Senin, 13 Januari 2020

KENTUT DI DALAM SELIMUT (2)

28 April 2019

Kentut di Dalam Selimut (2)
Surat untuk Sahabat

D, yang berdiri dalam kegelapan …
Seberapa panas Jogja hari ini? Kau merasakannya juga? Bukan hanya panas, tetapi juga riuh. Kau ingat ketika kita masih sama-sama tinggal di asrama? Aku bersama Jay dan Yuni dulu pernah berjalan ke sebuah distro kecil, membeli kaus belang hijau dan putih. Kaus pertamaku yang kubeli sendiri. Sebelumnya aku selalu dibelikan oleh orang tuaku. Seturan kala itu adalah tempat sepi berhantu. Berbeda hari ini. Hantu itu menjelma yang lain, yang sama-sama mengerikan. Dan kita dengan bangga kadang menyebutnya pengembangan. Para gadis semakin cantik, dan para pria tak kalah cantik. Di dunia baru ini, aku seperti tak punya tempat lagi. Aku semakin kesepian. Dan mungkin bukan hanya aku, jutaan bahkan milyaran orang yang lain.

D, yang duduk dalam gelap...

Laurence C. Smith menuliskan dalam bukunya The World in 2050, bahwa tahun 1800an, sebelum ditemukannya sistem pertanian modern jumlah penduduk bumi sekitar 1 milyar jiwa. Jumlah ini bertambah menjadi 2 milyar pada tahun 1930. Kurang lebih 130 tahun dibutuhkan untuk menambah angka 1 milyar. 1 milyar berikutnya tahun 1960. Lihat perubahannya. Hanya dalam 30 tahun kita semakin rakus membuat anak. Berturut-turut angka 1 milyar ditambahkan pada 1975, 1987, 1999, dan 2011. Sejak 1987, jumlah penduduk bumi, yang bertambah pintar juga, bertambah 1 milyar setiap 12 tahun. Tahun 2013 penduduk Indonesia 249 juta jiwa, akhir tahun nanti diproyeksikan 266 juta jiwa. 20 juta jiwa bertambah dalam waktu 6 tahun. Pertengahan bulan ini, aku bertanya kepada warga jemaat GITJ Kudus, apa yang kira-kira akan terjadi dengan angka ini? Jawaban seorang bapak, “Rebutan mangan.” Aku mengangguk lemah.

Bukan hanya makan, tetapi juga rumah dan kuburan. Di Jogja, rumah sudah saling berdempet, beberapa diatur bersusun ke atas, supaya menampung lebih banyak. Kapan hari aku datang ke Rusunawa Tambak, lima menit saja bermotor dari kontrakanku. Rumah-rumah berukuran 24-27 meter persegi itu berisikan sebuah keluarga. Ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Tapi bukan hanya itu, hari ini bahkan orang memberikan label pada rumah-rumah sekarang, “khusus untuk kaum kami”. Karena siapa yang akan kita selamatkan jika bukan kelompok kita terlebih dahulu? Ruang bergerak semakin sempit.

Setelah Pemilu kemarin, aku dan keluarga adik laki-lakiku bermobil ke Hi-Tech Mall Surabaya. Dia hendak menukarkan komputer lamanya dengan yang lebih baru. Tutup. Kami sedih, karena perjalanan ke Surabaya paling tidak dua jam dari Pacet. Namun ada yang senang, anak-anak kecil di sekitar mall itu. Jalur kendaraan yang biasa padat di mall itu mereka gunakan untuk bermain bola. Sesempit itu ruang kita sekarang, karenanya anak-anak hari ini menyesuaikan diri. Tak ada lagi kebonan, tak ada lagi hutan. Mereka membangun hutan dan kebun di handphone mereka masing-masing. Bulan Mei ini aku juga diminta oleh Petra Surabaya beracara bersama di Pacet. Giliran mereka yang dari Surabaya yang ke Pacet. Tapi mengapa jauh-jauh ke Pacet? Pertanyaan yang sama yang kuajukan kepada warga GKJ Medari beberapa waktu lalu ketika mereka beribadah padang di Pantai Glagah. Mereka menjawab, karena mencari suasana yang nyaman. Bayangkan ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kenyamanan.

Untuk nyaman, kita harus rela antri bahkan berebut dengan yang lain. Membuat jadwal jauh-jauh hari. Segala perkembangan ini membuat kita tumbuh begitu ambisius, jika tidak kita akan kalah saing. Segalanya adalah tentang kompetisi, yang lain adalah saingan kita berebut makan dan tempat yang nyaman. Karena segalanya adalah “khusus untuk kelompok kami”. Kita menjadi orang-orang yang terputus. Individualistis, materialistis. Dan kita menjadi berhitung angka bahkan untuk sebuah relasi. Karena cinta saja tak mengenyangkan kita. Makan tuh cinta! Hari ini tidak ada daun keladi yang tumbuh dan bisa dipetik dengan gratis. Tak ada petai yang tumbuh di sekitar rumah kita. Bahkan memancing pun, sudah disediakan ikannya. Untuk memancing, kita harus membayar jasa penyediaan ikan mereka. Supaya 7 milyar penghuni bumi bisa makan, kita tak mungkin mengandalkan cara yang lama. Ora edan ora keduman. Sabun untuk wangi, minyak goreng untuk mengolah ikan, sepatu untuk trendi, McD untuk wifi gratis, listrik untuk … hampir segalanya. Perkantoran yang bertumpuk-tumpuk, cerobong asap kendaraan, dan cerobong asap yang lain. Begitu atau tidak ada kehidupan untuk 7 milyar tubuh yang semakin cantik hari demi hari.

D, yang meringkuk dalam gulita …

Februari 2015 kemarin dunia, khususnya Amerika dan Eropa mengalami musim dingin terdinginnya. Maka orang tak benar-benar percaya bahwa global warming sungguh-sungguh. Sebelumnya pada tahun 2008, Don J. Easterbrook, seorang professor emeritus di Western Washington University, menyatakan bahwa global warming yang terjadi sejak 1977 sudah usai. Yang terjadi adalah proses alamiah belaka. Dunia kita bernapas, itu siklus yang bisa diamati dari 500 tahun yang lalu. Kadang panas, kadang begitu dingin. Karbon dioksida bukan penyebab global warming. Demikian suara yang muncul menampik global warming. Tak usah khawatir, ini proses biasa.

Namun tulisan Easterbrook tersebut justru berkebalikan dengan data yang diperoleh sejak tahun 1750, ketika era industrialisasi dimulai. D, kau ingat tulisan pendekku beberapa waktu yang lalu: bumi terbentuk 4,5 milyar tahun yang lalu, mamalia mulai hidup 60 juta tahun yang lalu, manusia dalam anatominya sekarang diperkirakan terjadi sejak 200 ribu tahun yang lalu, sedangkan peradaban manusia mulai era neolitikum berkisar 10 ribu tahun yang lalu. Sebelum era industrialisasi emisi karbon adalah memang menunjukkan bahwa bumi kita bernapas. Emisi tersebut terjadi paling tinggi pada musim dingin dan berkurang drastis pada musim panas. Karena ketika musim panas tetumbuhan menyerap karbondioksida untuk hidup mereka. Namun dari data yang diperolah sejah 1750 sampai hari ini, nampak bahwa emisi karbon tahun demi tahun terus bertambah. Hanya dalam jangka waktu 250 tahun (bandingkan dengan usia segala hal di bumi tadi), dalam usia yang sedemikian pendek, peradaban industrial kita menyumbangkan 42 persen emisi karbon lebih banyak daripada emisi karbon sebelumnya di atmosfer. Dan kenaikan drastis tersebut terjadi utamanya sejak perang dunia II, ketika hidup mulai serba aman dan tenteram. Seiring perkembangan industrialisasi, tumbuh pula penggunaan energi dari bahan bakar fosil. Hal ini semakin diperparah dengan habisnya hutan untuk pemukiman dan kebutuhan industri. Kita menghancurkan benteng pertahanan kita sendiri, ironisnya terutama supaya kita bisa hidup dengan cantik.

Gas rumah kaca. Kita menyebutnya begitu. Itu yang disumbangkan oleh emisi karbon. Sebenarnya bukan hanya karbon diosida, tetapi ada jenis gas lain yang bisa dimasukkan dalam kategori gas rumah kaca ini, ada enam gas – tapi tak usah disebutkah lah di sini, kau bisa mencarinya di google. Memang tidak semuanya dihasilkan oleh industri, tetapi tiga dari enam gas tersebut, dihasilkan oleh aktivitas manusia. Ada proses alam yang terjadi memang, tapi proses alam tersebut tidak sebanding dengan sumbangan kita sendiri. Kau ingin tahu perbandingannya. Anggaplah jumlah gas rumah kaca itu sebuah kotak permen yang dibagikan kepada 100 anak, tiga permen yang dihasilkan dari aktivitas manusia adalah karbon dioksioda (CO2), metana (C4H), dan nitrogen oksida (NO2 – utamanya dari knalpot kendaraan). 76 anak akan mendapatkan permen CO2, yang terdiri dari 65 permen CO2 merk ‘industri dan bahan bakar fosil’, dan 11 permen merk ‘pembabatan hutan dan penggunaan lahan’. 16 anak akan mendapatkan permen metana, 6 anak lain akan mendapatkan permen nitrogen oksida. Total permen yang tersisa adalah 2 buah permen gas rumah kaca lainnya. Ya sebanyak itulah perbandingannya. Masih berani bilang itu alamiah belaka?

D, yang terbaring dalam kelam...

Selimut kita, khususnya Ozon, ikut mendukung global warming ini. Karena gas-gas rumah kaca itu serupa kentut yang kemuleng di dalam selimut. Klorin dari CFC melubangi ozon kita, kentut itu mungkin akan bisa keluar. Tapi tanpa ozon kita terpapar tanpa daya terhadap sinar UV, kanker kulitlah kita. Kita sudah memulih kondisi ozon, tapi itu masalah lain, karena kentut itu sekarang benar-benar tak bisa keluar. Kentut itu memerangkap sinar infra merah dari matahari dan memanaskan bagian dalam selimut kita. Sedangkan hutan sudah kita babat.

Ketika panas, tak ada pilihan selain ngadem di ruang berAC, atau minum es teh. Untuk membantu ozon kita supaya tidak berlubang, kita kemudian mengubah AC kita dari CFC menuju HFC yang lebih ramah lingkungan. HFC ini menyelamatkan ozon kita secara luar biasa. Syukurlah. Tapi tahukan kamu HFC (hidroflurokarbon) adalah gas rumah kaca? Jumlah HFC sejak penggunaak AC ramah lingkungan ini meroket dalam beberapa dekade ini. Ya sudah tak ada cara lain, kita pun minum es teh sebagai satu-satunya jalan. Untuk menghindarkan panas yang terlalu parah, kita mencaikan es-es di kutub. Dalam 100 tahun ini air laut sudah naik antar 15-20 cm dari pecahan-pecahan es yang kita cairkan. Di tahun 2100 nanti, jika tren mencairkan es ini terus terjadi, laut kita akan bertambah kurang lebih 15 – 95 cm bahkan mencapai 2,5 meter.

Apalah artinya setengah sampai 2,5 meter? Sangat berarti. Karena kehidupan alam bergantung di sana. Beberapa negara akan tenggelam. Diduga tahun 2050 akan ada 150 juta orang menjadi pengungsi iklim dan mencapai 2 milyar pada tahun 2100. Selama ini kutub kita memainkan peran pada iklim dan cuaca. Es memang rutin mencair dan membeku di kutub baik di Utara maupun Selatan, sebuah proses alamiah bernapas tadi. Tetapi pemanasan ini membuat kutub tak lagi membeku seperti dulu lagi. Suhu yang dingin pada 2015 juga terjadi karena upaya alam kita menyeimbangkan diri dari perubahan iklim karena mencairnya es di kutub. Ingat, es di kutub adalah salah satu pengendali utama iklim dan cuaca kita. Dengan perubahan es, kemarau semakin panjang, musim hujan tak menentu. Banjir terjadi. Dan tekanan angin menuju kemungkinan yang tidak kita kenal. Badai bisa lebih sering terjadi. Nyatanya, kita terus menerus kehilangan es kita. Bayangkan di Greenland saja, pada tahun 2012 kemarin sudah 400 juta ton harus dilelehkan. Antartika pada tahun 1980an kehilangan es 40 milyar ton setiap tahunnya. Dan dalam dekade terakhir ini, rata-rata es yang mencair sebesar 252 milyar ton setiap tahunnya. Yang sudah mulai nampak adalah konstelasi hewan dan tumbuhan. Migrasi ke daerah lebih dingin hewan-hewan laut terjadi hari ini. Oh, ada kabar gembira, pinguin di Antartika semakin banyak hari ini, karena kutub yang mencair menyisakan daratan bagi mereka untuk tinggal. Tapi jangan lupa, bahwa krill, makanan mereka tumbuh di bawah es yang mengapung di laut sekitarnya. Tanpa es, tak ada krill, tak akan ada pinguin lagi. Jika seluruh es mencair, dulu diduga ini akan terjadi dalam 5.000 tahun, tapi bisa jadi lebih cepat dengan kemungkunan hari ini, maka air laut akan naik 69 meter. Tak banyak yang akan selamat dalam skenario ini.

Di sisi lain, habisnya hutan menjadi penyebab lain. Hutan di Kalimantan menyimpan spesies tumbuhan lebih banyak daripada di seluruh Eropa. Relasi hewan dan tumbuhan yang harmonis di hutan terbangun dalam jutaan tahun, tetapi bisa rusak hanya dalam hitungan tahun. Dalam 50 tahun ini, Kalimantan sudah kehilangan separuh hutannya. Hutan alam terbesar yang tersisa hanya ada di Amazon, dan bisa diduga. Ada gula ada semut. Deforestasi terbesar dekade ini terjadi di Brazil. 13,7 persen hutan mereka dibabat dalam 10 tahun terakhir, setara luas 987.000 lapangan sepakbola yang disusun saling bersebelahan. Bayangkan jika 1 lapangan bola saja bisa menampung sekian ribu jumlah pendukung presiden tertentu, lalu bagaimana jika 987.000 lapangan. Aku tak perlu menceritakan apa dampak global warming, kau bisa menemukan itu di mana-mana.

D, yang tenggelam dalam pekat …

Apakah ada yang bisa kita lakukan? Aku tidak tahu.

Yang jelas bahwa hari ini Protokol Kyoto yang dibuat sejak 1992 oleh PBB sebagai pengurangan emisi karbon mengalami jalan terjal. Protokol tersebut baru selesai dirundingkan pada tahun 1997, dan diberlakukan sejak 2005. Beberapa negara menunjukkan penurunan emisi karbon mereka, bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini Amerika Serikat sebagai negara yang dulu mengekspor emisi karbon terbesar. Tapi secara per kapita, Amerika Serikat masih menyumbangkan jumlah emisi karbon terbesar ke selimut kita. Dalam beberapa tahun ini, perkembangan ekonomi di China mendapatkan sorotan luar biasa, karena peningkatannya berkali-kali lipat bahkan dalam beberapa tahun ke depan diduga akan menyaingi Amerika Serikat. Namun bersama dengan itu, kita tahu, negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia saat ini adalah China. Dan tren emisi karbon global terus naik, khususnya di Asia. Secara umum protokol Kyoto itu tak diberlakukan, bahkan tak diperhatikan, di banyak negara. Termasuk negara tercinta kita ini.

Benarkah tidak ada yang bisa kita lakukan? Apakah tidak ada moda ekonomi yang benar-benar ramah lingkungan? Apakah tidak mungkin kita hidup dengan lebih berkawan dengan alam? Aku tidak tahu.

Nyatanya, kita tak bisa meminjam selimut tetangga kita untuk kita pakai. Sedangkan kita pun merusak selimut kita sendiri. Yang aku tahu, para ahli di berbagai belahan negara sudah memprediksi, dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat 1 milyar setiap 12 tahun ini, mau tidak mau semakin banyak kerusakan alam yang akan terjadi. Pada tahun 2100, 80 tahun dari sekarang, jika pun kita mampu mengendalikan bahkan meniadakan emisi karbon dari aktivitas manusia, kemungkinan terbaiknya adalah suhu masih akan terus meningkat hingga 2 ℃. Itu adalah kemungkinan
terbaik. karena kita (termasuk hewan dan tumbuhan) mungkin masih bisa toleran. Tapi jika emisi masih sebesar sekarang, pada tahun 2100 nanti suhu diperkirakan akan naik hingga 8 ℃. Artinya? Berbagai spesies tak akan bisa hidup dalam suhu sepanas itu. Perebutan makanan akan terjadi di mana-mana, mengantarkan pada kepunahan jenis yang lain. Perubahan iklim akan luar biasa, kita akan lebih sering berhadapan dengan badai dan banjir. Anggaran APBN untuk penanganan banjir pun tak akan ada artinya, bahkan ketika saat itu kita sudah sama sekali bebas dari korupsi. Masih mau rebutan presidennya siapa? Kita tidak perlu Thanos untuk menjentikkan jari, kita telah menjentikkan jari kita masing-masing untuk menciptakan kepunahan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar