Dan dia pun terhenti. Tepat di depan etalase toko kecil yang berdinding bata suram dan berkaca buram. El-Salvador nama yang diberikan untuknya, sama seperti nama sebuah negara di Amerika Tengah antara Honduras dan Guatemala yang berarti Allah Penyelamat namun kenyataannya menyimpan sejarah panjang perang, revolusi dan kekerasan berdarah yang menelan ribuan korban jiwa. Toko kecil itu menjual souvenir dan pernak-pernik kecil yang akan dibawa pulang oleh pengunjung kota. Di pintunya tertulis kertas folio bertuliskan "CUCI GUDANG!! Toko akan tutup." Memang, jika kita memandang keseluruhannya, seakan waktu berhenti pada masa 70-an. Kontras sekali dengan gedung-gedung tinggi dengan jendela kotak menyiku kaku serta manusia-manusia kota yang berjalan lalu lalang, bergumam-gumam ramai mirip dengung lebah hutan yang berarak pulang menuju sarang. Sinar neon kelap-kelip penunjuk toko tak sungkan membagi warnanya dengan trotoar basah sehabis hujan. Pendarnya singgah sebentar di rambut orang-orang yang berjalan lalu menghilang lagi seiring berlalunya mereka. Toko kecil berdinding bata kusam dan berkaca buram itu rasanya tertinggal jauh, tak menjadi tempat persinggahan lirikan mata, terlalu kelam jika dibandingkan dengan butik-butik fashion terkini dengan manequin-manequin bergaun lucu namun tanpa wajah. Tak mengherankan jika sebentar lagi bangkrut dan akan tutup. Kabarnya, sebuah toko perhiasan akan menggusur tempatnya. Namun diantara langkah kaki-kaki berpantalon rapi dan berstoking seksi, dia berdiri tepat di sana. Di depan etalase toko kecil berdinding bata kusam dan berkaca buram.
***
(15 menit sebelumnya)
Ia keluar kantor dengan wajah masam. Sepertinya dunia hari itu berubah menjadi perasan air jeruk limau. Dilonggarkan dasinya, yang tidak hanya mencekik leher dan menekan tenggorokannya, namun juga seluruh hidupnya sehingga susah bernafas. Apalah dasi itu selain secarik kain tolol yang diikat dengan rumit di leher, yang membuat sesak dan berkeringat, alih-alih sebagai lambang prestis dan profesionalisme masa kini. Ah, bukankah salesman celana dalam pun sekarang mengenakannya (dasi, bukan celana dalam!). Langkahnya berat, tertarik beban perasaan yang tak menyenangkan. Lelah fisik, otak sekaligus hati. Ia ingin berteriak sekencangnya untuk melepas lelah. Tapi ia takut dikira orang gila yang berkeliaran di tengah kota. Lagian, mana ada orang gila yang berbaju necis dan berdasi segala? Atau menangis sepanjang jalan? Itu pun bukan pilihannya. Apalagi gerimis yang akan menyembunyikan air matanya telah reda beberapa menit yang lalu, persis kala ia keluar dari kantor. Sedang bar dan pub mulai tersenyum menggodanya, menawarkan berbagai minuman yang menjanjikan ketenangan dan kelepasan sejenak. Ia juga tak berminat, karena yang terlepas bukan hanya masalahnya namun termsuk juga kontrol dirinya. Dan efeknya baru terasa pagi harinya setelah melihat muntahan menjijikan di bantalnya dan sakit kepala sepanjang harinya. Ia pernah merasakan itu. Maka pilihan yang diambil adalah pulang ke rumah kontrakan dan beristirahat dalam damai alias Rest in Peace. Mengapa tidak? bukankah beristirahat tak hanya menjadi kebutuhan bagi mereka yang berada 5 meter di bawah tanah? Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan kepala tunduk...
***
(12 menit sebelumnya)
Senja mulai tiba. Lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai menyala berhamburan sinarnya. Pedagang kaki lima berebutan tempat dengan pengendara sepeda. Udara lembab masih berbau tanah setelah dihujani langit. Lalu entah mengapa, ia berdiri di sana. Tepat di depan etalase toko kecil berdinding bata kusam dan berkaca buram. Ada yang menarik perhatiannya. Di balik etalase itu ia melongok, mendapati sebuah foto -tertempel dengan selotip- seorang PRIA tengah tertawa, di padang berumput hijau tua. IA mendongak ke langit dengan mulut yang terbuka sehingga terlihat gigi geliginya. Matanya terpejam sehingga menimbulkan kerut-kerut kecil di sekitarnya. Duduk dengan mendekap seekor domba. Foto itu disinari sinar kuning dari bohlam yang membuatnya seperti disinari dari "atas" sana. Tawanya lepas dan bahagia...
Dan pria berdasi itu mengenaliNya. Dan ia terpukau agak lama... Sejenak merasa ikut bahagia...
***
(7 menit yang lalu)
Ia memang mengenalinya, namun kali ini tak biasa. Berkali-kali ia melihatNya namun dengan muka muram dan penuh derita, berpeluh dan berdarah, terluka disini dan di sana. Membuatnya merasa ikut ngilu setiap kali melihatNya. Sekali waktu ada seseorang yang memasangnya di dinding atas kontrakannya lalu ia berkata "Please, turunkan orang itu dari sana...". Namun sepertinya tidak bagi orang-orang lain. Mungkin mereka terbiasa dengan tindakan kekerasan dan sadisme sehingga memajangnya di ruang tamu dan membanggakannya. Sedang yang lain dalam posisi formal, dengan senyum yang dikulum, mengenakan jubah sutra warna merah selempang biru, wajah halus tanpa jerawat dan berbola mata biru. Ah, ini mengingatkannya akan foto pak presiden dan wakilnya yang terpajang di dinding ruang kantornya, sekolahnya dulu bahkan di pos ronda tempatnya bermain gaple sambil berjaga.
Tapi yang difoto itu IA terlalu bahagia, lepas tawanya. Begitu spontan dan ceria...
Ah, tapi bukankah jaman dulu belum ada foto atau kamera. Maka yang jelas itu bukan DIA yang ia maksud. KEcuali ada jurnalis yang kembali ke masa itu dan membidikkan kamera kepadaNYA. NAmun apakah mesin waktu itu ada? Dan seingatnya, tak pernah ada cerita dia tertawa bahagia, cekakakan... Seakan beban dunia -yang juga sekarang ini ia derita walau dalam kadar yang sangat jauh berbeda- terlepas begitu saja. Sepertinya tak menyadari bagaimana akhir kehidupan di dunia yang akan Dia terima dari orang-orang dunia. Namun jauh di lubuk hatinya, ia sungguh membutuhkan IA tertawa jenaka...
***
(beberapa saat lalu)
Ia kembali melanjutkan perjalanannya. Meninggalkan etalase toko kecil berdinding bata kusam dan berkaca buram bernama El-Salvador. Kata orang, dua hari lagi buldoser akan menggempurnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar