Kelam
Surat untuk Sahabat
Surat untuk Sahabat
D, yang terkasih, surat ini akan begitu panjang. Ambillah tempat yang nyaman. Beberapa bagian surat ini mungkin akan membingungkan, selebihnya ...
Kelam menakutkan, karena dalam kelam kita tak bisa melihat. Mata telah menghadirkan cerita-cerita paling penting dalam hidup kita, bahkan mata sendiri telah menjadi cerita yang paling penting (bukankah dalam surat sebelumnya, sebuah kata perintah yang terus menerus kugunakan hanya sebuah, adalah ‘lihatlah’?). Namun, ternyata mata juga yang dianggap membawa kita pada dosa-dosa paling tonjol. Dia sendiri dan yang dibawanya kemudian. Dengan mata kau jatuh cinta, dengan mata kau terluka dan merela jatuh pada tujuh dosa mematikan. Mata adalah taruk.
Sebagai taruk, mata adalah kesadaran. Atau jika pun tidak sadar, itu ketaksadaran yang ditengarai dan dikenal. Sebutlah rasa malu, sekalipun kau menyembunyikannya dari terang, kau tahu di mana dia bersemayam. Dalam pengenalan oleh mata, oleh cahaya, bahkan yang paling redup sekali pun, kau adalah sebebas-bebasnya segala kebebasan. Dan atasnya kita membangun sebuah kebanggaan – benar kebanggaan – yang kita sebut dengan kontrol.
Namun, ketika kau menutup matamu dan mengijinkan dirimu melayang-layang, maka kau segera terhambur dalam semesta yang binal. Dan sejauh yang ku tahu, jika pun ada pintu kepadanya, kita hanya bisa merasukinya melalui iklhlas dan lupa. Kelam adalah ketika bertemu dengan segala roh dan hantu yang mengucur. Dan mungkin juga yang terlalu akrab kita kenal sebagai Tuhan. Bertemu Tuhan dalam terang adalah kemustahilan kecuali dia sedang berinkarnasi atau mewujud materi. Ketika tidak, maka dia bersemayam dalam alam yang lain, kelam. Jangan kaget, lagi-lagi aku harus mengatakan kepadamu, kita hanya bisa merasukinya melalui Ikhlas atau lupa. Tentu ada Tuhan yang lain, yang memancarkan cahaya. Serupa bintang. Namun sejak kita menolak matahari sang bintang tata surya adalah Tuhan, sanggupkan kita mempertahankan Tuhan yang demikian?
Kita pernah bercerita tentang lubang hitam yang adidaya. Sedikit sekali kala itu, berkelitkelindan dengan supernova yang memekakkan. Kali ini aku tak akan berbicara tentangnya. Aku akan berbicara tentang kelam yang lain, yang lebih memukaukan, aku akan membawa kita tamasya pada dark matter dan selanjutnya aku akan menuju bagian paling mengerikan, dark energy.
Bukan, D, dark matter bukan sembarang gelap. Bukan malam yang kau nikmati di Alun-alun Selatan bersama kitiran aneka warna yang diumban ke angkasa dan mencipta gerak memutar serupa biji mahoni. Dark matter bukan juga kaus hitammu. Kau tak bisa melihat dalam gelap karena tak ada cahaya, tak ada yang memantulkannya. Warna hitam dalam kausmu adalah susunan atom yang membentuk materi, namun karena hitam, dia menyerap cahaya. Kaus hitammu adalah normal matter, materi biasa. Materi biasa mampu memantulkan cahaya atau menyerapnya. Dark matter justru tembus cahaya. Cahaya dapat melaluinya begitu saja tanpa terpaksa. Tanpa berkurang kecepatannya. Jadi alih-alih dia memusuhi cahaya, dia berkawan. Atau jika berkawan kau anggap terlalu berlebihan, dia mengikhlaskan cahaya. Bukan hanya cahaya, tetapi segala gelombang elektromagnetik, termasuk gelombang radio dan sinar gamma. Jadi sebenarnya ketimbang disebut dark matter, mungkin lebih tepat kita menyebutnya invisible matter.
Sampai di sini, bukankah kita guyah? Selama ini kita berprasangka bahwa terang akan berhadap-hadapan dengan gelap sama tingginya. Namun kita sering lupa, tidak melulu gelap, ada juga invisible. Sejak ini ingatlah – jika tentang cahaya aku menggunakan kata lihatlah, maka kali ini aku akan menggunakan kata ingatlah – bahwa dualitas akan kelu ketika diperhadapkan pada keluasan semesta. Bukankah juga kita sering menyebut kelam bukan pada hal-hal yang menakutkan, tapi lebih pada perkara-perkara yang tak mampu kita ketahui dengan pasti. Betapa anehnya di tengah segala pengetahuan kita yang sedemikian terbatas, lalu kita mendakukan kepastian, ketika ketidakpastian begitu hablur. Kau tidak terima? Marilah mengikhlaskan, atau kita tak akan bertanya lagi, karena mengikhlaskan bukanlah menghentikan segala pertanyaan, mengikhlaskan justru merelakan kita masuk dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah kita tanyakan sebelumnya. Seperti pertanyaan berikut: bagaimana mungkin kita bisa tahu dark matter ada jika cahaya pun meluputkannya?
Marilah berbicara sesuatu yang kita lupakan dari gravitasi. Gravitasi memampukan kita melekat pada sebuah obyek bermassa. Bahkan cahaya pun dibelokkan olehnya. Gravitasi meletakkan kita di atas (on) bumi dan bulan. Semakin kuat gravitasinya, semakin kuat kita melekat. Tata surya ditarik sedemikian keras oleh otot gravitasi matahari yang pejal, menjadikan kita tak lepas darinya. Yang kita lupa adalah jarak, jika memang gravitasi menarik kita seperti kemelekatan kita pada bumi, lalu mengapa dengan gravitasi matahari yang sedemikian gagah, kita justru tak melekat padanya? Kau dan aku masih bisa berjemur di bawah sinar mentari pagi, mendapatkan vitamin yang cukup untuk menguatkan tulang belulang kita. Kau tahu sekarang aku bicara apa, kan? Ada yang tidak masuk akal, yang jarang kita bicarakan ketika kita berbicara gravitasi, sesuatu begitu saja kita ikhlaskan. Mengapa jarak itu terjadi? Karena ada materi lain yang menjejali, menghadirkan gravitasi dalam gravitasi. Materi itu nirmassa, sehingga gravitasi yang timbul menjarakkan kita dengan matahari. Ingatlah, kau masih hidup hari ini berkat jarak itu.
Namun ada hal lain yang membuktikan keberadaannya, gravitational lensing, dan ini sangat erat kaitannya dengan cahaya. Einstein memunculkan teori ini bersama dengan teorinya tentang gravitasi. Kali ini mungkin akan sedikit rumit. Menurut Einstein, alih-alih gravitasi adalah adalah sebuah energi yang menyerap segala hal ke dalam sebuah obyek, gravitasi justru adalah lengkungan dalam kurva semesta yang muncul karena benda bermassa mengisinya. Gravitasi tidak menyedot, tapi gravitasi melengkungkan ruang di sekitarnya menuju sang benda bermassa. Menariknya begini: ketika kita melihat sebuah galaksi nun jauh di sana, yang berada di balik sebuah galaksi yang lain, seharusnya galaksi nun jauh itu tak nampak lagi karena tertutup oleh galaksi yang berada di depannya. Tapi lensa kita justru masih bisa menangkapnya, membentuknya serupa titik-titik melingkar yang menyekitari galaksi yang ada di depan kita. Kita pun masih bisa menatap galaksi yang berada di belakang galaksi tersebut. Maka dengan teori gravitasi Einstein, seharusnya ada materi lain yang mengisi ruang di sekitar galaksi di depan mata kita, yang gravitasinya mampu membengkokkan cahaya dari galaksi belakang tersebut. Anehnya lensa kita tidak menangkap benda tersebut. Lalu bagaimana kita bisa melihat galaksi nun jauh di sana itu? Sejauh ini, satu-satunya kemungkinan dalam ilmu pengetahuan kita – kecuali bahwa teori gravitasi Einstein keliru, dan e=mc2 (kuadrat) itu kita hempaskan saja – ada materi tak bermassa dan tak nampak di kegelapan yang membengkokkan cahaya tersebut, sehingga gravitasinya menyebabkan galaksi nun jauh di sana bisa tetap kita lihat. Dark matter.
Ada hal lain yang bisa membuktikan keberadaannya, kolisi antar galaksi dalam satu klaster. Tapi sudahlah, kita melewatkannya saja, daripada terlalu banyak beban yang harus kita tanggung dalam sepucuk surat.
Apakah dark matter ini? Tak ada yang tahu. Tapi ketika kita menghitung big bang – ya, kita bisa menghitungnya sekadar dari cahaya yang memencar dari pusat 13,7 milyar tahun yang lalu itu – maka kita akan menemukan bahwa materi bermassa, yang kita sebut sebagai atom, yang membentuk kita dan juga bintang-bintang, ternyata jika pun dijumlahkan ternyata hanya 15 persen dari seluruh materi yang memencar dari big bang itu. Ke mana 85 persen massa yang hilang? Mereka menjelma dark matter (pada titik ini ingatlah aku baru mengatakan massa, bukan energi, maka kita belum berurusan dengan hukum kekekalan energi).
Kau mungkin bertanya, bagaimana para ilmuwan bisa begitu yakin pada angka 15 dan 85 itu? Sebenarnya tidak ada tahu angka persisnya. Yang jelas di antara 70 – 90an persen massa yang ada adalah dark matter. Mengapa begitu yakin? Jawabannya bisa sangat panjang, karena kita harus menjumlahkan berbagai macam temuan fisika mulai dari pola kurva yang muncul dalam rotasi sebuah planet atau galaksi, juga dari hasil pemindaian Hubble atas Cosmic Microwave Background, namun ada satu yang akan segera kita ingat. Gravitasi, D. Lagi-lagi gravitasi. Jika tidak ada dark matter, maka tidak mungkin ada gravitasi yang menjaga semesta kita menjadi serupa sekarang. Dan gravitasi dari segala atom jika dikumpulkan pun tak akan mencapai sepertiganya. Tidak mungkin segala benda di penjuru semesta akan membentuk konstelasinya seperti sekarang, bergerak seperti sekarang, atau pada suatu waktu berdiam pada posisinya yang sekarang jika hanya mengandalkan pada gravitasi materi-materi yang bisa kita tangkap dalam cahaya. Ya, kita tak bisa melihat dark matter, tapi kita bisa merasakan kehadirannya melalui gravitasi, hanya itu. Selebihnya kita buta. Hawking bahkan pernah membuat teori tentang dark matter dalam kaitannya dengan lubang hitam primordial, tapi para peneliti dari Kavli Institute di Jepang yang melibatkan para peneliti dari Princetown, Jepang dan India menemukan kekeliruan dalam teori Hawking. Bayangkan sedemikian butanya kita, sampai seorang seperti Hawking pun keliru. Sedemikian kelamnya.
Kau ingat ketika tadi aku baru mengatakan tentang massa? Maka kali ini aku akan bergerak menuju energi: dark energy. Aku akan singkat saja, karena bahasan ini lebih kelam daripada daripada dark matter, kebodohan kita lebih akut di sini. Kita tak tahu banyak hal kecuali menduga – dan apalagi cara terbaik untuk menerima dugaan kecuali mengikhlaskan (ikhlas yang membawa kita pada pertanyaan)?
Kau pernah meniup sebuah balon? Mungkin engsel rahangmu akan kelelahan ketika kau harus meniup beberapa balon untuk acara sekolahmu. Lalu kau akan kesal dan menyerahkannya kepada guru-guru yang lain atau murid-muridmu. Bayangkan bahwa peristiwa semesta sejak big bang seupa itu, ada suatu kala ketika semuanya begitu kecil, balonmu belum kau tiup. Ketika udara mengisi balonmu, maka dia akan mengembang. Maka gambaran kita tentang peristiwa setelah big bang adalah demikian, segalanya terpencar. Titik-titik putih di permukaan balon menjelma Donald Bebek atau Mickey Mouse, semakin besar seiring menggelembungnya balonmu. Itulah ketika segala galaksi memencar. Sama seperti balon, kita membayangkan bahwa setelah sekian tahun big bang terjadi, semesta kita akan mencapai titik terbesarnya dan kemudian kembali mengempis ke ukuran balonmu serupa.
Namun salah, sama sekali salah! Seharusnya karena semesta semakin membesar, maka kecepatan pencarnya akan semakin turun dan turun hingga dia berada di titik optimal. Tapi ternyata tidak demikian, yang terjadi hari ini justru adalah kecepatan pencar semesta semakin besar. Alih-alih ada sebuah titik optimal, yang terjadi justru dengan kecepatan yang semakin besar semesta ini terus dan terus memencar. Bagaimana mungkin? Hal ini terjadi karena ada energi yang lebih besar yang memencarkan semesta kita ketimbang mengikatnya dan mengoptimalkannya. Dark energy. Dark energy ini mendorong galaksi semakin berjatuhan satu sama lain. Kita bahkan tidak yakin lagi bahwa suatu saat mereka akan menyatu kembali, mungkin mereka akan memecah belah karena tidak ada lagi gravitasi yang mampu mengikat mereka. Gravitasi dari dark matter tidak, apalagi gravitasi dari materi-materi yang nampak.
Mengamati kecepatan pemencaran yang semakin laju, arah yang semakin menjauh, dan segala hal lain di semesta kita kemudian tahu. Energi terbesar yang lahir dari big bang justru tidak menyatukan, mengeratkan, tetapi memencarkan. Energi ini jauh lebih besar dari seluruh gravitasi dan energi apa pun yang ada di semesta yang telah kita amati sejauh ini. Dengan segala perhitungan, para ilmuwan ini mendapatkan angka. Big bang menghasilkan hanya 4,6 persen atom yang menyusun semesta yang bisa kita amati dengan mata, 24 persen dark matter, sedangkan 71,4 persen sisanya adalah kekuatan yang memencarkan kita ini, dark energy. Bagaimana akhirnya jika kita ternyata tidak pulang ke rumah dari mana kita berasal? Tetapi justru hilang terhempas tak tentu arah? Untuk apa segala perjuangan yang kita lakukan selama ini?
Maka aku memberanikan berkata begini, mengingat kelam akan membawa kita pada sebuah kesempatan ketika segalanya bermula, big bang. Bukankah pertanyaan dari mana kita berasal menjadi salah satu permasalahan paling pelik dalam filsafat, dalam agama, bahkan dalam kehidupan seseharimu. Karena dari mana kau berasal akan memberikan alasan mengapa kau sekarang ada di sini. Ketika kau tahu dari mana kau berasal maka kau akan tahu ke mana kau menuju. Maka dari sana hidupmu akan memiliki makna. Bukankah kita manusia karena kita selalu memakna. Dan tanpa mengetahui dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju, maka kita hanya menjalani hari-hari begitu saja tanpa tujuan.
Bayangkan, dari 4,6 persen semesta yang bisa kita amati, kita baru mengetahui sangat sangat sangat sedikit. Itu pun mungkin baru di sekitar bumi dan sedikit sekali tentang tata surya. Pengetahuan kita yang kita pikir begitu menandak-nandak itu ternyata tak lebih dari sejumput hitam di kukumu. Selebihnya kita takt ahu, D. Selebihnya kita hanya menduga. Maka beranikah kita memegang segala kepastian yang selama ini kita yakini dengan sungguh-sungguh?
Dark matter mengingatkan kita bahwa kita memiliki penjaga yang tak nampak. Yang membuat kita berjarak dari sang bintang yang mampu membakar kita. Selama ini kita abai, kita lupa, karena kita yakin bisa mengerjakan dan mengukur segalanya secara deterministik. Lalu kita mengingat cerita itu: Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung. Kita punya ukuran untuk segala-galanya, bahkan kita bisa mengukur cinta dan kesetiaan. Kita punya indikator-indikator dan variable-variabel yang membuat kita terus menjalani hidup kita setiap hari. Kita bahkan membangun rencana serba teliti. Kita yakin bahwa kita bisa bebas sebebas-bebasnya. Namun apakah segalanya itu dibandingkan misteri yang kita tak pernah kita anggap ada. Bahkan kadang terhadap misteri pun kita punya ukuran-ukuran serba tertentu. Kita punya ukuran bahwa yang mistis itu seperti ini, sufi itu seperti ini, hantu itu seperti ini, setan itu seperti ini, tuhan itu seperti ini, hidup itu seperti ini. Bagaimana mungkin sekarang kita bisa yakin dengan segala ukuran yang kita buat hanya dalam secuil hitam di kuku kita itu? Bahkan jika pun kita begitu kreatif, sekreatif apa kita berhadapan dengan segala hal yang tak nampak, yang serba kelam. Yang sedemikian rungkup itu?
Dan yang paling menyakitkan mungkin adalah tentang ke mana kita akan menuju. Kita bahkan tak tahu apakah kita akan kembali pulang atau menghempas. Maka kita bisa jadi kehilangan segala cerita tentang rumah yang hangat yang siap menerima anaknya pulang setelah menghabiskan uang bapaknya dengan para pelacur dan makan dari ampas babi. Kita tak yakin bahwa akan ada rumah bagi yang menjaga cinta dengan setia. Kita tak yakin akan ada kerajaan seribu tahun setelah segalanya pungkas. Kita bahkan tak tahu apakah segala moralitas, kesetiaan, kepatuhan, dan cinta itu sungguh bermakna. Segala pengetahuan kita tentang harapan adalah sebuah lagu nina bobok dalam menghadapi ketakuatan kita pada sebuah akhir yang tak menentu. Relasi yang kubangga-banggakan ternyata hanya sebuah jalinan sementara yang akan hilang bersama meluruhnya gravitasi. Senyata-nyatanya kita tak tahu.
Mengapa kita menolak gentar? Mengapa kita menolak takut? Atau itu hanya sebuah cara kita untuk melupakan. Dan melupakan adalah kemustahilan, karena ketika kita mengatakan melupakan, maka kita tak akan pernah lupa. Kita justru menghadirkannya.
Bagaimana? Kau masih yakin dengan sesuatu? Kau tidak terima bahwa hidupmu dan orang tuamu senyata-nyatanya tak punya tujuan? Ternyata hidupmu hanyalah sebuah percik di tengah sejarah semesta yang bahkan tak memihakmu? Apakah segala nilaimu masih mampu menyelamatkanmu? Masihkah segala nalar dan rasamu mampu bertahan? Masihkah kau bisa tersenyum?
Ikhlas mungkin, lepas bebas … atau mungkin itu pun bukan. Mengapa kita – diam-diam – begitu mendamba ‘menemukan’ dan tak rela berhadapan dengan ‘hilang dan terhempas’?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar