Senin, 13 Januari 2020

SELIMUT TETANGGA (1)

28 April 2019

Selimut Tetangga (1)
Surat untuk Sahabat

D, yang termaram, berbeda dari biasanya, suratku kali ini akan menjadi sebuah trilogi, dan ini adalah bagian pertamanya.

Hari kedua, Allah menggubah cakrawala. Selimut. Allah menarik garis batas antara air atas dan air bawah. Tentu kita tahu, sekarang maklumat serupa itu terdengar serasa omong kosong belaka. Menyaru entah dengan seolah. Tak ada air bertengger di atas cakrawala. Sekiranya ada awan yang masih berkitaran di statosfer, dia tak pantas disebut mega, dia gegana: awan stratosferik kutub (PSCs). Kau tahu kerjanya apa? Membolongi ozon.

Pernahkah kau menonton Angels in America, D? Sebuah pertunjukan teater yang adi. Aku tidak. Aku hanya membaca naskah lakon tersebut di Scribd (tidak berakhir tuntas) dan menonton serialnya tahun 2003 di HBO - beruntunglah serial berkerlip maha bintang itu sangat apik. Dalam lakon itu, diberitakan bahwa sejak tahun 1985 (dan info ini sahih) beberapa ilmuwan melaporkan penipisan ozon di Antartika. Seorang tokoh, Harper Pitt, yang mengalami ketidakseimbangan emosional hingga memiliki waham, menolak untuk diajak oleh suaminya ke Washington, karena dunia di luar rumah dianggapnya tidak aman. Laporan itu tepatnya disampaikan dalam sebuah jurnal saintifik Nature. Ditulis oleh J. C. Farman, B. G. Gardiner, dan J. D. Shanklin. Namun ketika itupara ilmuwan tak mengetahui persis penyebabnya, mereka hanya tahu dampaknya pada makhluk dan mencairnya es di kutub.

Namun sebenarnya, sejak tahun 1972, dua orang ilmuwan dari University of California, Mario Molina and Sherwood Rowland, telah mengudar sebuah temuan, yang juga diterbitkan dalam jurnal Nature, bahwa penyebab penipisan ozon adalah CFC. Mereka mendapatkan Nobel di bidang kimia pada tahun 1995 karena pernyataan mereka bahwa ozon sebenarnya memiliki daya tampung beban yang tidak tak terbatas atas klorin.

Sebentar, kau mungkin bertanya, apa hubungan klorin (salah satu penyusun utama CFC adalah klorin) dengan ozon? Ozon, yang menyebabkan langit kita berwarna biru itu, tersusun dari molekul oksigen (O2) tipis di stratosfer yang dipencar dan disatukan kembali menjadi O3 oleh sinar UV dari matahari. Namun CFC yang naik ke stratosfer ketika bertemu dengan ozon akan memecahkan diri dan memecah ozon. Cl + O3 => ClO + O2. Tahukah kau berapa kekuatan sebuah atom klorin? Sebuah atom klorin dapat memecah 1.000 molekul ozon. Ketika ClO bergabung dengan molekul unsur atau molekul senyawa lain sebutlah gabungan antara nitrogen dan oksigen, maka dia akan membentuk sebuah senyawa lain yang lebih stabil, yang disebut reservoir substances, seperti klorin nitrat (ClONO2). Dari sanalah kemudian ozon menipis.

Namun penipisan ozon dan lubang ozon adalah hal yang berbeda. Lubang ozon terbentuk ketika PSCs, gegana tipis yang dingin itu, yang bisa saja terbentuk dari asam klorida (HCl) bertemu dengan reservoir substances tadi. Reservois substances tadi akan terpecah lagi menjadi bentuk klorin yang lebih aktif (sebutlah misalnya Cl2) di samping HNO3. Klorin aktif inilah yang ketika bertemu dengan ozon merusak ozon sama sekali. Ozon yang sudah kikis diserut kembali dalam benturan-benturan molekul yang parah hingga tak berbekas. Dampaknya adalah tak ada lagi penahan sinar UV, salah satu penyebab kanker kulit.

Namun jangan salah, bukan sinar UV yang menyebabkan global warming. Sinar UV memang dapat menyebabkan kanker kulit, tetapi bukan perubahan iklim. Jika pun ada dampaknya sangat kecil. Terlebih sejak PBB meluncurkan Montreal Protocol pada tahun 1987, larangan produksi dan penggunaan produk yang merusak ozon. Protokol tersebut ditandatangani oleh 197 negara anggota PBB. Pada tahun 2005, para peneliti di NASA menemukan bahwa ozon kita telah pulih hingga 20 persen. Dan tahun 2018 kemarin ozon kita telah kembali sembuh. Diprediksi tahun 2030an nanti lapisan ozon kita benar-benar pulih. Namun mengapa justru sekarang kamar kos kita semakin panas? Jawabannya sebenarnya justru adalah karena pulihnya ozon. Sayangnya, aku tidak akan membahas ini sekarang, ini akan menjadi bagian dari surat kedua dari trilogi ini, yang akan menjadi bagian tergelap dari suratku tentang selimut. Namun, awaslah pada hal ini, lubang pada ozon menyebabkan bahaya besar karena tidak ada lagi yang menyerap sinar UV, tetapi kembalinya ozon menyebabkan bahaya yang lain. Relasi dengan alam memang tidak pernah sederhana, tapi sayangnya kadang kita kerap menyepelekannya.

Surat ini hendak kulanjutkan dengan ucapan terima kasih pada selimut kita. Selimut kita nyatanya berlapis-lapis. Lima lapis tepatnya, jika kita menghitung eksosfer (Aku sudah menulis pembagian atmosfer, tapi kuputuskan tidak akan kumasukkan dalam trilogi ini, karena bisa jadi begitu mekanis dan begitu panjang, aku akan membagikannya lain kali dalam surat yang lebih ringan. Percayalah, bagiku surat kali ini tidak terlalu berat, tetapi mencekam – khususnya bagian kedua nanti). Selimut kita ini memanjakan kita dengan yang hari ini kita sebut kehidupan. Tanpa selimut ini tak ada kehidupan. Tidak akan ada cerita tentang kita. Tidak akan ada surat-surat bersambung kita yang panjang dan menjemukan ini.

Lihatlah tetangga-tetangga kita. Merkurius tidak memiliki selimut yang cukup mumpuni – ada memang lapisan eksosfer yang aneh, tapi berbeda sekali dengan selimut kita. Jaraknya yang terlalu dekat dengan matahari membuat selimutnya terus terbakar. Dampaknya, tanpa selimut itu, siang di Merkurius begitu panas (hingga 427 °C) dan malam begitu menusuk tulang (hingga -173 °C). Berbeda dengan Venus, selimutnya terlalu padat, 92 kali lebih padat dari selimut kita. Itu selimut atau bonggol pintu? Dan alih-alih bulu angsa, selimutnya terbentuk dari karbondioksida yang terus terionisasi. Kau mungkin bertanya, bukankah karbon dioksida itu penyebab global warming, efek rumah kaca? Tepat, Venus adalah planet dengan efek rumah kaca paling parah, karena itu Venus adalah planet dengan global warming – bukan lagi warm tapi heating – paling ganas. Kalau kamu pingin pakai selimut Venus, maka kamu harus siap untuk menikmati suhu 462 °C. Es batu pun langsung menguap hilang, tanpa sempat meleleh dan menetes-netes di sana. Kecepatan angin di sana mencapai 85 m/ detik atau 300 km/ jam. Jadi bukan saja kamu akan terpanggang, kamu akan terlempar mental ke sana kemari kalau memakai selimutnya. Mars? Selimut Mars sangat tipis dan sebagian besar berisi karbon dioksida juga. Selimut mars begitu berdebu karena seringnya badai debu di sana. Jaraknya yang jauh dari matahari menjadikannya suhu rata-rata di sana – 46 °C. Suhu terendah di planet itu -143 °C, hanya ketika musim panas, dan siang daerah ekuator mencapai suhu 36 °C.

Itu selimut di inner planet, bagaimana dengan outer planet? Jupiter sang raksasa memiliki selimut troposfer setebah 50 km (bandingkan dengan troposfer kita yang hanya setebal 6-18 km). Jangan berharap bertemu oksigen, karena selimutnya tersusun oleh ammonia. Kecepatan angin di sana lebih ganas daripada Venus, rata-rata kecepatan angina di sana 100 m/ detik atau 360 km/jam bahkan bisa mencapai 620 km/ jam. Itu angin atau naik pesawat jet? Namun bicara Jupiter dan outer planet lain sebenarnya lebih berbicara perkara kasur atau struktur planet itu sendiri. Hanya inti planet Jupiter yang bebatuan solid, selebihnya adalah gas. Dia memang raksasa dentgan gravitasi dan massa luar biasa, tapi sebagian besar tak ada yang solid di sana. Jangan harap bisa tidur dengan nyaman.

Saturnus yang cantik itu memiliki selimut yang tersusun oleh hidrogen dan helium. Dan sama seperti Jupiter, merupakan planet yang tersusun dari gas. Selimut Saturnus adalah juga kasurnya. Kecepatan angin di sana mencapai 500 m/detik atau 1800 km/jam. Indah sih, tapi mawut. Uranus begitu jauh dari matahari, sebuah planet gas juga. Artinya persis Saturnus, kita tak bisa membedakan antara kasur dengan selimutnya. Kecepatan angin di sana tak secepat Saturnus, hanya 900 km/ jam saja. Kau tidak akan membutuhkan pesawat, mengendarai angin saja, berangkat dari Jogja satu jam sudah langsung sampai Jambi. Neptunus tidak berbeda, bedanya hanya di kecepatan angin. Di Neptunus kamu bisa mengendarai angin dengan kecepatan 2.400 km/ jam. Diam saja di tempat, dalam satu detik tubuh kamu sudah terlempat 600an meter. Pasti sedap.

Gini kok ya kita meremehkan selimut kita. Bahkan kadang tak terlalu mengargainya hingga menganggapnya tiada. Padahal tanpa selimut itu, malam ini kita gak bakalan bisa mimpi Nicholas Saputra atau Dian Sastro. Boro-boro mau mimpi, sudah terpanggang panas atau terlempar angin. Jadi masih pingin pakai selimut tetangga? Bisa-bisa serupa Repvblik: Mana mungkin selimut tetangga/ hangati tubuhku dalam kedinginan/ malam, malam panjang setiap tidurku/ selalu kesepian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar