22 Januari 2017
LEBIH CEPAT DARI CAHAYA, KEMBALI KE MASA LALU - KISAH MESIN WAKTU (Surat untuk Sahabat)
D, yang terkasih…
Ada beberapa cara untuk bertamasya waktu ke masa lalu. Bayangkan pergi ke jaman dulu, lantas mengubah masa lalu kita yang buruk sehingga kita tidak perlu melakukan dosa-dosa masa muda kita! Atau kita ingin melihat pesta pernikahan orang tua kita? Mengikuti kuliah-kuliah Einstein dan Newton? Atau menjelajah semesta dan melihat bagaimana peristiwa dentuman besar itu terjadi, asal muasal jagad raya? Siapa yang tidak mau? Bukankah itu terdengar super menggairahkan?
Salah satu cara adalah dengan dengan menjadi Tru Davis dalam Tru Calling. Namun bukankah menjadi Tru begitu membosankan, kita harus melakukan hal-hal yang melulu baik. Jadi baik terus dan gak pernah nakal itu melelahkan! Ehm! Atau kita naik pesawat Star Trek! Bukankah mereka sering mengadakan perjalanan maju mundur waktu di luar angkasa? Kita bisa ketemu Kapten Kirk dan Komandan Spock juga! Ah tapi sayangnya kita tahu, bahwa sains dalam sains fiksi Star Trek adalah yang terburuk. Oh Iya! Doraemon! Tapi lebih baik enggak deh, kita nanti gak besar-besar, jadi anak SD terus, tuh Nobita dan kawan-kawan buktinya. Lalu bagaimana?
Kalau kita setia pada teori relaitivitas Einstein, E=mc2 (2-nya itu kuadrat ya), maka satu-satunya cara untuk kembali ke masa lalu adalah bergerak melampaui kecepatan cahaya! Hanya itu sebenarnya satu-satunya kendaraan kita untuk bertamasya ke masa lalu. Mengapa bisa begitu? Karena semakin kecepatan kita mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan memendek. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya, kita akan sampai pada sebuah kondisi yang namanya singularitas (ini kondisi yang sama dengan kondisi dalam lubang hitam, ajaib bukan). Namun jika kita lebih cepat dari cahaya, waktu akan bergerak ke arah sebaliknya, mundur.
Tapi, D, dan tapi ini adalah tapi yang sangat besar, aku harus mematahkan hatimu, karena hal itu mustahil. Bergerak melebihi kecepatan cahaya itu mematahkan hukum-hukum fisika, terutama hukum utama, hukum kekekalan energi. Bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya bisa berubah menjadi bentuk energi yang lain. Artinya jumlah energi di seluruh jagad raya ini tetap, tidak bisa bertambah atau berkurang. Sebuah hukum fisika patah, maka hukum-hukum fisika lainnya pun akan patah. Jika hukum-hukum itu patah, maka fisika tidak bisa menjadi kendaraan kita lagi, lalu kita naik kendaraan apa?
Memangnya apa masalahnya? Begini, E = mc2, E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya. Semakin kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka massa kita akan menjadi semakin besar. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya maka massa kita menjadi tidak terhingga. Jadi jangan percaya dengan Quicksilver dalam X Men: Days of Future Past yang bisa bergerak sambil jilatin kecap di tahanannya Magneto yang beromantis-romantis dengan lagunya Jim Croce, Time in the Bottle. Karena untuk bergerak sedemikian cepat, dia akan menjadi semakin berat. Boro-boro mindahin peluru karet, bawa pantat sendiri saja sudah berat, walaupun dia gak secepat cahaya. Dan untuk sebuah benda bermasaa seperti mesin waktu, atau tubuh kita ini saja, massa yang tidak terhingga pada kecepatan cahaya itu berarti kita butuh energi yang tidak terhingga (infinite). Energi dari seluruh jagad raya pun tidak akan sampai di titik itu. Kok cahaya bisa bergerak secepat itu? Karena walaupun cahaya itu partikel foton, tapi dia juga gelombang. Dan massanya adalah nol. Untuk bisa bergerak sama dengan kecepatan cahaya maka massa kita harus nol. Lah lalu lemak-lemak menumpuk di paha dan perut itu mau dibuang ke mana? Sayang dong, Idul Adha dipotong bisa dapat seratus ribu per kilo loh!
Jadi sampai saat ini, masih sama sekali tidak mungkin kin kin untuk bergerak menyamai kecepatan cahaya, apalagi lebih cepat dari itu. Seandainya pun, kita mengimajinasikan bahwa ada energi sebanyak itu, maka mengikuti kurvanya E=mc2 imajiner, jika kita mampu bergerak 2 kali dari kecepatan cahaya selama satu tahun, kita hanya bisa mundur lima bulan. Jadi berangkat Januari, perjalanan setahun, mendarat dipikir sudah di jaman Dinosaurus, eh ternyata sampai-sampai bulan Juli juga. Ngapain repot-repot, nunggu tujuh bulan juga sama saja. Karena waktu bergerak mundur hanya dengan kecepatan yang sama (satu kali) itu sampai 140 persen kecepatan cahaya saja, sesudahnya semakin melambat). Jadi untuk mundur sampai jaman Jepang masuk Indonesia, kamu butuh lebih cepat ribuan atau jutaan kali dari kecepatan cahaya. Energi dari mana? Mungkin dari nenek moyangmu orang perdukunan. Karena itu dengan hukum fisika, bergerak melampaui kecepatan cahaya itu dilarang (forbidden), itu merusak tatanan semesta.
Bukan hanya itu, berdasarkan keterikatan ruang dan waktu sebenarnya ada masalah besar juga. Jadi kalau menurut Einstein, ruang dan waktu itu adalah entitas yang tidak terpisah. Lebih baik jika kita menyebutnya ruang-waktu. Pada jam 7 kamu di rumah, jam 9 di warung bakso. Maka ruang dan waktu itu terikat. Tidak bisa jam 7 kamu di dua tempat yang berbeda. Karena waktu itu seperti frame film yang bertumpuk-tumpuk. Seandainya kamu bisa kembali ke masa lalu, itu bukan masa lalumu, tapi kamu akan masuk sebuah lingkungan ruang-waktu yang lain, yang disebut dunia paralel. Jadi keluar dari mesin waktumu, alih-alih kamu akan bisa mengubah dosa-dosa masa mudamu, yang adalah kamu akan bertemu dirimu yang lain dalam ruang dan waktu itu. Kamu ada dua. Asek! Gak butuh cermin dong! Sebelum kamu memberi tahu dia tentang dosa yang akan dia lakukan, kamu sudah ditonjok dulu sama dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya, “Apakah ini mimpi, tapi kok nyata banget!” Tamasya waktu apa pun akan membawamu pada lingkungan ruang-waktu yang lain. Kayak di film-film gitu, jadi intinya sama aja dong kita gak bisa mengubah masa lalu kita sendiri? Iya! Mentok-mentok cuma bikin masa depan versi dua, versi tiga, dan seterusnya di paralel dunia yang berbeda-beda.
Sebentar-sebentar, D, bagaimana jika kita cukup egois. Sangat egois maksudnya. Semua energi di semesta ini kita kumpulkan kita masukkan ke tubuh kita, lalu kita melesat memakai celana dalam dan jubah merah tidak perlu menyamai kecepatan cahaya. Cukup mendekati saja. Hampir sama dengan kecepatan cahaya. Lah kalau itu mungkin! Dengan energi yang hampir tidak terhingga kita bisa bergerak mendekati kecepatan cahaya. Maka yang akan terjadi adalah waktu akan sangat melambat (walaupun untuk kita yang mengalami kecepatannya tetap, tapi bagi pengamat di bumi waktu begitu melambat). Sampai mendekati singularitas, dan pada singularitas, kita merasa bahwa kita akan terus bergerak. Namun bagi pengamat, kita akan nampak seperti berhenti. Ngefreeze. Kayak kuisnya Djaja Mihardja dulu, “Apaan tuh!” melek sebelah. Kita akan nampak tidak ke mana-mana, tidak ngapa-ngapain, selain cuma diam di tempat kayak cicak nemplok di dinding. Atau kodok terpesona melihat puteri cantik yang mau mencium dia. Mak gragap, kodoknya langsung bangun dari tidur. Eh Cuma mimpi.
Jika kita bukan cicak atau kodok, namun kondisi itu benar-benar terjadi, kita akan mengalami dilasi waktu. Dengan bergerak 90 persen kecepatan cahaya, waktu kita akan cuma separuhnya. Misalnya jam di bumi 10 menit, kita cuma ngabisin waktu 5 menit saja. Bukan hanya itu, kita akan dipusingkan oleh konsekuensi visual kita yang aneh dari dilasi waktu itu. Jadi kamu akan seperti menciut masuk ke dalam sebuah lubang sempit, karena foton di belakangmu juga seolah-olah akan datang dari depanmu. Kamu akan melihat semuanya begitu kecil, dan kamu pun akan nampak sangat mengecil dilihat oleh pengamat. Semuanya akan seperti film Superman. Wuzzz! Dan kamu juga akan mengalami efek dopler yang ekstrim! Cahaya bintang di depanmu akan mengumpul semuanya sangat ramai, lebih ramai daripada seribu pasar malam dikumpulkan, hingga yang ada di depanmu semuanya akan cuma kelihatan biru, yang di belakangmu akan nampak merah. Begitu terang karena cahaya itu ngumpul di ujung lubang yang kamu masuki. Semakin terang dan semakin terang. Dan semakin cepat kamu bergerak, matamu tidak akan bisa melihat cahaya lagi, karena tidak ada panjang gelombang cahaya yang bisa ditangkap oleh matamu. Dari sangat terang, semuanya lantas akan menghitam pekat. Lah, timbang repot-repot gitu, nyemplung aja ke lubang hitam kan sama saja.
Maka, D, yang terkasih...
Hukum fisika memang tidak memungkinkan perjalanan mesin waktu. Mungkin hukum metafisika bisa. Maka daripada bikin mesin waktu. Lebih baik kita belajar dukun saja. Ilmunya pakai nggrogoh sukma. Atau dikasih hati ngrogoh rempela. Tapi seandainya kamu masih memaksa juga mau ke masa lalu, ya sudah aku bisa ngomong apa. Ya aku senang kalau kamu senang. Tahun 1947 saja orang mengatakan mustahil bisa bergerak secepat kecepatan bunyi, buktinya sekarang bisa. Walaupun cahaya sama bunyi itu kecepatannya beda sih, beda dikit cumaan. Kecepatan cahaya itu 299.792.458 m/detik, sedangkan kecepatan bunyi 344 m/detik. Ya bedanya cuma dikit lah, sebelas dua belas.
Jadi mending kita kembali ke kesimpulan kita yang biasanya saja. Bangun pagi dan menikmati embun di ujung dedaunan, merasakan sinar mentari keemasan di kening kita. Memandang berkas-berkasnya dari puncak-puncak pepohonan, sambil merasakan gigil berkat angin pagi yang menusuk tulang. Lalu tersenyum memandang foto orang-orang yang kita taksir tapi tidak sadar-sadar juga. Atau sadar tapi kok ya tidak membalas taksiran kita. Sudah gitu mau kepoin dia saja internet di henpon kita lelet kayak semangka. Gambarnya burem, muter-muter doang. Buffering! Buffering! Ah, daripada belajar ilmu perdukunan buat kembali ke masa lalu, mending kita belajar nyanthet saja. Kita gak dapat dia, dia gak dapat siapa pun.
Sahabatmu, Gide
Tidak ada komentar:
Posting Komentar