Senin, 13 Januari 2020

YANG TAK BERHENTI

14 jANUARI 2019

YANG TAK BERHENTI
Surat untuk Sahabat

D yang terkasih ...

Kadang sahabat harus berpisah satu sama lain untuk waktu yang cukup lama. Kita mengenal aphelion, ketika sebuah planet sedang berada dalam titik terjauhnya dengan matahari. Tahun ini kita akan mengalaminya pada tanggal 4 Juli. Apa dampaknya? Tak ada yang signifikan. Sebuah siklus yang biasa saja, membuktikan bahwa sebuah relasi orbital semesta yang kadang kita anggap sedemikian melulu, ternyata tak pernah begitu. Ideal nyatanya bukanlah tanpa pergerakan, ideal bukanlah yang konstan dan stagnan. Betapa kita sering gagal mengerti dan meminta selamanya cinta tetaplah cinta. Namun pada saatnya mereka akan kembali mendekat, karena mereka terikat sedemikian rupa oleh sebuah tatanan semesta yang kerap kali di luar kemampuan kita mengidealkan.

Bahkan ketika yang terkasih itu sama sekali hilang ketika ada di depan mata. 26 September nanti tepatnya, ketika mereka sedang saling berhadapan muka, bumi dan matahari akan sejenak tak saling menyapa. Gerhana matahari cincin akan melanda seputar Indonesia. Dan di tahun 2023 nanti, total.

Pada saat itulah suhu udara akan mendingin tetiba, cerah menjadi merah, dan sejenak beberapa tumbuhan seolah melayu malu. Bahkan mungkin kau akan merasakannya di sekujur tulangmu, semuanya menjadi mendadak lunglai - tentu jika kau tidak sedang terlalu antusias menyaksikan peristiwa tak setiap hari itu - bukan karena massa otot yang berkurang, tapi karena tekanan udara yang mendadak berubah. Pengaruh tekanan ini lebih lanjut akan membuat telur di penetasan menjadi lebih mudah gagal. Plankton yang hidup dari paparan matahari yang intensif akan terganggu, semakin lama semakin berat ketergangguannya. Hewan-hewan aquatik lain serupa ikan pemakan plankton akan mengalami dampak pertama. Di tempat yang mengalami gerhana matahari terlama, biasanya populasi ikan akan menurun lebih besar.

Lebih jauh, gerhana matahari total akan menutup proses pemanasan dan ionisasi di lapisan ionosfer sehingga arus ionosfer terganggu, kejadian ini akan mengakibatkan gangguan medan magnet bumi. Pasang naik akan maksimum, jika bumi tak mampu bertahan, maka keraknya akan bergeser, paling parah gempa bumi.
Begitu ngeri, aku tahu. Tapi syukurlah, tak pernah ada gerhana matahari yang terjadi selama berjam-jam. Jika tidak maka segalanya akan berhenti.
Namun begitulah semesta menceritakan sebuah kisah tentang relasi. Relasi yang mengubahkan sama sekali, bahkan membunuh tak terjadi berlama-lama, tak terlalu kerap, tak meliputi semua. Namun relasi yang hanya mengubah sekadar saja, serupa gerhana bulan, bisa terjadi berlama-lama.
Indahnya, bahwa manusia punya cara ajaib untuk menceritakan relasi semesta. Kita menyebutnya Kala. Sang pemakan bulan dan matahari ketika gehana. Anak Uma dan Siwa yang lahir dari percintaan tak semestinya. Kala begitu menakutkan, karena dia bisa memakan para bayi sukerta. Namun, Uma mengasihinya setengah mati, bahkan ketika dia telah Durga. Mungkin begitulah seorang ibu. Dia tak merelakan yang paling dimusuhi sekalipun dihabisi. Dan nyatanya tak benar-benar ada yang mampu membunuh Kala, kita hanya bisa memintanya untuk tak memakan para sukerta dengan mengganti mereka dengan ruwatan murwakala. Mereka akan menghidangkan sesajen bagi Kala. Kala hanya mengganti makanannya, namun Kala sendiri tak pernah ternafikan. Dan serupa itu kita tak punya pilihan lain, selain pasrah pada Kala, sang waktu. Kita tak bisa memintanya bergegas, tak bisa memintanya melambat. Ketika tiba masanya, dia akan tetap di sana. Kala, serupa semesta dia akan terus bergerak, tak tertandingi.

Aku bisa yakin tak akan mampu mengerti sedemikian banyak rahasia semesta. Apakah setiap peristiwa semesta ini sebuah sistem yang terjadi begitu saja? Apakah gerhana adalah peristiwa yang terjadi saja? Bisa jadi, kita saja yang memberinya arti terlalu berlebihan, supaya seolah-olah hidup ini bermakna. Namun apa daya, kita manusia, kita makhluk pemakna. Kita terjerat oleh sebuah hasrat untuk terus menerus memberi arti.

Maka jika harus memberi arti pada sepasang sahabat yang lama tak bersua, aku memilih untuk menyebutkan gerhana. Bahwa relasi semesta apa pun tak pernah berhenti. Seperti Kala. Dan kadang itu terjadi begitu saja, entah karena apa. Kita tak bersapa dalam dua tahun ini, mengapa? Entahlah karena apa katamu, kita hanya bisa menyusun sebuah rekayasa pemaknaan yang semuanya serba gagu, serba tanggung, dan tak benar-benar kuat. Tapi nyatanya terjadi saja. Bisa jadi memang alamiah saja. Tapi syukurnya, yang alamiah saja, ketika dia benar-benar menghancurkan, dia tak pernah berlangsung begitu lama.

Namun dalam khazanah makna yang kita buat-buat semaunya itu, kita yang nyatanya tak bisa menghentikan kala, kita percaya bahwa tetap ada cara untuk mengalahkannya sekalipun tak memusnahkannya. Kala, sang waktu itu, takhluk pada sebuah saja: kesetiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar