Senin, 13 Januari 2020

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI

14 Januari 2019

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI (surat untuk kedua sahabat baik hati)
D dan D, yang terkasih...
Ada sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta, kriya, menunjukkan sebuah proses kerja atau aksi yang terus menerus, dilakukan dengan sepenuh daya usaha. Kata itu disanding dengan karma. Dua kata yang bertetangga, bersinggungan, namun pada saat yang sama berpelukan. Partisipatif. Karma menunjukkan bahwa sebuah aksi apa pun punya tujuan sekaligus dampak. Aksi baik akan berkarma baik, aksi yang buruk akan berkarma buruk.
Namun apakah baik dan buruk? Kita tahu, di seluruh pusat galaksi di sepanjang semesta yang mampu diamati, ada sebuah entitas yang begitu perkasa. Entitas itu tercipta oleh supernova maha dahsyat, oleh perpaduan entitas yang sama, bahkan sejak dentuman besar, 13,7-13,8 milyar tahun yang lalu. Entitas itu kita kenal dengan sebuah nama yang tak kalah gagah, lubang hitam supermasif.
Lubang hitam supermasif ini begitu rakus. Dia memakan apa saja yang ada di sekelilingnya. Bahkan ketika benda itu sejauh matahari dengan bumi, benda itu sudah akan diraupnya dengan lahap. Dekat dengannya berarti kematian. Setelah memamah bintang, planet, gas, dan materi apa pun di sekitarnya, lubang hitam supermasif akan menyemburkan jet kosmik panas, terang dan membunuh. Kita mengenalnya dengan istilah blazar, quasar, atau radio galaksi, tergantung dari mana kita melihatnya. Jika arah semburan jet spektakuler itu mengarah tegak lurus dengan arah pandang kita, kita menyebutnya radio galaksi, jika membentuk angle dari arah pandang kita, maka namanya quasar, namun jika tegak lurus mengarah pada kita - dan ini mampu membunuh seluruh bumi dalam sekejap, bahkan jika pun jaraknya milyaran tahun cahaya dari kita, karena yang disemburkan sebenarnya sinar gamma maha bahana - kita menyebutnya blazar.
Lubang hitam supermasif itu sendiri membunuh, muntahannya pun membunuh. Cahaya tak mampu menembusnya, waktu melengkung menjadi lebih pendek ketika kita di dekatnya, dia sendiri pun tak nampak oleh mata manusia, teleskop, atau kamera kumputer super canggih sekalipun. Begitu ngeri entitas ini.
Namun kita pun tahu, tanpa dia di pusat galaksi kita, kita akan menghambur tak keruan oleh energi kegelapan. Entah ke mana. Kita akan terhempas hilang. Gravitasi lubang hitam supermasif yang maha bahadur itulah yang menjaga kita tetap memiliki poros, tetap mempunyai inti. Tetap berumah. Dia menjaga kita terus berputar dan hidup. Dan kita beruntung bahwa saat ini, lubang hitam supermasif di pusat bima sakti sedang berpuasa karena kehabisan bahan bakar. Tidak ada gas, bintang, atau planet yang dekat-dekat dengannya. Sehingga dia tidak terlalu nakal. Namun 4 milyar tahun lagi, kejinakannya ini akan berakhir, dia akan menjadi buas dan liar ketika Bima Sakti bertabrakan dengan Andromeda. Kolisi itu menyebabkan konstelasi bintang berubah, dan segera saja begitu ada bintang-bintang yang mendekatinya, lubang hitam supermasif kita akan mempunyai cukup pakan untuk mengamuk serupa saudaranya yang lain.
D dan D, yang terkasih…
Maka kita melihat sebuah keajaiban lain dari kehidupan semesta, mereka yang paling buruk pun ternyata menyimpan kebaikan yang menggetarkan. Dalam sebuah pusat kematian, justru ada kehidupan yang lebih dari cukup untuk dijalani. Sama seperti siang dan malam, bukankah itu hanya ilusi? Siang dan malam, serupa quasar, blazar, dan radio galaksi. Bergantung sekali dari mana kita melihatnya. Namun kita sering dikecohkan oleh indera kita. Itulah kita. Bahkan untuk tahu bahwa quasar, blazar, dan radio galaksi sebenarnya adalah hal yang sama hanya bergantung dari sudut mana kita melihatnya, para ilmuwan menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mengerti, 20an tahun tepatnya. Mereka sempat berpikir itu adalah hal yang berbeda. Sama seperti berapa lama kita mengerti bahwa siang dan malam sebenarnya bukan karena matahari yang mengitari bumi, namun karena bumi kitalah yang berotasi. Butuh ribuan tahun. Kita sering silap, karena kita terlalu kukuh memegang pendapat kita, apalagi jika sudah dikukuhkan menjadi agama atau iman, semuanya menjadi serba kuwalat dan keramat. Namun pada saat yang sama, tanpa agama dan iman, hidup kita cerita ruang waktu yang saling bertumpuk, tanpa makna – atau setidaknya tak bisa begitu saja dimaknai. Dari mana segala nilai dan norma itu berasal, jika bukan dari ajrih asih kita pada Sang Misteri.
Maka tentang karma, nyatanya kita tak tahu apa yang akan terjadi esok, bahkan semenit dari sekarang. Kita bukan alien heptapods yang mampu membaca dulu, kini, dan nanti secara bersamaan. Kita masih selalu terikat ruang dan waktu. Namun bukankah ini yang membuat hidup begitu memesona, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi. Justru karena misterinya, justru karena tak semuanya kita tahu. Maka betapa konyolnya orang yang ingin bermain sebagai Tuhan, mereka sejatinya sedang mengecilkan diri mereka sendiri. Dengan sembrono menyebut ini benar atau salau, dengan serampangan membuat aturan-aturan yang sejatinya begitu lembam.
Maka dari ketidaktahuan kita akan nanti dan karma yang kita kenal, pilihan kita adalah untuk menghidupi hari ini. Mencintai dan memeluknya dengan sepenuh. Entah esok baik atau buruk, bukan di sana masalahnya, namun pada apa yang kita lakukan sekarang. Saat ini kita tidak hidup di masa depan. Saat ini kita tidak hidup di masa lalu, membayangkan kenangan terus menerus dan menggenggam yang tiada, menangisi yang pergi, dan menyesali dosa-dosa masa muda. Saat ini kita hidup pada saat ini. Bersyukur atas susah dan senang. Menari bersama irama denting hujan. Meratap bersama tumbuhnya kesewenang-wenangan.Tersenyum merasakan mentari memapar wajah kita sekali lagi. Menangis bersama sakit kita dan sakit mereka, tertawa bersama segala kelucuan semesta. Di sinilah Karma dan Kriya berkawin dalam mahligai damai sejahtera. Dan dengan mampu hidup pada saat ini, sebenar-benarnya kita sudah melampaui waktu dan ruang, kita sudah utuh.
Karma jika pun mengajarkan kita sebuah cerita lain adalah kita yang hidup pada saat ini lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Menurut yang kita nilai sebagai kebenaran. Bahkan jika akhirnya yang kita anggap kebenaran itu akhirnya menjelma kesalahan, waktu akan mengajar kita dengan telaten. Dan jika kita melakukan kesalahan yang tak termaafkan sekalipun, kita masih mengenal pemaafan yang mampu memaafkan yang tidak termaafkan. Demikianlah, kita mengenal Penebus.
D dan D, yang terkasih…
Aku ingat seorang perempuan pernah berkata demikian pada seorang gadis yang lebih muda dalam sebuah kompetisi menari, “Mengapa kau masih sibuk dengan kompetisi ini, Sayang, kau sibuk memikirkan apa pendapat para juri, pada kemenangan dan kekalahan. Berapa nilaimu. Nanti akan bagaimana, bagaimana kalau akan begini atau begitu. Hingga kau lupa pada indahnya tarianmu, pada korsase putih di rambutmu, pada pasangan menarimu yang hadir setiap waktu, Sayang. Kamu tahu, setelah aku memenangkan puluhan bahkan ratusan piala itu, aku kemudian tahu, bahwa menyanyi adalah menyanyi, memasak adalah memasak, hidup adalah hidup. Nikmati saja tanpa beban, just enjoy the show, enjoy the flower on your head. Dan, Sayang, kau akan menari dengan sempurna.”
Gide

Tidak ada komentar:

Posting Komentar