua kemungkinannya dan kemudian suatu saat tercerabut begitu saja, atau kita memilih untuk tidak hadir sama sekali dalam semesta."

G: "Bisa jadi. Hubble adalah internet yang membuat kita menjelajah, seperti diri kita, seperti cinta itu sendiri. Benar. Dan harga dari pilihan kita inidalam bahasanya Dee Lestari disebut bifurkasi. Ini hak terbesar dalam hidup kita, meminta, hak itu sudah ada sejak semula dan akan terus ada. 

D: "Hmmm, yayaya... (berusaha memahami)

G: "Hubble adalah pemantik kita, membuat kita mampu melihat realitas dan kemungkinan pilihan dengan jauh lebih jangkep dari yang kita miliki sebelumnya.."

D: (saya menyadari betapa luasnya pembicaraan kami. Lalu tergelitiklah saya pada sebuah pertanyaan berkaitan dengan filsafat Jawa). "Tapi bagaimana dengan jagad cilik kita, G? Semesta kecil kita?"

G: "Aku tak tahu, Des.. Tapi aku percaya ini, dengan penebalan pada kata percaya, kita berasal pada sumber yang sama. Kita dan semua yang ada di semesta. Ingatkah kita pada hukum kekekalan energi? Energi tak bisa hilang atau bertambah. Jumlahnya akan selalu tetap. Artinya, sekecil apapun kita, kita adalah bagian dari semesta ini, dan punya artinya tersendiri, entah sebagai apapun itu. Maklumlah kita jikalau pertanyaan pertama dan kedua dalam filsafat selalu: siapakah aku dan mengapa aku hidup.

G: "Itu yang pertama. Yang kedua adalah jika kita berasal dari realitas yang sama, kita harus berterima kasih dengan penemuan DNA, bahwa tidak mungkin ada yang sama sekali tercerabut dari akarnya, semua hal mewakili realitas yang menurunkannya. Maka bisa jadi jagad cilik ini adalah sampel atau miniatur jagad gede. Lihat saja, kita punya anomali bernama cinta, kita bergravitasi, kita memiliki kecepatan dan percepatan, bergerak, tumbuh, mati dan sepakat bahwa kita tak bisa lepas dari hukum sebab akibat. Jangan-jangan untuk mengerti jagad gede, mungkin loh ini, sederhana saja, mengertilah akan jagad cilik kita. Mungkin.. Aku pun juga tidak tahu, karena penebalan lagi-lagi pada kata percaya.. Dan Yesus mengatakan bahwa pracayamu sing mitulungi kowe.."

D: "What a conversation! Ah, I Love you, G! Tau nggak sih, pembicaraan seperti ini sangat menyegarkanku dan membuatku senyum-senyum tauk!"

G: "Frekuensi, sayang, frekuensi.. Berterima kasihlah pada penemu itu. Kita masih punya bahasa untuk menyatakan apa yang membuat kita begitu sama, atau juga begitu lain. Frekuensi."

(Dan aku bisa merasakan senyumnya mengembang sama seperti senyumku sekarang. Sial!)
 



SEMESTA YANG MELUAS : Sebuah Percakapan

 

(8 Juli 2020)


Senja kami habiskan sedikit demi sedikit di kafe legenda. Bolehlah sesekali nongkrong sebentar menikmati hidup setelah terkurung di rumah saja untuk sekian lama. Kami memilih meja, saya memesan minuman stroberi bersoda, G memesan minum sekaligus 3: lemon tea, air mineral dan coffee drip Toraja. Tanpa perlu diminta, ia menjelaskan hal yang sebenarnya tak perlu karena sudah nampak di depan mata. “Aku ini ya, satu orang saja pesan minumnya tiga. Mungkin karena aku sekarang menggemuk ya, jadi entahlah, berasa lebih cepat haus rasanya. Sekarang aku kalau sama air itu adiktif.” Pernyataannya yang demikian aku sambut dengan canda, bahwa jika orang lain mencandu itu sabu atau ganja, sedangkan dia air belaka. Ya kan semua orang juga pada dasarnya sama? Maka kelakarku untuk menjawabnya: ”Aku juga punya kecanduan kok, Gid.. Kecanduan zat O2!” Lalu berhamburlah tawa.

 

“Tapi dikau tau nggak sih Des, jika oksigen di bumi ini lebih banyak atau lebih sedikit dari 20% kadarnya (atau lebih tepatnya 20,9%), maka bumi dalam bahaya? Bahkan oksigen yang kita pandang sebagai zat adiktif yang selalu kita hirup sepanjang harinya harus punya takaran yang tepat juga. Keren ya! Kamu merasa ini keren nggak sih, Des?” katanya dengan antusiasme yang menyala. Maka dimulailah pembicaraan kami menjadi sebuah hal extraordinary hanya karena diawal dari zat tak kasat mata namun bermassa yang kita hirup tanpa henti, tak pernah kita sadari, dan bahkan jarang kita syukuri. Semesta punya resep yang pas sekaligus aneh di setiap situasi. Apakah ada pembicaraan antar sahabat yang seperti ini, atau hanya keanehan kami?

 

Namun memanglah demikian. Jika kadar oksigen terlalu banyak, maka akan mengancam kehidupan mulai dari potensi kebakaran gila-gilaan, keracunan oksigen yang berdampak pada organ vital, korosi karat akan lebih cepat, matinya bakteri E. Coli pada pencernaan dan lahir Kembali monster-monster raksasa yang pernah hidup di jaman purba saat bumi berkadar oksigen di angka 35. Bayangkan ulat bulu gatal sebesar pohon kelapa atau capung sebesar elang melayang dimana-mana! Begitu pun saat kekurangan oksigen, maka bumi kita dalam bahaya, mulai dari sesak nafas hingga bencana di mana-mana. Mengerikan sekali walau hanya membayangkannya..

 

Kami menyadari bahwa semesta ini punya proporsi, komposisi dan presisi yang sedemikian aneh namun juga akurat dan tepat tanpa kita tahu siapa yang menentukan aturannya. Jarak antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, rotasi bumi, lapis demi lapis atmosfer yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi, dark matter dan dark energy yang berselimutkan misteri, hingga hal-hal sekecil atom atau sel tubuh, mitokondria atau hormon oksitoksin, proton, neutron dan electron yang tak Nampak oleh mata. Siapa yang menentukan aturan semesta yang begitu hebatnya? Kala? Tuhan Yang Maha Kuasa? “Eh, kalau kayak gini, kamu percaya Tuhan nggak sih, Des?” pertanyaan diajukannya tiba-tiba.

 

“Maksudku begini, seringkali Tuhan hadir sebatas (atau dibatasi) pada kasih, juru selamat, pengampun, dogma, ajaran agama. Jarang ada kesempatan manusia untuk melihat kehadiran Tuhan di dalam hal-hal semacam ini. Dalam oksigen yang tepat ukurannya, pergerakan rasi bintang, sel darah merah yang merah karena berkarat akibat pertemuan oksigen dan karbon, dahsyatnya peran si mungil metokondria seperti yang kau ceritakan tadi. Tuhan itu hadir dalam hal0hal yang seindah dan sekeren ini ternyata! Gila ya!”

 

“Lalu mengapa orang menyadari kehadiran Gusti Allah yang semacam ini ya, G? Mungkin banyak orang yang tak mengerti bahwa fakta semacam ini memang ada, atau sebagian lagi bodo amat dan tak peduli, atau yaitu tadi, sebagian orang tak memberi cukup ruang yang luas dan lapang untuk menerima kehadiran Allah dengan berbagai macam wujud dan rupa.”

 

“Kita pernah ikut teologi dan sains kan Des? Masih ingat nggak?” (dalam batinku berkata ya jelas enggak lah.. hahaha..).

“Begini,” lanjutnya “sudah bukan saatnya lagi mempertentangkan Tuhan dan sains, bagaimana alam semesta terbentuk versi ilmuwan dan versi dalam kitab suci setiap agama pasti berbeda. Kita menyadari bahwa Tuhan itu hadir tidak hanya dalam satu periode masa saja melainkan hadir di sepanjang sejarah kehidupan. Maka seperti semesta yang semakin meluas (expand) padahal sudah terisi 2 triliun galaksi (2 TRILIUN! Dan itu GALAKSI!) pada objek alam semesta yang bisa diamati, maka sudah sepatutnya manusia juga memberi ruang yang terus meluas bagi kehadiran Allah yang berkarya sepanjang sejarah ini.”

 

“Tapi di sinilah masalahnya: manusia memang mampu untuk melihat perjumpaan Allah, namun ada diantara mereka yang tidak cukup mampu memperluas (expand) ruang di dalam dirinya sehingga tak cukup mampu menampung hal-hal yang menurutnya di luar batas itu karena seringkali dianggap tidak sesuai moral atau unethical. Tadi kita membahas bahwa Allah hadir dalam sepanjang sejarah, kan? Berarti Allah juga hadir dalam bayi tabung, dalam cloning, dalam aborsi, dalam obat-obat kimia dan sebagainya kan?”

 

“Tapi apakah memberi ruang terhadap kehadiran Allah pada hal-hal semacam itu berarti pula menyetujui semuanya?”

 

“Tentu saja tidak! Siapa bilang kita harus menyetujui semuanya. Namun setidaknya, memperluas ruang akan kehadiran Allah akan memberikan kita pemahaman bahwa Allah hadir dalam segala macam cara yang kadang misterius dan tak terselami oleh alam pikiran manusia. Dengan memperluas semesta kita, maka kita akan menghadirkan ruang dialog yang lebih terbuka sehingga kita lebih peka kepada sesame dan humanis juga. Dalam kasus LGBT, misalnya, kita akan lebih mudah menolak keberadaan mereka daripada menghadirkan dialog yang mungkin saja kita tak setuju tapi kita kan bisa tetap menerima, memahami dan mendengarkan mereka, terbuka pada opsi-opsi lain yang tak melulu harus dijawab dengan hitam dan putih, ya dan tidak.. Dan bagaimana kita bisa memperluas ruang akan kehadiran Allah dalam semesta kecil kita?”

 

“Salah satunya adalah membaca memahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dari pada pengguna narkoba, dari orang-orang fanatic dan kaum radikal yang kita sebelnya setengah mati sampai di ubun-ubun kepala, dari orang-orang jalanan, para adiyuswa dan kanak-kanan, teman-teman dengan gangguan mental atau mereka yang berkebutuhan berbeda. Seperti kita menerima Jupiter yang besar sampai hal-hal kecil yang tak kasat mata semisal udara. Dengan demikian, semesta kecil kita akan meluas dan kita mampu menghadirkan Allah yang berkarya dalam sepanjang sejarah.”