Rabu, 07 Oktober 2020

INGATAN PERTAMA

 INGATAN PERTAMA

21 Mei 2020

“Lembaran foto hitam putih, Kembali teringat lagi wangi rumah di sore itu. Kue coklat balon warna warni, pesta hari ulang tahunku..” (Monokrom ~ Tulus)

 

Suatu kali, G mengajukan 1 pertanyaan yang tak pernah ditanyakan orang lain sebelumnya. Ah, bukankah ia selalu begitu, membuka sekat dalam sisi hidup dengan sesuatu yang baru. Sial, kini aku jadi merindukan saat-saat kami bertemu, nonton, berbincang, tertawa sampai menangis tersedu. Apa yang ia tanyakan? Tetiba ia berkata: “Des, apa ingatan pertamamu?” Kami sama-sama berpikir, mengaduk-aduk masa lalu.

 

Sejauh yang saya ingat, memori pertama saya adalah digendong mburi oleh ibu dengan selendang yang berbau apek ketika saya ikut ibu ke pasar untuk kulakan barang dagangan. Saya bercampur dengan aneka sayuran dan barang-barang eceran. Ingatan saja juga tertuju saat saya bermain di lincak dengan beberapa gelundung kelapa atau saat saya main sepeda didorong oleh beberapa anak tetangga yang sebaya.Mungkin saat itu saya berumur 4 atau 5. Semua yang saya ingat adalah pengalaman yang baik dan gembira walaupun saya hidup dalam sederhana. Berbeda dengan sahabat saya, ia pun mulai bercerita. Ingatan pertama yang terlintas di pikirannya adalah mendorong pintu Bersama budhenya saat angin besar menerpa. Beberapa kepahitan dan trauma hidup yang pernah dia rasakan masih terekam jelas di benaknya. Menurutnya, secara langsung ataupun tidak, itu mempengaruhi hidupnya, ikut membentuk dirinya.

 

Barusan saya membaca beberapa artikel tentang ingatan pertama. Menurut penelitian, rerata memori awal manusia berada di usia 3 tahun, tepatnya 3,24 tahun. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh 3 universitas yaitu London, Bradford dan Nothingham University mengatakan bahwa ada juga yang mengaku memiliki kenangan saat berusia 2 tahun ke bawah. Dalam jurnal Psychological Science yang mereka terbitkan, sebanyak 6.641 relawan dilibatkan dan sebanyak 38,6% bisa mengingat apa yang terjadi di usia 2 tahun. Bahkan 893 orang diantaranya memiliki ingatan saat masih berusia 1 tahun. Wah, hebat betul!

 

Namun, kata ilmuwan itu, ingatan di bawah 3 tahun dianggap sebagai kenangan fiktif berdasarkan ingatan yang terlintas dalam pikiran mereka, misalnya warna baju, kereta dorong, anggota keluarga dan sebagainya yang muncul sebagai pengalaman masa lalu yang terlintas dalam pemikiran mereka atau representasi mental episodikmemori. Kenangan fiktif ini terjadi karena manusia biasanya salah memperkirakan umur saat mengingat masa lalu. Di samping itu, perkembangan memori belum sepenuhnya terbangun sampai pada usia 3-4 tahun di dalam otak kita yang punya 86 miliar neuron dan 10 triliun sinapsis ini. Dan yang lebih membuat kita lebih hati-hati adalah 75% kekeliruan berasal dari memori visual yang salah. Lhah…

 

Di samping itu, ada factor pembentukan Bahasa yang memudahkan kita mengingat dan berbagi cerita yang teratur dan rinci. “Bahasa bisa membantu menyediakan struktur atau pengaturan akan memori kita, dan itu adalah sebuah narasi. Dengan menciptakan sebuah kisah, pengalaman ini menjadi lebih terorganisir, dan maka jadi lebih mudah diingat.” Demikian kata seorang ahli.

 

Trivia: Tahukah kita bagian otak apakah yang bertanggung jawab menyimpan kenangan? Seperti saat kamu mengingat memori tentang dia yang tak pernah bisa dimiliki? Eaaa…

 

Yup, adalah hipokampus yang bertugas mengelola memori, baik jangka pendek atau Panjang. Makanya, jika kita nyanyi “lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia..” maka suara kita harusnya ditujukan padanya. Namun apakah pertumbuhan hipokampus yang belum penuh ini menjadi penyebab mengapa kita tidak bisa mengingat peristiwa masa kecil kita dan lebih cenderung pada ingatan palsu belaka? Lalu bagaimana dengan ingatan pertama yang kita yakini sepenuhnya terjadi pada usia dibawah 3?

 

Nah, justru itulah hebatnya otak kita!!! Peristiwa masa lalu akan terus mempengaruhi perilaku kita bahkan lama setelah kita melupakannya. Maka psikolog berpikir bahwa ingatan ini bertahan di suatu tempat. Ingatan ini mungkin akan tersimpan di suatu tempat yang kini tak bisa diakses, namun sulit untuk menunjukkan itu secara empiris. Jadi sampai saat ini pun masih menjadi misteri. Wah, otak kit aini keren sekali!!

 

Jadi harus bagaimana? Maka kita harus hati-hati saat mengingat apa yang terjadi pada masa itu -masa kecil yang mungkin penuh dengan ingatan palsu akan peristiwa yang sebenarnya tak pernah terjadi. Elizabeth Loftus, psikolog di University Of California mengatakan bahwa “Orang bisa mengambil suatu sugesti dan mulai memisualisasikannya – sehingga menjadi semacam ingatan.” Katanya.

 

Namun, bagaimanapun juga, mengingat ingatan pertama semasa hidup ternyata seru juga. Kepada Bu Haky saya sempat menanyakan pertanyaan serupa. Dia bercerita tentang banyak hal dari masa kecilnya yang sering sakit dan pengalamannya terperosok ke sungai yang membuatnya hamper kehilangan nyawa. Pengalaman pertama yang membuatnya memaknai betapa pentingnya Kesehatan dan juga cinta kasih dan pengorbanan keluarga kepadanya. Sedangkan bagi saya, kenangan pertama membuat saya bersyukur bahwa hidup saya luar biasa sejak saya bisa mengingatnya dan bersyukur dibuatnya meski hidup kadang tak sempurna. Sedang untuk sahabat yang pernah memiliki trauma dan berusaha merengkuh dan menerimanya, berproses dengan berat untuk bisa bergandengan tangan dengannya dari hari ke hari dan menjadikannya sekarang sebagai karakter yang mendewasa, kepadamu saya menaruh hormat sedalam-dalamnya.

 

Setiap orang punya memori pertama yang akan selalu diingatnya baik fiksi maupun fakta. Ada yang manis, ada yang traumatis. Ada yang begitu sukacita saat mengingatnya, namun ada pula yang berusaha mati-matian untuk melupakannya. Meskipun kita harus hati-hati dalam mengelola ingatan pertama itu benar adanya, namun kita juga menyadari betapa hebatnya otak kita, yang -disamping mengingat- melupakan juga adalah sebuah anugerah tak terkira bagi manusia. Ingatan pertama membuat kita lebih menghargai perjalanan hidup dan kehidupan itu sendiri, mengingat masa lalu untuk membenahi masa kini.

 

Jadi, apa ingatan pertamamu jika boleh tahu?


Selasa, 06 Oktober 2020

HASHTAG (#) TENTANG CINTA (Sebuah percakapan)

G : Tau gak sih, kalau gravitasi terlalu besar maka tidak akan ada semesta, yang ada hanyalah black hole. Terlalu kecil gravitasi semua akan beterbangan tanpa arah dan membosankan. Semesta terjadi karena gravitasi yang "just right", dan sialnya gimana menentukan just right itu... #tentang kita
Aku rasa di sanalah kuncinya cinta... Semua ada di just right itu! Atau kunci akan diri kita... Dan kunci apapun...

D : Wow! Tapi jika ada penguasa semesnta -jika memang ada- yang membuat atau mengatur alam ini sehingga menjadi "just right", bagaimana dengan yang lainnya? Bagaimana dengan "just right" dalam cinta, dalam diri kita dan apapun itu...

G: Aku rasa kalau Dia ada, akan lebih sederhana jadinya. Kita jadi punya tujuan, kepadaNya, mengertiNya.. Bedanya, ada Tuhan atau tidak hanya pada ke mana kita mengalamatkan. Kenapa dugaanku begitu? Semua akan kembali ke mana semua berasal. Hukumnya begitu. Kalau tidak, ya bersiap dengan anomali dan kemungkinan yang lain. Jika kamu bertanya apakah harga yang paling mahal dalam semesta ini: adalah anomali dan segala konsekuensinya. Karena kita jadi bertemu dengan segala ketidakpastian baru yang sama sekali baru. Kalau berani, aku rasa boleh-boleh saja.

D : Anomali adalah penyimpangan atau keanehan yang terjadi atau dengan kata lain tidak seperti biasanya.

G : Ya, benar sekali! Itulah kenapa  ada yang bilang, mother of everything, theorigin is witty, karena butuh seseorang yang berselera humor dan santai untuk bisa menghadapi semua dengan tenang, setidaknya pada akhirnya tenang... Lihat saja tentang frekuensi manusia normal bisa melihat dan mendengar frekuensi tertentu, jika frekuensi ini terlalu besar atau terlalu kecil dan manusia masih bisa menangkapnya, kita menyebutnya indigo. Apakah indigo ini jika bukan salah satu anomali."

D: "Tunggu sebentar, aku mengingat sesuatu! Mungkin yang pernah kubaca dalam kisah Gadis Jeruk itu kayak gini ya? Ayahnya, Georg, berkali-kali menanyakan kabar teleskop Hubble. Bercerita betapa kecilnya kita dalam semesta, namun jika kita diberi pilihan, apakah kita mau hadir berada dalam semesta dengan semua kemungkinannya dan kemudian suatu saat tercerabut begitu saja, atau kita memilih untuk tidak hadir sama sekali dalam semesta."

G: "Bisa jadi. Hubble adalah internet yang membuat kita menjelajah, seperti diri kita, seperti cinta itu sendiri. Benar. Dan harga dari pilihan kita inidalam bahasanya Dee Lestari disebut bifurkasi. Ini hak terbesar dalam hidup kita, meminta, hak itu sudah ada sejak semula dan akan terus ada. 

D: "Hmmm, yayaya... (berusaha memahami)

G: "Hubble adalah pemantik kita, membuat kita mampu melihat realitas dan kemungkinan pilihan dengan jauh lebih jangkep dari yang kita miliki sebelumnya.."

D: (saya menyadari betapa luasnya pembicaraan kami. Lalu tergelitiklah saya pada sebuah pertanyaan berkaitan dengan filsafat Jawa). "Tapi bagaimana dengan jagad cilik kita, G? Semesta kecil kita?"

G: "Aku tak tahu, Des.. Tapi aku percaya ini, dengan penebalan pada kata percaya, kita berasal pada sumber yang sama. Kita dan semua yang ada di semesta. Ingatkah kita pada hukum kekekalan energi? Energi tak bisa hilang atau bertambah. Jumlahnya akan selalu tetap. Artinya, sekecil apapun kita, kita adalah bagian dari semesta ini, dan punya artinya tersendiri, entah sebagai apapun itu. Maklumlah kita jikalau pertanyaan pertama dan kedua dalam filsafat selalu: siapakah aku dan mengapa aku hidup.

G: "Itu yang pertama. Yang kedua adalah jika kita berasal dari realitas yang sama, kita harus berterima kasih dengan penemuan DNA, bahwa tidak mungkin ada yang sama sekali tercerabut dari akarnya, semua hal mewakili realitas yang menurunkannya. Maka bisa jadi jagad cilik ini adalah sampel atau miniatur jagad gede. Lihat saja, kita punya anomali bernama cinta, kita bergravitasi, kita memiliki kecepatan dan percepatan, bergerak, tumbuh, mati dan sepakat bahwa kita tak bisa lepas dari hukum sebab akibat. Jangan-jangan untuk mengerti jagad gede, mungkin loh ini, sederhana saja, mengertilah akan jagad cilik kita. Mungkin.. Aku pun juga tidak tahu, karena penebalan lagi-lagi pada kata percaya.. Dan Yesus mengatakan bahwa pracayamu sing mitulungi kowe.."

D: "What a conversation! Ah, I Love you, G! Tau nggak sih, pembicaraan seperti ini sangat menyegarkanku dan membuatku senyum-senyum tauk!"

G: "Frekuensi, sayang, frekuensi.. Berterima kasihlah pada penemu itu. Kita masih punya bahasa untuk menyatakan apa yang membuat kita begitu sama, atau juga begitu lain. Frekuensi."

(Dan aku bisa merasakan senyumnya mengembang sama seperti senyumku sekarang. Sial!)
 



SEMESTA YANG MELUAS : Sebuah Percakapan

 

(8 Juli 2020)


Senja kami habiskan sedikit demi sedikit di kafe legenda. Bolehlah sesekali nongkrong sebentar menikmati hidup setelah terkurung di rumah saja untuk sekian lama. Kami memilih meja, saya memesan minuman stroberi bersoda, G memesan minum sekaligus 3: lemon tea, air mineral dan coffee drip Toraja. Tanpa perlu diminta, ia menjelaskan hal yang sebenarnya tak perlu karena sudah nampak di depan mata. “Aku ini ya, satu orang saja pesan minumnya tiga. Mungkin karena aku sekarang menggemuk ya, jadi entahlah, berasa lebih cepat haus rasanya. Sekarang aku kalau sama air itu adiktif.” Pernyataannya yang demikian aku sambut dengan canda, bahwa jika orang lain mencandu itu sabu atau ganja, sedangkan dia air belaka. Ya kan semua orang juga pada dasarnya sama? Maka kelakarku untuk menjawabnya: ”Aku juga punya kecanduan kok, Gid.. Kecanduan zat O2!” Lalu berhamburlah tawa.

 

“Tapi dikau tau nggak sih Des, jika oksigen di bumi ini lebih banyak atau lebih sedikit dari 20% kadarnya (atau lebih tepatnya 20,9%), maka bumi dalam bahaya? Bahkan oksigen yang kita pandang sebagai zat adiktif yang selalu kita hirup sepanjang harinya harus punya takaran yang tepat juga. Keren ya! Kamu merasa ini keren nggak sih, Des?” katanya dengan antusiasme yang menyala. Maka dimulailah pembicaraan kami menjadi sebuah hal extraordinary hanya karena diawal dari zat tak kasat mata namun bermassa yang kita hirup tanpa henti, tak pernah kita sadari, dan bahkan jarang kita syukuri. Semesta punya resep yang pas sekaligus aneh di setiap situasi. Apakah ada pembicaraan antar sahabat yang seperti ini, atau hanya keanehan kami?

 

Namun memanglah demikian. Jika kadar oksigen terlalu banyak, maka akan mengancam kehidupan mulai dari potensi kebakaran gila-gilaan, keracunan oksigen yang berdampak pada organ vital, korosi karat akan lebih cepat, matinya bakteri E. Coli pada pencernaan dan lahir Kembali monster-monster raksasa yang pernah hidup di jaman purba saat bumi berkadar oksigen di angka 35. Bayangkan ulat bulu gatal sebesar pohon kelapa atau capung sebesar elang melayang dimana-mana! Begitu pun saat kekurangan oksigen, maka bumi kita dalam bahaya, mulai dari sesak nafas hingga bencana di mana-mana. Mengerikan sekali walau hanya membayangkannya..

 

Kami menyadari bahwa semesta ini punya proporsi, komposisi dan presisi yang sedemikian aneh namun juga akurat dan tepat tanpa kita tahu siapa yang menentukan aturannya. Jarak antara bumi dan bulan, bumi dan matahari, rotasi bumi, lapis demi lapis atmosfer yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi, dark matter dan dark energy yang berselimutkan misteri, hingga hal-hal sekecil atom atau sel tubuh, mitokondria atau hormon oksitoksin, proton, neutron dan electron yang tak Nampak oleh mata. Siapa yang menentukan aturan semesta yang begitu hebatnya? Kala? Tuhan Yang Maha Kuasa? “Eh, kalau kayak gini, kamu percaya Tuhan nggak sih, Des?” pertanyaan diajukannya tiba-tiba.

 

“Maksudku begini, seringkali Tuhan hadir sebatas (atau dibatasi) pada kasih, juru selamat, pengampun, dogma, ajaran agama. Jarang ada kesempatan manusia untuk melihat kehadiran Tuhan di dalam hal-hal semacam ini. Dalam oksigen yang tepat ukurannya, pergerakan rasi bintang, sel darah merah yang merah karena berkarat akibat pertemuan oksigen dan karbon, dahsyatnya peran si mungil metokondria seperti yang kau ceritakan tadi. Tuhan itu hadir dalam hal0hal yang seindah dan sekeren ini ternyata! Gila ya!”

 

“Lalu mengapa orang menyadari kehadiran Gusti Allah yang semacam ini ya, G? Mungkin banyak orang yang tak mengerti bahwa fakta semacam ini memang ada, atau sebagian lagi bodo amat dan tak peduli, atau yaitu tadi, sebagian orang tak memberi cukup ruang yang luas dan lapang untuk menerima kehadiran Allah dengan berbagai macam wujud dan rupa.”

 

“Kita pernah ikut teologi dan sains kan Des? Masih ingat nggak?” (dalam batinku berkata ya jelas enggak lah.. hahaha..).

“Begini,” lanjutnya “sudah bukan saatnya lagi mempertentangkan Tuhan dan sains, bagaimana alam semesta terbentuk versi ilmuwan dan versi dalam kitab suci setiap agama pasti berbeda. Kita menyadari bahwa Tuhan itu hadir tidak hanya dalam satu periode masa saja melainkan hadir di sepanjang sejarah kehidupan. Maka seperti semesta yang semakin meluas (expand) padahal sudah terisi 2 triliun galaksi (2 TRILIUN! Dan itu GALAKSI!) pada objek alam semesta yang bisa diamati, maka sudah sepatutnya manusia juga memberi ruang yang terus meluas bagi kehadiran Allah yang berkarya sepanjang sejarah ini.”

 

“Tapi di sinilah masalahnya: manusia memang mampu untuk melihat perjumpaan Allah, namun ada diantara mereka yang tidak cukup mampu memperluas (expand) ruang di dalam dirinya sehingga tak cukup mampu menampung hal-hal yang menurutnya di luar batas itu karena seringkali dianggap tidak sesuai moral atau unethical. Tadi kita membahas bahwa Allah hadir dalam sepanjang sejarah, kan? Berarti Allah juga hadir dalam bayi tabung, dalam cloning, dalam aborsi, dalam obat-obat kimia dan sebagainya kan?”

 

“Tapi apakah memberi ruang terhadap kehadiran Allah pada hal-hal semacam itu berarti pula menyetujui semuanya?”

 

“Tentu saja tidak! Siapa bilang kita harus menyetujui semuanya. Namun setidaknya, memperluas ruang akan kehadiran Allah akan memberikan kita pemahaman bahwa Allah hadir dalam segala macam cara yang kadang misterius dan tak terselami oleh alam pikiran manusia. Dengan memperluas semesta kita, maka kita akan menghadirkan ruang dialog yang lebih terbuka sehingga kita lebih peka kepada sesame dan humanis juga. Dalam kasus LGBT, misalnya, kita akan lebih mudah menolak keberadaan mereka daripada menghadirkan dialog yang mungkin saja kita tak setuju tapi kita kan bisa tetap menerima, memahami dan mendengarkan mereka, terbuka pada opsi-opsi lain yang tak melulu harus dijawab dengan hitam dan putih, ya dan tidak.. Dan bagaimana kita bisa memperluas ruang akan kehadiran Allah dalam semesta kecil kita?”

 

“Salah satunya adalah membaca memahami dari berbagai sudut pandang yang berbeda, dari pada pengguna narkoba, dari orang-orang fanatic dan kaum radikal yang kita sebelnya setengah mati sampai di ubun-ubun kepala, dari orang-orang jalanan, para adiyuswa dan kanak-kanan, teman-teman dengan gangguan mental atau mereka yang berkebutuhan berbeda. Seperti kita menerima Jupiter yang besar sampai hal-hal kecil yang tak kasat mata semisal udara. Dengan demikian, semesta kecil kita akan meluas dan kita mampu menghadirkan Allah yang berkarya dalam sepanjang sejarah.”

Senin, 30 Maret 2020

UANG DAN MAMON - SURAT UNTUK SAHABAT

Uang dan Mamon (30 Maret 2019)
Surat untuk Sahabat
D yang terkasih,
Betapa istimewanya hidupmu. Kau adalah debu-debu bintang yang bercecar di semesta. Dalam sebuah kesempatan mereka berkolisi, lalu menjadi bumi, menjadi kabut tipis dan gelarit awan di stratosfer, menjadi tumbuhan di bumi, menjadi hewan, dan menjadi orang tuamu. Lalu menjadimu. Betapa panjang lintasan yang harus dilalui oleh debu-debu bintang itu sejak mereka berabduksi dari sang sumber. Maka tak ada alasan untuk menyatakan bahwa kau biasa saja. Kau adalah sebuah kesempatan yang tercipta dari kengerian yang menakjubkan tapi juga kelembutan yang mengguncangkan. Dan kau benar, kau berkawan denganku, tapi juga dengan asteroid, aurora, dan kursi yang kau duduki. Kita semua berasal dari orang tua yang sama saja. Debu-debu bintang.
Dan kita pun berpikir* - juga merasa, juga bermimpi, juga bertanya dan curiga - dan semuanya berubah.
(*Aku mengatakan berpikir di awal tanpa sedang mengatakan cogito ergo sum dan meninggikan sains daripada iman, semuanya berjajar, mungkin berserupa, tapi hanya sedang mencari bahasa yang bisa mempertemukan kita. Sekadar biar kita bisa saling bicara.)
Kau tak lagi sekadar debu-debu bintang sesudahnya. Kau menilai hidupmu, dan hidup yang lain. Salah satu yang segera muncul dariku adalah: kau tak biasa karena prosesmu yang panjang. Tapi sebenarnya bukankah kita sama saja, tanpa itu pun kita ada sebagaimana adanya kita.
Demikian pula atas uang dan mamon.
"Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." Matius 6:24.
Apa yang terjadi berikutnya? Kita seolah dipaksa untuk memilih Allah atau Mamon. Mengapa memilih? Karena kita selalu diajarkan berpikir dualistis. Ini dan itu, kau tak bisa merengkuh keduanya, maka kau, ya kau, harus memilih. Segala nilai yang kita bangun dari pikiran akhirnya berujung pada sebuah kesunyataan: pilihan. Menjengkelkan, tapi dari banyak hal, kita sering tak bisa - atau tak diijinkan - mengelak. Pilihan itu membentuk sebuah bangunan - konstruk, karena dia bukan kenyataan tunggal, dia senyawa - yang kita sebut etika.
Lalu kau, sebagaimana aku, diajarkan di sekolah kita. Etika adalah tentang memilih yang baik dan yang benar. Yang tepat. Tapi lihatlah lintasan debu-debu bintang tadi, kita tak benar tahu apakah mereka sedang menuju sebuah kesimpulan, atau mereka meniatkan diri membentukmu dan aku. Mengapa kita begitu yakin bahwa memang ada yang benar dan baik. Dalam lintasan tanpa pretensi, tak berterimakah kita jika semuanya sejatinya tanpa makna saja? Ataukah kita ini manusia karena kita makhluk yang mendambakan makna.
Dan atas hobi kita memakna - Allah adalah baik, dia adalah sistem. Mamon adalah buruk, dia adalah pencar.
Lalu yang biasa kau dengar harus kukatakan lagi: Betapa gereja kita membenci uang. Berbicara tentang persembahan dalam khotbah, seperti tidak layak. Kita harus membangun narasi untuk menjadikaknnya baik, misalnya bazar kalau diadakan di gereja baiknya untuk kepentingan gereja, bukan kepentinganmu. Menggunakan uang gereja untuk usaha adalah keliru, kecuali dalam rangka pemberdayaan. Kita khawatir terjadinya korupsi uang di gereja. Tapi bujubuneng, kita mencintai uang tiada tara.
Jika uang adalah mamon, maka hubungan kita dengannya rindu dendam. Benci untuk mencinta, cinta untuk membenci. Jangan dikuasai mamon, jangan dikuasai uang. Tetapi kuasailai dia. Kita makhluk paling mulia katanya, salah satunya karena kita segambar dan serupa Allah, maka tak boleh kemuliaan itu terkalahkan oleh dikuasai.
Tapi tidakkah kau lelah dengan segala perbincangan tak kreatif itu. Mengulang-ulang saja, dan berujung pada dilemma yang serupa. Itu-itu saja. Kesimpulannya juga itu-itu saja: kita butuh uang, tapi uang bukan segala-galanya. Lalu apa yang segala-galanya? Kita. Atau paling tidak keinginan kita menjadi manusia serba makna.
Aku memang melihat kehancuran-kehancuaran yang disebabkan karena uang. Mulai dari seorang pribadi, relasi, hingga negara. Gereja juga termasuk, berapa yang terpecah karena itu. Itu membuat kita membenci uang sedemikian rupa. Dan uang menjadi kata lain dari mamon. Sikap kita terhadapnya begitu buruk. Tapi sadarkah kita, entah dengan bahasa antisipasi atau apa lah, etika kita dibangun di atas trauma. Uang lalu dikaitkan dengan keserakahan, dikaitkan dengan penguasaan, dikaitkan dengan penindasan, dikaitkan dengan kebohongan, prostitusi online 80 juta, OTT di Kemenag, kolonialisme dan bencana.
Uang menjadi monstrous, serupa lendir vagina, dibenci sedemikian rupa. Tapi monstrous apa pun selalu diam-diam dicinta. Paradoksal.
Apa yang hilang? Ada narasi-narasi yang luput ketika etika kita dibangun dari trauma. Serupa Trump yang mau membangun tembok menyekitar Amerika Serikat. Terkait uang, yang hilang adalah kerja keras. Gereja pun menjadi pemalas, lalu saking malasnya berusaha, mereka memilih ribut kalau urusan dana. Saling menyakiti. Karena mereka membenci uang. Pokoknya uang jelek, gak peduli dari korupsi atau dari kerja keras, Gak peduli kita dapatnya susah payah memerah otak, memeram rasa, memeras daya upaya kita ataukah sekadar barang di atas meja untuk ditukar meja yang lain. Pokoknya uang adalah mamon, begitu saja. Maka aku mengerti mengapa agama begitu membosankan, begitu baik, begitu kelu bertemu dengan realitas yang tak sesuai dengan makna dan harapannya.
Kau ingat cerita tentang bendahara yang tidak jujur? Yesus memuji bendahara itu, tapi kadang kita tak mau mengakuinya. Mungkin karena tidak mungkin Yesus memuji sikap tidak jujur sang bendahara. Kita takut mereka, atau kita - tapi utamanya mereka - menjadi seperti sang bendahara. Mereka tak mau menerima bahwa Yesus memujinya. Tepatnya dia mengatakan, "Anak terang gak sekreatif bendahara yang tidak jujur itu." Bendahara yang tidak jujur itu kreatif, anak-anak terang dalam etika mereka berhenti menjadi kreatif.
Maka kembalilah kita pada debu-debu bintang. Kita dan uang tak berbeda dengan kita dan Allah. Kita sama-sama membutuhkan mereka. Tapi ketika mereka berlebihan kita menjadi eneg. Debu-debu bintang menjadi kamu dan aku. Lalu pada kesempata lain menjadi cermin dan televisi. Menjadi planet dan cincin Saturnus. Mereka kreatif, tak berburuk sangka, tidak dualistis. Entahlah mengapa kita begitu dualistis, lalu memilih menjadi satu kutub saja.
Bagaimana menurutmu?

Rabu, 25 Maret 2020

MENIMBANG MORALITAS - SURAT UNTUK SAHABAT

Menimbang moralitas
Surat untuk sahabat
(24 Maret 2019)

D, yang terkasih, kali ini aku akan bercerita tentang sesuatu yang sangat menggangguku. Moralitas.
Tentu sama seperti biasanya kita akan berbicara terlebih dahulu tentang semesta, karena kurasa kita menikmati pembicaraan tentangnya. Kali ini, aku akan berbicara sebuah konsep fisika tentang entropi. Begini, lebih baik kita memulainya dari narasi tentang waktu. Ketika kita berbicara tentang waktu (aku tidak akan berbicara mengenai kronos dan kairos, anggaplah pembicaraan demikian sudah cara yang telah menjadi kemarin), ada dua cara yang biasa dipakai.

Yang pertama, waktu bersifat linear, kita melihatnya sebagai garis. Benar konsep demikian banyak muncul dari agama-agama, sejak yang paling purba. Sebuah cerita dimulai dari pada mulanya dan berujung pada akhirnya. Konsep-konsep eskatologis biasanya melihat waktu demikian, ditambah eskalasi yang terus naik, waktu akhir akan menjadi klimaks. Di ujung waktu, yang puncak itu, akan ada - pada titik ini biasanya terjadi penyimpulan yang beragam, tergantung seberapa optimis agama-agama tersebut – entah kiamat atau langit bumi baru atau perang atau kerajaan penuh damai. Ilmu pengetahuan pun serupa, upaya mencari awal mula semesta dengan big bang hingga pada akhirnya – menimbang sekarang gerak segala benda semesta semakin menjauh, semakin cepat dari pusat – bisa jadi hilang sama sekali. Walaupun ada yang masih berpandangan bahwa semesta akan mengembang hingga akhirnya kembali kisut.

Yang paling terasa dari pola ini adalah lahirnya upaya untuk progresif. Karena sesuatu memiliki awal dan akhir, maka akhir adalah puncak dari progres. Bukankah eskatologi selalu berpuncak. Hari besok diharapkan menjadi lebih baik dari hari kemarin. Moralitas yang terbangun darinya adalah moralitas yang cenderung biner, sudah nampak dari ada awal di poros satu, dan akhir di poros lain. Kemarin dan masa depan (bolehlah ditambah hari ini – tapi biasanya hari ini menjadi bagian yang gamang, karena kecenderungan untuk membandingkan lampau dan akan). Ada baik, maka ada buruk. Ada salah, maka ada benar. Maka bisa dimengerti jika moralitas yang lahir kemudian adalah untuk menjadikan besok menjadi lebih baik dan benar. Buruk dan salah dihindari atau bahkan enggan ditengok, karena kemudian proyeksi diarahkan pada yang baik dan benar. Demikianlah banyak orang mengatakan ‘ayo memperbaikinya esok’.

Pernahkah dikau bertanya kepada seseorang, dan sama seperti Aristoteles orang tersebut menjawab, ‘Tujuan hidup saya adalah untuk bahagia.’ Dugaanku banyak yang begitu. Bahagia lalu diidentikkan dengan tawa, cerah, lega, tuntas, ria, harmonis, ideal, perkasa, cantik, gemilang, berprestasi, juara. Dan kebahagiaan mereka diarahkan ke sana. Dan dikau segera tahu, kan, yang demikian ini membuat orang jadi mensubordinasikan lemah, getas, kelam, sendu, gelap, disintergrasi, pupus, semplah, dendam, marah, hancur. Bukankah ungkapan, ‘jangan lupa bahagia’ cenderung bernuansa demikian. ‘Jangan lupa bahagia’ berarti jangan hancur, jangan runyam, jangan buruk, jangan salah, dan sebagainya.

Aku rasa inilah moralitas yang sekarang ini kita sering sebut dengan etika – juga etiket. Etika adalah menjadi progresif, going up. Dari sana tanggung jawab moral muncul. Juga tentang tidak bermoral. Bahwa seorang perempuan hamil di luar nikah itu buruk. Aku sengaja berkali-kali menyinggung ini, karena di banyak cerita linear, ini bencana. Ya seksualitas menjadi normatif di sini. Kita bisa menyebutkan Agustinus di sini. Upaya memperbaiki dan membenarkan melahirkan sikap patriotik yang heroik. Mesianik, hingga sindrom juru selamat. Karena dalam yang linear, orang berusaha menanjak. Ah bahkan para tokoh tasawuf pun juga kadang begini juga. Termasuk seni, semakin tidak jelas semakin ‘baik’. Apa yang kerap dikorbankan dalam yang demikian? Dugaanku, biasanya relasi. Karena orang ingin baik, maka dia merelatifkan relasi. Pandangan mereka pada apa yang seharusnya baik dan benar, itulah yang dilakukan, itulah tujuan atau dalam menjadi untuk tujuan.

Untuk melihat yang kedua, aku akan mengajakmu berjalan ke Peru, tepatnya Chankillo. Tidak seterkenal Easter Island, kuil Maya atau Inka, tidak juga seramai pembahasan tentang Stonehenge. Namun di sana kita akan bertemu sebuah kalender kuno, yang diduga berusia sekitar 2500an tahun. Bentuknya tiga belas menara diagonal. Matahari akan bersinar di sisi lain yang berseberangan dengan kita, dan setiap bulan matahari akan bergeser, di masing-masing cekung menara tersebut. Dari sana mereka lalu menghitung bulan. Mereka menjadi tahu kapan musim tanam dan musim dingin. Mereka tahu bahwa setiap tahun, matahari tidak akan bergeser linear, tapi akan berkitar saja kiri ke kanan, kanan ke kiri. Melulu di situ. Y acara lain membaca waktu adalah sirkular. Persis seperti ouroboros, kita bisa membedakan kepala dan ekor, tapi karena ekor adalah kepala, maka tak ada ujung dan ujung. (Aku tahu ada orang yang berusaha menggabungkan keduanya, misalnya dengan sirkular progresif, beberapa menggabungkan dengan cemerlang, beberapa lalai).

Hanya dengan berangkat dari yang kedua inilah aku merasa kita akan bisa mengerti (dan menghargai) entropi. Setelah ini bersiaplah dengan bahasa yang mungkin tidak mudah (aku pun mungkin tak sepenuhnya paham, sial!). Tapi sebelumnya begini, kita memang bisa melihat entropi dari cara pandang linear, tapi akan ada yang hilang, khususnya jika yang linear selalu diharapkan progresif.

Entropi muncul dalam konsep termodinamika, melahirkan hukum termodinamika yang kedua, bunyinya kurang lebih ‘dalam sistem terisolasi – ya memang artinya diidealkan – maka entropi selalu bertambah dan konstan’. Entropi digunakan untuk mengukur energi dalam satuan untuk setiap temperatur. Entropi adalah kecenderungan sistem bergegar terkait panas. Jika panas ini lalu kemudian terisolasi, entropi akan terus naik. Jika entropi terus naik, maka sistem menjadi semakin gegar.

Contohnya begini: lihatlah sebuah batang kayu, lama kelamaan batang kayu menjadi rapuh. Ketika kayu kokoh entropinya rendah, ketika kayu rapuh hingga melapuk dan hancur, maka entropinya semakin tinggi. Lihatlah sebuah rumah yang tidak ditinggali sekian lama, rumah itu menjadi dingin dan guyah. Bahkan kadang tiba-tiba merontok setelah sekian tahun tak dihuni. Pada saat itu entropi rumah tersebut semakin tinggi. Namun ketika rumah itu dihuni, terjadi aliran panas yang datang dan pergi, dari penghuninya, dari alat-alat rumah di dalamnya, dari pembakaran dapur – lalu anehnya rumah itu lebih kokoh daripada ketika rumah itu tidak dihuni. Bukan sekadar karena rumah itu dirawat, tapi karena karena muncul relasi antara rumah dengan yang ada di dalam dan di luar rumah. Relasi ini kemudian menjadi agak lebih berarti.

Ya, panas selalu bergerak dari yang suhunya tinggi ke yang suhunya rendah, maka gerak bolak-balik selalu terjadi, karena kenyataannya, dalam realitas, panas selalu bergerak. Maka entropi ini naik dan turun, bukan karena usaha – entropi sama sekali tidak mengukur usaha – tapi karena terjadi relasi. Maka bukan usaha memperbaiki yang menjadi tidak lebih penting dibandingkan terus terjadinya proses yang merelasi. Entropi pun lalu kadang naik kadang turun bersama relasi tersebut. Dalam sistem termodinamika tertutup entropi memang terus bertambah, sebuah sistem semakin rapuh. Namun sistem demikian kan nyatanya tak benar-benar ada. Maka yang linear (entropi bertambah dan konstan) sebenarnya tidak benar-benar ada, atau paling tidak tak selalu ada.

Ya! Ini menggentarkan! Dalam prinsip sirkular, tidak ada baik dan buruk, tidak ada benar dan salah, tidak ada besok dan kemarin. Moralitas a la mode pertama, tak berlaku di sini. Kau pasti pernah mendengar tentang kisah anak petani, tentara, kemalangan, dan keberuntungan. Serupa itu kekira. Kerapuhan, kegetasan, kebencian, kehancuran, keperkasaan, kegemilangan tak tergantung dari usaha. Kali ini sistem bergantung dari relasi-relasi yang ada di dalamnya. Relasi dijaga bukan dengan saling melekat tapi selalu berketegangan. Relasi kadang kala juga tak diusahakan tapi selalu menjadi, segala hal selalu merelasi. Masak kamu mencoba berelasi dengan tembok rumahmu? Menari-nari seperti penari tembok.

Maka sistem yang demikian tidak takut pada sakit, pada lama, karena itu hanya sebuah kesementaraan dalam keterkaitannya dengan relasi. Tidak ada yang hancur lebur, karena hancur lebur adalah cerita lain dari pembangunan. Tidak ada pembangunan, karena pembangunan adalah cerita lain dari hancur lebur.

Dalam sistem demikian, kemungkinan yang bisa dilakukan adalah menikmati. Menikmati darah yang mendidih, menikmati darah yang mengalir, menikmati darah yang membeku. Karena ya bisa berarti tidak, dan tidak bisa berarti ya. Dan ya kenikmatan juga terkait selalu kagum.

Kamu mungkin bertanya apakah yang demikian ini ada? Kita adalah buktinya yang demikian ini ada. Kita menjauh dan mendekat. Namun sepanjang relasi kita terjadi, mendekat dan menjauh tak lagi masalah, karena kita terus saling bersinggungan. Jika pun kita kembali pada kebahagiaan tadi, kebahagiaan adalah kita yang masih saling menghangatkan, dan kadang juga mendinginkan, tapi masih kita. Seksualitas adalah intimasi yang paling merelasi, maka seksualitas dihargai. Hamil di luar nikah tak masalah, karena itu adalah bagian dari sebuah perlintasan yang terus menerus menjadi dan menjadi. Tak masalah menjadi baik atau buruk. Entahlah mengapa banyak orang takut gagal, takut jatuh dan tersungkur. Mungkin karena moralitas yang linear sudah terlalu kuat kita pegang. Perang dan keinginan berkuasa salah satu dampak dari keinginan unggul, tanda bahwa kita mendamba yang berundak, dan sebisa mungkin di puncak undakan. Tapi benarkah ada undakan?

Kamu benar, dalam hal ini ternyata aku pun masih dualistis. Tapi ketimbang memilih salah satu dari yang dualistis tadi, yang terjadi adalah tawaran bermain di keduanya. Seperti seorang anak kecil yang berjalan di sepasang rel kereta api. Ke sana dan ke sini. Bukankah kita selalu tentang ke sana dan ke sini, linear dan sirkular. Lalu memunculkan vektor-vektor lain, yang tak sekadar lurus atau patah-patah, atau lengkung, tapi bahkan benang ruwet dan serba abstrak.

Maka sampai di tahap ini aku akan berhenti. Bukan karena segala cerita ini serba cukup, atau serba tidak cukup, tapi supaya kita sejenak berdiam. Dan karena dalam segala kegelisahanmu dan pernyataanmu, ‘ngomong opo to iki, kok mbingungi!’ sejatinya diam-diam kau paham yang kumaksudkan. Atau sebaliknya jika kau mengatakan paham, kau sama sepertiku, sejatinya tak benar-benar paham. Kita bodoh yang sepintar-pintarnya, pintar yang sebodoh-bodohnya.

PS: Jujurlah! Bukankah ketika sedang beriang dalam berhujan-hujan, atau ketika kau sedang berair mata sesenggukan dalam terang cemerlang, kau sebenarnya menikmatinya juga.

Senin, 13 Januari 2020

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI

14 Januari 2019

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI (surat untuk kedua sahabat baik hati)
D dan D, yang terkasih...
Ada sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta, kriya, menunjukkan sebuah proses kerja atau aksi yang terus menerus, dilakukan dengan sepenuh daya usaha. Kata itu disanding dengan karma. Dua kata yang bertetangga, bersinggungan, namun pada saat yang sama berpelukan. Partisipatif. Karma menunjukkan bahwa sebuah aksi apa pun punya tujuan sekaligus dampak. Aksi baik akan berkarma baik, aksi yang buruk akan berkarma buruk.
Namun apakah baik dan buruk? Kita tahu, di seluruh pusat galaksi di sepanjang semesta yang mampu diamati, ada sebuah entitas yang begitu perkasa. Entitas itu tercipta oleh supernova maha dahsyat, oleh perpaduan entitas yang sama, bahkan sejak dentuman besar, 13,7-13,8 milyar tahun yang lalu. Entitas itu kita kenal dengan sebuah nama yang tak kalah gagah, lubang hitam supermasif.
Lubang hitam supermasif ini begitu rakus. Dia memakan apa saja yang ada di sekelilingnya. Bahkan ketika benda itu sejauh matahari dengan bumi, benda itu sudah akan diraupnya dengan lahap. Dekat dengannya berarti kematian. Setelah memamah bintang, planet, gas, dan materi apa pun di sekitarnya, lubang hitam supermasif akan menyemburkan jet kosmik panas, terang dan membunuh. Kita mengenalnya dengan istilah blazar, quasar, atau radio galaksi, tergantung dari mana kita melihatnya. Jika arah semburan jet spektakuler itu mengarah tegak lurus dengan arah pandang kita, kita menyebutnya radio galaksi, jika membentuk angle dari arah pandang kita, maka namanya quasar, namun jika tegak lurus mengarah pada kita - dan ini mampu membunuh seluruh bumi dalam sekejap, bahkan jika pun jaraknya milyaran tahun cahaya dari kita, karena yang disemburkan sebenarnya sinar gamma maha bahana - kita menyebutnya blazar.
Lubang hitam supermasif itu sendiri membunuh, muntahannya pun membunuh. Cahaya tak mampu menembusnya, waktu melengkung menjadi lebih pendek ketika kita di dekatnya, dia sendiri pun tak nampak oleh mata manusia, teleskop, atau kamera kumputer super canggih sekalipun. Begitu ngeri entitas ini.
Namun kita pun tahu, tanpa dia di pusat galaksi kita, kita akan menghambur tak keruan oleh energi kegelapan. Entah ke mana. Kita akan terhempas hilang. Gravitasi lubang hitam supermasif yang maha bahadur itulah yang menjaga kita tetap memiliki poros, tetap mempunyai inti. Tetap berumah. Dia menjaga kita terus berputar dan hidup. Dan kita beruntung bahwa saat ini, lubang hitam supermasif di pusat bima sakti sedang berpuasa karena kehabisan bahan bakar. Tidak ada gas, bintang, atau planet yang dekat-dekat dengannya. Sehingga dia tidak terlalu nakal. Namun 4 milyar tahun lagi, kejinakannya ini akan berakhir, dia akan menjadi buas dan liar ketika Bima Sakti bertabrakan dengan Andromeda. Kolisi itu menyebabkan konstelasi bintang berubah, dan segera saja begitu ada bintang-bintang yang mendekatinya, lubang hitam supermasif kita akan mempunyai cukup pakan untuk mengamuk serupa saudaranya yang lain.
D dan D, yang terkasih…
Maka kita melihat sebuah keajaiban lain dari kehidupan semesta, mereka yang paling buruk pun ternyata menyimpan kebaikan yang menggetarkan. Dalam sebuah pusat kematian, justru ada kehidupan yang lebih dari cukup untuk dijalani. Sama seperti siang dan malam, bukankah itu hanya ilusi? Siang dan malam, serupa quasar, blazar, dan radio galaksi. Bergantung sekali dari mana kita melihatnya. Namun kita sering dikecohkan oleh indera kita. Itulah kita. Bahkan untuk tahu bahwa quasar, blazar, dan radio galaksi sebenarnya adalah hal yang sama hanya bergantung dari sudut mana kita melihatnya, para ilmuwan menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mengerti, 20an tahun tepatnya. Mereka sempat berpikir itu adalah hal yang berbeda. Sama seperti berapa lama kita mengerti bahwa siang dan malam sebenarnya bukan karena matahari yang mengitari bumi, namun karena bumi kitalah yang berotasi. Butuh ribuan tahun. Kita sering silap, karena kita terlalu kukuh memegang pendapat kita, apalagi jika sudah dikukuhkan menjadi agama atau iman, semuanya menjadi serba kuwalat dan keramat. Namun pada saat yang sama, tanpa agama dan iman, hidup kita cerita ruang waktu yang saling bertumpuk, tanpa makna – atau setidaknya tak bisa begitu saja dimaknai. Dari mana segala nilai dan norma itu berasal, jika bukan dari ajrih asih kita pada Sang Misteri.
Maka tentang karma, nyatanya kita tak tahu apa yang akan terjadi esok, bahkan semenit dari sekarang. Kita bukan alien heptapods yang mampu membaca dulu, kini, dan nanti secara bersamaan. Kita masih selalu terikat ruang dan waktu. Namun bukankah ini yang membuat hidup begitu memesona, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi. Justru karena misterinya, justru karena tak semuanya kita tahu. Maka betapa konyolnya orang yang ingin bermain sebagai Tuhan, mereka sejatinya sedang mengecilkan diri mereka sendiri. Dengan sembrono menyebut ini benar atau salau, dengan serampangan membuat aturan-aturan yang sejatinya begitu lembam.
Maka dari ketidaktahuan kita akan nanti dan karma yang kita kenal, pilihan kita adalah untuk menghidupi hari ini. Mencintai dan memeluknya dengan sepenuh. Entah esok baik atau buruk, bukan di sana masalahnya, namun pada apa yang kita lakukan sekarang. Saat ini kita tidak hidup di masa depan. Saat ini kita tidak hidup di masa lalu, membayangkan kenangan terus menerus dan menggenggam yang tiada, menangisi yang pergi, dan menyesali dosa-dosa masa muda. Saat ini kita hidup pada saat ini. Bersyukur atas susah dan senang. Menari bersama irama denting hujan. Meratap bersama tumbuhnya kesewenang-wenangan.Tersenyum merasakan mentari memapar wajah kita sekali lagi. Menangis bersama sakit kita dan sakit mereka, tertawa bersama segala kelucuan semesta. Di sinilah Karma dan Kriya berkawin dalam mahligai damai sejahtera. Dan dengan mampu hidup pada saat ini, sebenar-benarnya kita sudah melampaui waktu dan ruang, kita sudah utuh.
Karma jika pun mengajarkan kita sebuah cerita lain adalah kita yang hidup pada saat ini lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Menurut yang kita nilai sebagai kebenaran. Bahkan jika akhirnya yang kita anggap kebenaran itu akhirnya menjelma kesalahan, waktu akan mengajar kita dengan telaten. Dan jika kita melakukan kesalahan yang tak termaafkan sekalipun, kita masih mengenal pemaafan yang mampu memaafkan yang tidak termaafkan. Demikianlah, kita mengenal Penebus.
D dan D, yang terkasih…
Aku ingat seorang perempuan pernah berkata demikian pada seorang gadis yang lebih muda dalam sebuah kompetisi menari, “Mengapa kau masih sibuk dengan kompetisi ini, Sayang, kau sibuk memikirkan apa pendapat para juri, pada kemenangan dan kekalahan. Berapa nilaimu. Nanti akan bagaimana, bagaimana kalau akan begini atau begitu. Hingga kau lupa pada indahnya tarianmu, pada korsase putih di rambutmu, pada pasangan menarimu yang hadir setiap waktu, Sayang. Kamu tahu, setelah aku memenangkan puluhan bahkan ratusan piala itu, aku kemudian tahu, bahwa menyanyi adalah menyanyi, memasak adalah memasak, hidup adalah hidup. Nikmati saja tanpa beban, just enjoy the show, enjoy the flower on your head. Dan, Sayang, kau akan menari dengan sempurna.”
Gide

LEBIH CEPAT DARI CAHAYA, KEMBALI KE MASA LALU - KISAH MESIN WAKTU

22 Januari 2017

LEBIH CEPAT DARI CAHAYA, KEMBALI KE MASA LALU - KISAH MESIN WAKTU (Surat untuk Sahabat)

D, yang terkasih…

Ada beberapa cara untuk bertamasya waktu ke masa lalu. Bayangkan pergi ke jaman dulu, lantas mengubah masa lalu kita yang buruk sehingga kita tidak perlu melakukan dosa-dosa masa muda kita! Atau kita ingin melihat pesta pernikahan orang tua kita? Mengikuti kuliah-kuliah Einstein dan Newton? Atau menjelajah semesta dan melihat bagaimana peristiwa dentuman besar itu terjadi, asal muasal jagad raya? Siapa yang tidak mau? Bukankah itu terdengar super menggairahkan?

Salah satu cara adalah dengan dengan menjadi Tru Davis dalam Tru Calling. Namun bukankah menjadi Tru begitu membosankan, kita harus melakukan hal-hal yang melulu baik. Jadi baik terus dan gak pernah nakal itu melelahkan! Ehm! Atau kita naik pesawat Star Trek! Bukankah mereka sering mengadakan perjalanan maju mundur waktu di luar angkasa? Kita bisa ketemu Kapten Kirk dan Komandan Spock juga! Ah tapi sayangnya kita tahu, bahwa sains dalam sains fiksi Star Trek adalah yang terburuk. Oh Iya! Doraemon! Tapi lebih baik enggak deh, kita nanti gak besar-besar, jadi anak SD terus, tuh Nobita dan kawan-kawan buktinya. Lalu bagaimana?

Kalau kita setia pada teori relaitivitas Einstein, E=mc2 (2-nya itu kuadrat ya), maka satu-satunya cara untuk kembali ke masa lalu adalah bergerak melampaui kecepatan cahaya! Hanya itu sebenarnya satu-satunya kendaraan kita untuk bertamasya ke masa lalu. Mengapa bisa begitu? Karena semakin kecepatan kita mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan memendek. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya, kita akan sampai pada sebuah kondisi yang namanya singularitas (ini kondisi yang sama dengan kondisi dalam lubang hitam, ajaib bukan). Namun jika kita lebih cepat dari cahaya, waktu akan bergerak ke arah sebaliknya, mundur.

Tapi, D, dan tapi ini adalah tapi yang sangat besar, aku harus mematahkan hatimu, karena hal itu mustahil. Bergerak melebihi kecepatan cahaya itu mematahkan hukum-hukum fisika, terutama hukum utama, hukum kekekalan energi. Bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya bisa berubah menjadi bentuk energi yang lain. Artinya jumlah energi di seluruh jagad raya ini tetap, tidak bisa bertambah atau berkurang. Sebuah hukum fisika patah, maka hukum-hukum fisika lainnya pun akan patah. Jika hukum-hukum itu patah, maka fisika tidak bisa menjadi kendaraan kita lagi, lalu kita naik kendaraan apa?

Memangnya apa masalahnya? Begini, E = mc2, E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya. Semakin kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka massa kita akan menjadi semakin besar. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya maka massa kita menjadi tidak terhingga. Jadi jangan percaya dengan Quicksilver dalam X Men: Days of Future Past yang bisa bergerak sambil jilatin kecap di tahanannya Magneto yang beromantis-romantis dengan lagunya Jim Croce, Time in the Bottle. Karena untuk bergerak sedemikian cepat, dia akan menjadi semakin berat. Boro-boro mindahin peluru karet, bawa pantat sendiri saja sudah berat, walaupun dia gak secepat cahaya. Dan untuk sebuah benda bermasaa seperti mesin waktu, atau tubuh kita ini saja, massa yang tidak terhingga pada kecepatan cahaya itu berarti kita butuh energi yang tidak terhingga (infinite). Energi dari seluruh jagad raya pun tidak akan sampai di titik itu. Kok cahaya bisa bergerak secepat itu? Karena walaupun cahaya itu partikel foton, tapi dia juga gelombang. Dan massanya adalah nol. Untuk bisa bergerak sama dengan kecepatan cahaya maka massa kita harus nol. Lah lalu lemak-lemak menumpuk di paha dan perut itu mau dibuang ke mana? Sayang dong, Idul Adha dipotong bisa dapat seratus ribu per kilo loh!

Jadi sampai saat ini, masih sama sekali tidak mungkin kin kin untuk bergerak menyamai kecepatan cahaya, apalagi lebih cepat dari itu. Seandainya pun, kita mengimajinasikan bahwa ada energi sebanyak itu, maka mengikuti kurvanya E=mc2 imajiner, jika kita mampu bergerak 2 kali dari kecepatan cahaya selama satu tahun, kita hanya bisa mundur lima bulan. Jadi berangkat Januari, perjalanan setahun, mendarat dipikir sudah di jaman Dinosaurus, eh ternyata sampai-sampai bulan Juli juga. Ngapain repot-repot, nunggu tujuh bulan juga sama saja. Karena waktu bergerak mundur hanya dengan kecepatan yang sama (satu kali) itu sampai 140 persen kecepatan cahaya saja, sesudahnya semakin melambat). Jadi untuk mundur sampai jaman Jepang masuk Indonesia, kamu butuh lebih cepat ribuan atau jutaan kali dari kecepatan cahaya. Energi dari mana? Mungkin dari nenek moyangmu orang perdukunan. Karena itu dengan hukum fisika, bergerak melampaui kecepatan cahaya itu dilarang (forbidden), itu merusak tatanan semesta.

Bukan hanya itu, berdasarkan keterikatan ruang dan waktu sebenarnya ada masalah besar juga. Jadi kalau menurut Einstein, ruang dan waktu itu adalah entitas yang tidak terpisah. Lebih baik jika kita menyebutnya ruang-waktu. Pada jam 7 kamu di rumah, jam 9 di warung bakso. Maka ruang dan waktu itu terikat. Tidak bisa jam 7 kamu di dua tempat yang berbeda. Karena waktu itu seperti frame film yang bertumpuk-tumpuk. Seandainya kamu bisa kembali ke masa lalu, itu bukan masa lalumu, tapi kamu akan masuk sebuah lingkungan ruang-waktu yang lain, yang disebut dunia paralel. Jadi keluar dari mesin waktumu, alih-alih kamu akan bisa mengubah dosa-dosa masa mudamu, yang adalah kamu akan bertemu dirimu yang lain dalam ruang dan waktu itu. Kamu ada dua. Asek! Gak butuh cermin dong! Sebelum kamu memberi tahu dia tentang dosa yang akan dia lakukan, kamu sudah ditonjok dulu sama dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya, “Apakah ini mimpi, tapi kok nyata banget!” Tamasya waktu apa pun akan membawamu pada lingkungan ruang-waktu yang lain. Kayak di film-film gitu, jadi intinya sama aja dong kita gak bisa mengubah masa lalu kita sendiri? Iya! Mentok-mentok cuma bikin masa depan versi dua, versi tiga, dan seterusnya di paralel dunia yang berbeda-beda.

Sebentar-sebentar, D, bagaimana jika kita cukup egois. Sangat egois maksudnya. Semua energi di semesta ini kita kumpulkan kita masukkan ke tubuh kita, lalu kita melesat memakai celana dalam dan jubah merah tidak perlu menyamai kecepatan cahaya. Cukup mendekati saja. Hampir sama dengan kecepatan cahaya. Lah kalau itu mungkin! Dengan energi yang hampir tidak terhingga kita bisa bergerak mendekati kecepatan cahaya. Maka yang akan terjadi adalah waktu akan sangat melambat (walaupun untuk kita yang mengalami kecepatannya tetap, tapi bagi pengamat di bumi waktu begitu melambat). Sampai mendekati singularitas, dan pada singularitas, kita merasa bahwa kita akan terus bergerak. Namun bagi pengamat, kita akan nampak seperti berhenti. Ngefreeze. Kayak kuisnya Djaja Mihardja dulu, “Apaan tuh!” melek sebelah. Kita akan nampak tidak ke mana-mana, tidak ngapa-ngapain, selain cuma diam di tempat kayak cicak nemplok di dinding. Atau kodok terpesona melihat puteri cantik yang mau mencium dia. Mak gragap, kodoknya langsung bangun dari tidur. Eh Cuma mimpi.

Jika kita bukan cicak atau kodok, namun kondisi itu benar-benar terjadi, kita akan mengalami dilasi waktu. Dengan bergerak 90 persen kecepatan cahaya, waktu kita akan cuma separuhnya. Misalnya jam di bumi 10 menit, kita cuma ngabisin waktu 5 menit saja. Bukan hanya itu, kita akan dipusingkan oleh konsekuensi visual kita yang aneh dari dilasi waktu itu. Jadi kamu akan seperti menciut masuk ke dalam sebuah lubang sempit, karena foton di belakangmu juga seolah-olah akan datang dari depanmu. Kamu akan melihat semuanya begitu kecil, dan kamu pun akan nampak sangat mengecil dilihat oleh pengamat. Semuanya akan seperti film Superman. Wuzzz! Dan kamu juga akan mengalami efek dopler yang ekstrim! Cahaya bintang di depanmu akan mengumpul semuanya sangat ramai, lebih ramai daripada seribu pasar malam dikumpulkan, hingga yang ada di depanmu semuanya akan cuma kelihatan biru, yang di belakangmu akan nampak merah. Begitu terang karena cahaya itu ngumpul di ujung lubang yang kamu masuki. Semakin terang dan semakin terang. Dan semakin cepat kamu bergerak, matamu tidak akan bisa melihat cahaya lagi, karena tidak ada panjang gelombang cahaya yang bisa ditangkap oleh matamu. Dari sangat terang, semuanya lantas akan menghitam pekat. Lah, timbang repot-repot gitu, nyemplung aja ke lubang hitam kan sama saja.

Maka, D, yang terkasih...

Hukum fisika memang tidak memungkinkan perjalanan mesin waktu. Mungkin hukum metafisika bisa. Maka daripada bikin mesin waktu. Lebih baik kita belajar dukun saja. Ilmunya pakai nggrogoh sukma. Atau dikasih hati ngrogoh rempela. Tapi seandainya kamu masih memaksa juga mau ke masa lalu, ya sudah aku bisa ngomong apa. Ya aku senang kalau kamu senang. Tahun 1947 saja orang mengatakan mustahil bisa bergerak secepat kecepatan bunyi, buktinya sekarang bisa. Walaupun cahaya sama bunyi itu kecepatannya beda sih, beda dikit cumaan. Kecepatan cahaya itu 299.792.458 m/detik, sedangkan kecepatan bunyi 344 m/detik. Ya bedanya cuma dikit lah, sebelas dua belas.

Jadi mending kita kembali ke kesimpulan kita yang biasanya saja. Bangun pagi dan menikmati embun di ujung dedaunan, merasakan sinar mentari keemasan di kening kita. Memandang berkas-berkasnya dari puncak-puncak pepohonan, sambil merasakan gigil berkat angin pagi yang menusuk tulang. Lalu tersenyum memandang foto orang-orang yang kita taksir tapi tidak sadar-sadar juga. Atau sadar tapi kok ya tidak membalas taksiran kita. Sudah gitu mau kepoin dia saja internet di henpon kita lelet kayak semangka. Gambarnya burem, muter-muter doang. Buffering! Buffering! Ah, daripada belajar ilmu perdukunan buat kembali ke masa lalu, mending kita belajar nyanthet saja. Kita gak dapat dia, dia gak dapat siapa pun.


Sahabatmu, Gide

RAPUH: Tentang Kejahatan dan Kebaikan, Terutama Cinta dan Melepaskan

31 Januari 2017

RAPUH: Tentang Kejahatan dan Kebaikan, Terutama Cinta dan Melepaskan 
(Surat untuk Sahabat)

D yang terkasih,

Di hadapan keluarga yang sedang berduka karena kematian ibu mereka, seorang pendeta mengungkapkan sesuatu yang menenangkan, “Hari ini Ibu telah bersama Bapa di Sorga, dia pulang ke negeri kekal. Negeri di mana mentari bersinar sejuk dan padang rumput sepanjang hamparan mata, Bunga-bunga merah, ungu, hijau, kuning, oranye, biru, putih, coklat bersemi sepanjang hari. Kecil dan besar. Air bergemericik, bening seperti kaca. Di sana kita mendengar suara tonggeret mengerik sepanjang pagi, burung berkicau sepanjang siang, dan jengkerik menjelang gelap. Kunang-kunang berpendar hijau kekuningan, terbang di sepanjang sulur-sulur markisa dan sirih merah. Jambu, rambutan, kelengkeng bersemi di tengah kembang pacar dan bunga pukul empat.” Maka aku berpikir, betapa rapuhnya kehidupan ini.

Sebuah syair lagu yang biasa dinyanyikan ketika kepergian seorang terkasih, “Tiap hari Tuhan besertaku/ diberi rahmatNya tiap jam/ diangkatNya bila aku jatuh/ dihalauNya musuhku kejam/ Yang namanya Raja Maha Kuasa/ Bapa yang kekal dan abadi/ Mengimbangi suka duka dan menghibur yang sedih ... Suka dan derita bergantian memperkuat imanku” Maka aku semakin yakin, betapa rapuhnya kehidupan.

Cinta membuat kuat. Seorang bapak mengatakan kepada anak perempuannya, “Besok ayah belikan. Yang roda belakangnya bisa dilepas dan dipasang. Yang warnanya biru. Nanti bisa kamu naiki ke sekolah.” Seorang ibu memandang anaknya di rumah mereka yang tak lebih dari sebuah petak kecil, lalu berbisik kepada suminya, “Ayo nabung, Pak. Kasihan nanti kalau dia sudah besar. Teman-temannya datang ke sini, belajar kelompok. Lalu dia malu tinggal di rumah seperti ini.” Mereka mencintai, tersenyum, dan berbahagia menyaksikan orang yang mereka cintai tersenyum. Bahagia.

Namun cinta juga membuat kita lemah. Seorang nenek memandang cucu laki-lakinya yang terbaring karena tumor di otaknya. Lalu berbisik dalam hatinya, “Tidak apa-apa! Aku tahu iini dilarang oleh gereja. Tidak seperti yag Tuhan kehendaki. Tapi cucuku akan sembuh. Mereka akan memasukkan penyakit cucuku ke dalam telur. Dan segala penderitaannya akan lenyap.” Seorang perempuan mengiris lengannya, karena suaminya mencintai perempuan lain. Namun upaya itu gagal, lalu dia mengurung dirinya di kamar, tak hendak makan atau keluar. Atau seorang pria yang pernah ditolak ketika dia sudah begitu yakin bahwa gadis itu yang akan menemani hidupnya. Dia lalu sungguh-sungguh memperhatikan penampilannya. Dia berjuang keras menjadi kaya dan terpandang. Dan setelahnya dia menjadi begitu pemilih. Dia menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk orang yang bersamanya. Begitu bertemu dengan yang demikian, dia meninggalkan juga gadis itu. Seorang teman berkata kepadanya, “Karena kamu pernah ditolak, tidak berarti kamu berhak menyakiti orang lain. Kamu dulu seorang korban, dan sekarang kamu mengorbankan. Kamu belum selesai mencintainya, bahkan sampai hari ini.”

D, mengapa cinta bisa yang sama bisa begitu menguatkan, namun juga begitu menjadikan lemah? Sedemikian rapuhkan kehidupan, hingga kita perlu menceritakan kebahagiaan di tengah duka cita?

D yang terkasih,

Ada sebuah cerita tentang seorang petani yang pemalas namun begitu ambisius. Dia begitu ingin menjadi kaya dan berhasil. Istrinya setiap hari bekerja, namun dia tak mau beranjak dari layang-layangnya. Suatu hari dia bertemu dengan hantu pohon bambu. Dan hantu itu menawarkan padanya kekayaan yang tidak habis-habis. Syaratnya dia harus membunuh istrinya. Maka dia pun pulang, dan ketika istrinya tidur, lehernya dipotong dengan parang. Perempuan itu sembat bergelenjat tidak karuan sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Sebelum pagi sempat terbit, dia menguburkan mayat istrinya di bawah rerimbunan bambu. Paginya dia tersedu. Tetangganya bertanya, “Ada apa?” Dan dia menjawab, “Istriku kabur dibawa pria lain.” Orang-orang desa itu kasihan kepadanya. Satu per satu ganti menghiburnya. Hantu pohon bambu itu tersenyum, dan setiap bulan, tumbuh tunas baru dari bekas kuburan istrinya. Dia memotong tunas itu, dan membuat layang-layang darinya. Beraneka warna, beraneka rupa. Orang-orang dari penjuru negeri akhirnya mengenal layang-layangnya, dia menjadi begitu terkenal. Layang-layangnya bahkan dijual sampai ke seberang pulau. Dia benar-benar menjadi kaya. Dia akhirnya punya banyak sekali pekerja. Dan begitu murah hati kepada para pekerjanya, yang dulu adalam pengangguran pemalas sepertinya. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang bos layang-layang dan duda. Dia lalu menikahi seorang perempuan lain, dan mereka memiliki tiga orang anak. Mereka hidup bahagia sampai ajal menjemput mereka kembali. Dan kau bertanya, bukankah itu tidak adil. Dia pembunuh, tapi mengapa dia hidup bahagia dan dicintai? Entahlah, mungkin demikianlah kehidupan. Begitu rapuh.

Atau kisah seorang pangeran yang matanya bisa mengalirkan sungai. DI sebuah negeri nan jauh, terdapatlah sebuah kerajaan yang diserang kekeringan panjang. Begitu panjang, sampai pepohonan mati dan kulit penduduk desa itu bersisik karena saking keringnya. Sang pangeran melihat keadaan negerinya dan menangis. Tidak disangkanya, air matanya membeludak, mengalir seperti sungai dan membentuk danau di alun-alun kota. Dan sepanjang aliran air matanya, tumbuh tunas-tunas muda. Penduduk negeri begitu terkejut sekaligus terpesona. Sang pangeran pun menjadi begitu bahagia. Dia pun berhenti menangis. Hanya sebulan saja, air itu pun menjadi kering kembali. Orang-orang itu melihat kepada sang pangeran, tapi dia tidak lagi bisa menangis. Pada bulan berikutnya orang-orang bergantian bercerita sedih, sang pangeran menangis, dan kembali terbentuk danau di alun-alun. Penduduk bisa kembali hidup. Namun hanya sebulan saja, pangeran menjadi kebas dengan dengan cerita sedih, cerita paling memilukan pun tak membuatnya meneteskan air mata. Akhirnya penduduk desa membunuh adik perempuan sang pangeran. Sang pangeran menangis menjadi-jadi, dan danau itu kembali penuh. Lalu bergantian, adik laki-lakinya, lalu kakeknya, neneknya, istrinya, anaknya, bapaknya, ibunya, semuanya dibunuh. Dan penduduk desa itu memiliki persediaan air yang lebih dari cukup untuk mereka hidup ratusan tahun.

Kau mengatakan mengapa harus ada korban untuk sebuah kebaikan. Mengapa harus patah hati untuk bisa melanjutkan kehidupan. Mengapa menjadi begitu pahit padahal memiliki segalanya. Mengapa kebaikan dan kejahatan harus berkelindan dengan begitu mesra. Aku tidak tahu. Tapi demikianlah yang terjadi.

D yang terkasih,

Mengapa kehidupan begitu rapuh? Sedemikian rapuh hingga kita membutuhkan janji sorgawi atas kematian. Begitu rapuh hingga kita tidak rela kejahatan dan kebaikan sesungguhnya begitu melekat.

Atau jangan-jangan bukan kehidupan, tetapi kitalah yang begitu rapuh, hingga kita membutuhkan karma, hingga kita membutuhkan iman, hingga kita membutuhkan harapan, dan cinta. Karena melepaskan memang tidak pernah mudah. Melapaskan berarti membiarkan diri kita tidak berdaya. Namun kita tak rela menjadi tak berdaya, karenanya jika terlalu berat untuk melepaskan, kita memilih untuk terus menggenggam. Cinta pun menggenggam, karenanya dia menguatkan. Cinta menggenggam, karenanya dia begitu melemahkan. Dan ketika kita begitu kuat menggenggam, semakin kuat kita kehilangan. "Jangan pergi, aku membutuhkanmu." Cinta konon akan begitu. Cinta yang rapuh. Cinta diri.

Lebih mendasar dari mencintai adalah melepaskan. Karena dengan melepaskan saja, cinta menjadi tidak bersyarat, karma menjadi tidak menghukum, iman menjadi bernilai, dan harapan menjadi tidak egois. Hanya dengan melepaskan, kita menghargai arti memeluk.

Dalam pesta pemakaman itu, setelah sang pendeta menyampaikan penghiburannya. Anak-anak bergantian memeluk dan mencium ibu mereka sebelum peti ditutup. Mereka semua bersedih karena cianta mereka begitu kuat. Dan sang pendeta mengatakan, “Saatnya kita melepaskan.” Dan pintu peti pun ditutup.

HANTU ANAK KECIL

28 Maret 2016

Kau bercerita kepadaku tentang seorang anak kecil yang terus mengikutimu. Kau mengatakan tentang polahnya yang selalu bergelayut di pundakmu.

Awalnya kau pikir anak itu lucu. Kau menyayanginya, begitu menyayanginya. Karena sejauh kau ingat, anak itu selalu bersamamu. Ketika teman-teman, saudara, bahkan keluarga datang pergi silih berganti, anak itu tinggal tetap. Kau dulu berpikir bahwa anak itu yang membutuhkanmu, lalu kau mulai menyadari bahwa justru kau lah yang membutuhkannya. Tetapi, benar, semakin merasa dibutuhkan anak itu semakin kurang ajar.

Lalu seiring kau merasakan bergantung kepadanya, dia pun semakin beringas. Dia memakan segala mimpimu, terutama mimpi-mimpi yang kau temukan ketiga terbangun. Anak itu selalu menangis ketika kamu sedang sendirian, kalau sudah begitu kau tidak punya cara selain menenangkannya. Dia rewel, selalu rewel, tapi kau terus berupaya menemaninya. Dan ketika kau berupaya menemaninya semakin dekat, dia justru menusukkan sebilah pisau di dadamu. Bukan darah yang mengalir, tapi kekosongan. Seperti rasa kematian.

Anak kecil itu selalu membawa album foto yang sama. Dia mengatakan itu album foto kepahitan. Dan kau sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, akan sangat berempati pada kepahitan. Kau ikut terlarut dalam deret gambar yang terpampang di sana. Judul-judulnya bahkan memikatmu: sakit, perih, lara, gagal, sepi, sendiri, jatuh, kehilangan, suram, hampa, sekarat, ingin mati. Tidak ada gambar yang jelas, semua buram dan suram. Tapi entahlah kau diam-diam begitu menikmati gambar-gambar di album itu. Dan sedikit demi sedikit kewarasanmu hilang, berganti dengan air mata yang tak habis-habis dari pelupukmu.

Wajah anak itu tidak jelas, katamu. Tapi tidak, wajahnya begitu kentara. Aku bahkan bisa melihatnya dengan sempurna. Anak itu tak berbayangan, kakinya tak menginjak tanah. Pakaiannya kelam dan rambutnya api. Wajahnya, ya itu yang paling mencekam, adalah wajahmu. Setiap kali kau menumpuk kekesalan, penyangkalan, dan kepedihan, pakaiannya semakin kelam, dan rambut apinya semakin bernyala.

Anak kecil itu hantu. Aku tahu itu. Mengapa tidak kau lepaskan?

Tapi ingat, melepaskan anak kecil berbeda dengan melepaskan orang dewasa. Satu-satunya cara adalah berdamai dengannya. Mengatakan kepadanya, "Terima kasih telah menemaniku selama ini, tapi sekarang, aku harus berjalan sendiri. Kau pulanglah! Karena kau adalah cerita yang sudah lalu. Sedang aku hidup pada saat ini, dan mungkin saja ada esok buatku. Sekarang aku punya teman-teman yang lain, mereka yang datang dan pergi. Mereka memang tidak sesempurna kamu dalam menemani, tapi mereka saja cukup untuk saat ini. Dan andaikata aku memang sendirian, aku rasa aku sudah berani." Salamilah dia, peluklah dia. Lalu biarkan dia terbang.

RAMBATAN CAHAYA

1 April 2019

Rambatan Cahaya
Surat untuk Sahabat

וַיֹּ֥אמֶר אֱלֹהִ֖ים יְהִ֣י א֑וֹר וַֽיְהִי־אֽוֹר׃

D yang terkasih, tahukah kau betapa bersyukurnya aku mempunyai engkau sebagai sahabatku? Aku tak akan punya teman untuk berbicara hal-hal ini jika tidak denganmu. Hal-hal yang kita suratkan adalah yang membuatku terus bergerak, membuatku terus merasa bodoh, gila, waras, dan beruntung. Tanpa ini aku tak akan meramu turunan-turunannya yang lebih terbaca. Terima kasihku tak terkira untuk adamu.

Surat kali ini adalah akrobat, khususnya kata-kata. Ada yang ingin kukejar, bukan idiosinkratik - walaupun bisa jadi melapang menjadi begitu - tapi aku sedang menunjuk betapa leganya kemungkinan. Dan sama seperti para pengembara yang berteman unta, para penjelajah semesta yang berkawan teleskop, para petualang yang berkarib peta, para pejalan yang berkanti musik dan hujan, aku pun berkarib kamus dan tesaurus. Dan lihatlah betapa diksi adalah kemungkinan yang jabar. Semakin kita melonggarkan kekang, semakin kaya kita akan keluasan. (Maka percayalah, dari sedemikian banyak suratku, ini yang paling lama memakan waktu, aku sangat berhati-hati memilih kata – selain bahwa aku harus berkali-kali mengecek data demi membatasi ceracau. Sekalipun demikian tak perlu risau, agaknya yang kali ini tak terlalu sulit dipahami.)

Mungkin remeh saja sebabnya, karena kita berbicara (lagi-lagi) cahaya.

Dengan mata telanjang kita bisa melihat Venus dan Mars pada kesempatan yang tak terlalu langka. Tahukah kau kata lain untuk telanjang selain bugil? Mungkin kau tak pernah mendengarnya: loncos dan urian. Maka berani-beraninya ada yang bilang bahwa bahasa Indonesia kita miskin? Bisa jadi kita saja yang tak cukup (mau) tahu, selain yang sudah kita tahu. Kalimat ini tidak kuletakkan di dalam kurung, karena bagiku penting, bersengkarut cahaya. Melihat yang hanya ingin kita lihat adalah kemalasan yang paling takzim, karena kita mendakunya. Maka bukannya kita menyebutnya sebagai Venus atau Mars, kita menyebutnya bintang.

Bintang-bintang ditempa dalam sebuah tungku peraduan, sebuah timangan yang kita kenal dengan nebula: arak-arakan kabut maha jembar gas, debu, dan plasma (kau tahu salah satu yang terbanyak ditemukan dalam nebula: alkohol) yang daripadanya bintang-bintang terlahir. Paling tidak hingga hari ini ada tiga jenis nebula yang kita kenal, nebula emisi, nebula refleksi, dan nebula planetari. Sekalipun demikian, kerumitan ketiganya akan sia-sia saja kita bicarakan untuk surat singkat ini, maka aku akan mengajakmu cukup berbicara mengenai nebula emisi, karena cahaya berasal dari sini. Sekaligus bahwa biasanya masing-masing nebula tidak berdiri terpisah, tetapi yang satu terjadi sebagai yang lain juga (‘terjadi sebagai’ frase yang ganjil, bukan? Tapi aku tak punya kata atau frase lain yang lebih mewakili.)

Nebula emisi memperibuanakkan cahaya pada diri mereka sendiri. Nebula yang terlampau panas bergelung; panas itu sendiri menyiarkan calak cemerlang. Benderang ini bisa saja bintang(-bintang) yang terbentuk lebih dulu karena gelungan kabut sebelumnya, atau sebuah bakal bintang(-bintang) yang kemampo (tidak matang tidak mentah) yang mengionisasi (menghamburkan elektronnya) pada kabut di sekitarnya. Ketika elektron-elektron bebas ini bersatu kembali dengan proton-proton, maka foton pun diproduksi (emitted – emisi). Foton adalah kata lain dari partikel-gelombang cahaya. Demikianlah cahaya jebrol, umumnya pada tahap ini cahaya berwarna merah. Jika gelungan ini terjadi terus menerus dalam waktu yang sangat panjang, sangat panas, dan tak mau menetap, selalu bergerak, dia bisa menggumpal serupa daging lembek. Daging ini memisahkan diri dari timangannya. Lahirlah bintang. Matahari kita adalah daging lembek yang tak mau menetap ini. Massa melahirkan gravitasi, menarik yang bersekitar dengannya, terjadilah tata surya.

Mengapa aku menceritakan peristiwa tidak menarik sekaligus membingung-buncahkan itu? Semata-mata untuk mengungkapkan bahwa tubuh kita pun elektron dan proton (pun neutron) yang tak mau diam tenang. Kita bukan saja (sisa) debu-debu bintang, kita pun bintang yang lain. Kita mungkin tak nampak bercahaya oleh mata kita, semata-mata karena mata kita hanya bisa menangkap cahaya dalam frekuensi yang terbatas, tapi gunakan kamera termal, kita bercahaya. Maka ketika ada yang bilang, “D, wajahmu hari ini sangat bercahaya!” itu bukan sekadar karena kau berseri-seri, tapi karena kau memang memancarkan dan memencarkan cahaya. Lihatlah, sesuatu yang sangat afektif, ternyata berdiametral dengan yang sangat empiris kognitif. Mengapa kita berani bilang satu lebih tinggi dari yang lain? Mabuk! Kita adalah proses yang tak selesai, dan demi kemanusiaan, aku akan menambahkan, aneh sekali jika kita lalu berputus asa. Keputusasaan bukankah menafikan realitas kita yang paling ontologis?

Cahaya memampukan kita melihat {dan kali ini aku harus mengingatkan, selain ada cahaya, juga ada kegelapan, paling tidak yang kita ketahui di semesta sementara ini adalah baru dark energy, dark matter, dan lubang hitam – sekalipun kita tidak akan berbicara mengenai kegelapan saat ini, tapi kita perlu awas bahwa berbicara tentang yang satu, adalah juga mengatakan yang lain ada – sampai dengan hari ini sayangnya bahasa matematika masih biner 0 dan 1. Cahaya dan gelap. Sekalipun kita sudah bisa menemukan yang tiga dimensi dengan adanya sumbu x, y, dan z (dan mungkin sekali tak cuma tiga, bisa jadi lebih banyak dimensi [oh, betapa sombongnya kita yang merasa banyak tahu ini] yang belum dijelajah). Hal tersebut semata-mata menunjukkan bahwa pengetahuan kita masih jauh dari selesai. Lihatlah ketololanku, satu paragraf ini hanyalah sebuah kalimat, selebihnya adalah anak yang beranak-pinak}.

Demikianlah mengapa cahaya menjadi begitu penting. Jika kau tak sedang bersinar, bukankah orang menganggapmu tiada. Namun, ketika kau bersinar, kau ada di sana. Kau, aku, kita ada karena cahaya. Mereka ada karena cahaya. Cahaya memberikan kita sewajah cerita (karena ada kisah-kisah yang dituturkan dalam gelap, dan beberapa yang terindah dituturkan dalam pekat – sebutlah Wijaya Kusuma yang masyhur itu).

Sedemikian penting cahaya, hingga abad ke-20 sebelum era bersama (before common era – dulu kita mengenalnya dengan sebelum Masehi, tapi kau tahu kenapa aku tidak memakai lagi nama itu, terlalu Kristen), tersebutlah di Thebes penyembahan pada Amun-Ra, dewa dari segala dewa, dewa matahari. Dinasti kedelapan belas Mesir Kuno (1500an – 1200an SEB) membangun sebuah kuil yang masih bisa kau singgahi hari ini, Kuil Karnak. Menjelang akhir Desember, kau akan melihat sang dewa terbit persis di pintu utama kuil tersebut, terus menanjak hingga di puncak kepalamu, lalu terbenam di punggungmu. Tidak setiap saat begitu, karena poros bumi kita yang tidak jejeg – matahari pun kadang bangkit miring, tenggelam menyerong. Mungkin memang pada sebuah masa, matahari sang pembawa cahaya itu pernah menjadi yang tak terbantah, tapi bagi kita hari ini, ketimbang sang puncak, dia lebih baik kita lihat sebagai sang pembawa pesan, malaikat. Bintang-bintang adalah malaikat-malaikat bagi sebuah pesan tak terperi: cahaya.

Cahaya adalah pesan paling lawas yang mampu berdeging hingga masa kini. Dalam pesannya, dia membawa cerita tentang hampir segalanya – termasuk tentang ketiadaan cahaya. Salah satu pesan yang paling istimewa adalah: waktu. Tanpa cahaya, kita akan buta waktu.

Maka kita berhutang pada Galileo – yang pernah diadili oleh gereja kita yang sering bebal ini (tapi bukan hanya gereja, para filsuf Aristotelian juga selalu berkonfrontasi dengannya), tapi juga pada Ole Rømer. Awalnya Galileo menemukan bahwa Jupiter memiliki sebuah satelit, Io, yang mengelilingi induk semangnya setiap 42 jam setengah. Namun, Rømerlah yang mencatat dengan saksama bahwa ternyata bilangan 42 setengah itu tak selalu presisi. Pada bulan-bulan tertentu lebih cepat, pada bulan-bulan lain lebih lambat (lihatlah, betapa ada orang yang sedemikian kurang kerjaan, mengamati lamanya lintasan orbit sebuah satelit pada sebuah planet). Perbedaan itu bukan terjadi karena orbit lintasan Io pada Jupiter yang berubah-ubah, tetapi justru revolusi kita pada mataharilah yang menyebabkan perubahan itu. Pada bulan-bulan tertentu, kita berada di belakang matahari sehingga jarak kita pada Jupiter lebih jauh. Pada saat itulah Io muncul lebih kemudian. Tetapi ketika jarak kita dan Jupiter lebih mesra, karena kita berada di antaranya dengan matahari, maka semakin bergegaslah Io. Apa yang dia temukan? Benar, D! Cahaya memiliki kecepatan. Cahaya butuh waktu untuk merambat dari Io menuju mata sang Rømer. Cepat rambat cahaya membuat Io kadang nampak lebih acap, adakalanya lebih ayal. Dan sejak saat itulah kita mengukur berapa kecepatan (rambat) cahaya.

Di bumi, karena jarak – dari sudut pandang kosmik begitu dekat – maka rambatan cahaya itu begitu instan, hingga tak mampu kita persepsi. Namun dalam jarak yang lebih panjang – dalam artian lebih panjang dari yang mampu kau pandang dan perkirakan – rambatan itu menjadi lebih profan.

Aku tak akan menggunakan angka yang sulit dibaca dengan mudah itu, aku akan menggunakan bilangan yang lebih prasaja: 300.000 km/detik. Itulah kecepatan cahaya yang kita ketahui hari ini. Jika matahari berjarak 150 juta kilometer, maka berapa waktu yang dibutuhkannya untuk menyampaikan pesan cahayanya ke bumi? Ah tak perlu bingung menghitung. Delapan menit. Cahaya matahari yang kita lihat hari ini, sejatinya adalah cahaya yang dipancarkannya delapan menit yang lalu. Sehingga jika kau tinggal di matahari dan aku tinggal di bumi, lalu kita bisa berkontak batin instan, ketika matahari meledak, aku masih punya waktu delapan menit untuk bersembunyi. Tapi karena saat ini gelombang dan partikel yang tercepat masih cahaya, kita butuh mujizat untuk itu.

Salah satu penemuan Hubble yang ternama terjadi pada tahun 2004: Hubble Ultra-Deep Field. Hubble membutuhkan waktu selama 11 hari untuk menangkapnya supaya cukup cerlang. Artinya 11 hari tersebut dia menangkap obyek yang sama terus menerus, tanpa bergeser. Apakah yang ditemukannya? Sebuah sumber cahaya yang sangat sangat sangat kecil di antara Orion. Cahaya itu berasal dari galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya. Artinya cahaya yang diterima oleh Hubble itu memancar dari sumber 13 milyar tahun yang lalu, sebelum masa dinosaurus, sebelum bumi lahir, sebelum terjadi benturan antara Theia dengan proto bumi dan membentuk Bumi dan Bulan. Sebelum bapak dan ibumu memikirkan akan menghadirkanmu ke dunia ini. Entahlah apakah hari ini galaksi itu masih ada. Tapi cahaya menyampaikan pesan yang baru kita terima hari ini: galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya itu (pernah) ada.

Apa yang hendak kukatakan? Hal-hal yang kita lihat melalui cahaya, sejatinya selalu masa lalu. Rambatan cahaya itu sampai di sebuah benda, benda itu memantulkan cahaya ke mata kita, kita menangkapnya. Ketika kita menagkap pantulan cahaya itu, benda yang kita lihat sudah bukan yang memantul tadi. Itu sudah masa lalunya. Apalagi jika kita melihat sumber cahaya. Segala yang kita tahu sudah usang. Kita tak tahu masa kini sejatinya bagaimana. Segalanya adalah sepersekian detik hingga seberjuta tahun yang lalu. Cahaya merambat, dan rambatan itu membuat kita tak melihat yang sedang terjadi pada masa yang kita sebut sebagai kini. Kini adalah sebuah realitas yang semata kita persepsikan. Semata itu. Kita hanya tahu kini sesudah kini menjadi lampau.

Hal ini serupa kita menatap cahaya matahari yang putih itu. Anggaplah putih itu yang kau persepsikan selama ini. Kau tahu bahwa sebenarnya putih itu adalah deret gradasi dari merah hingga ungu yang tak terbatas, kau tahu itu sejak jaman SD. Kita hanya melihat putih karena sama seperti bagaimana kita menggunakan kata-kata, kita tak (mau) cukup tahu. Kita hanya tahu apa yang mau kita tahu, yaitu putih. Padahal sejatinya putih itu terlalu sepele dibandingkan berbagai gelombang yang bisa kita tangkap dalau uraiannya. Prisma cahaya akan membantuk kita untuk mengerti lebih teliti betapa minimnya yang mampu kita ceritakan.

Inilah mengapa aku mengatakan bahwa surat ini begitu penting bagiku, bahkan aku harus mengirimkan prasurat sebelumnya kepadamu. Kita selalu berpikir bahwa masa depan adalah persepsi, tetapi nyatanya masa kini pun sejatinya adalah persepsi. Yang kita miliki adalah semata-mata tangkapan kita atas yang telah lalu. Lihatlah senjang ini, D! Kita hidup di masa kini, tetapi sejatinya – di dalam cahaya – segalanya yang kita ketahui, segala pengetahuan, segala kelihaian, segala cerap kita adalah tentang yang telah lalu. Namun di sisi lain, pengetahuan kita tentang sumber cahaya di masa lalu, mulai dari nebula hingga Hubble Ultra-Deep Field pun, nyatanya sangat terbatas. Kita hanya melihat dari alat yang kita gunakan: kamus dan tesaurus. Dan sekaya itu pun kamus dan tesaurus, itu pun tak mampu menerjemahkan segala jejalan yang ada dalam benak kita. Sehebat apa pun bahasa, segalanya terbatas. Bahkan dengan alat bantu pun kita masih cacat. Ketika yang bisa kita pegang adalah sekadar masa lalu, ternyata kita pun hanya meliaht masa lalu seperti melihat warna putih. Padahal masa lalu bisa saja terdiri dari banyak warna yang tak mampu kita jajarkan dari ujung ke ujung.

Tentu aku tak hendak mengatakan bahwa kita tak mencapai apa pun. Tapi capaian kita sejatinya baru sampai pada yang telah lalu. Ketika aku dan mungkin orang lain mengatakan, “Live your life today, because present is a gift” sebenarnya tak benar-benar akurat. Karena kita tak sungguh-sungguh tahu tentang apa yang sedang terjadi.

Aku tidak akan menyerah, sekalipun bagian berikut ini tak akan begitu kuat. Demikianlah aku akan kembali pada pembukaan surat ini tentang akrobat kata-kata. Lihatlah kreativitas yang mungkin dibuat dalam keluasan yang serba mungkin. Anggaplah keluasan itu sebagai kemungkinan dalam terang (sadarkah kau aku baru menggunakan kata ini sekarang, padahal dari tadi aku berbicara tentang cahaya, aku sengaja melakukannya karena terang selalu memiliki lebih banyak makna konotatif ketimbang cahaya, maka apa yang hendak kukatakan berikut ini lebih konotatif dari yang sebelum-sebelumnya, dan karenanya aku tak berani bicara berpanjang-panjang lagi). Segala kemungkinan dalam terang adalah segala kreativitasmu dalam menanggapi – bahkan mencipta – berbagai persepsi, termasuk dari yang belum pernah digunakan sebelumnya. Betapa indahnya kreativitas dan betapa berharganya dalam berhadapan dengan hari ini. Lalu apakah takdir, dalam nuansa demikian tak ada takdir, kau menentukan ke mana kau akan mempersepsikan terangmu hari ini. Takdir adalah batas untuk membatasimu supaya kau tidak sombong. Dan seperti cahaya kau sejatinya tak berbatas. Tidak! Kau tidak sombong! Bahkan ketika kau membuang takdir, kau tidak sombong. Sama sekali tidak. Tentu tulisan ini bukan tentang takdir, karena sudah terlalu banyak tulisan tentang itu. Bagiku, yang tahu sempit dan terbatas ini, surat ini adalah tentang dalam terang, kau adalah segala kemungkinan tanpa batas.

Lihatlah, sekali lagi aku akan kembali pada pembukaan suratku ini, betapa berbahagia aku memilikimu sebagai sahabat.

Sahabatmu,
Gide

PS: Aku tak ingin menarikmu mundur. Namun sungguhlah ingat, kita baru berbicara tentang cahaya, kita belum melihat wajah sebaliknya - dan beberapa yang terindah lahr dalam pekat.

PPS: Maafkan aku, kau mungkin berpikir bahwa seharusnya surat ini lebih panjang dari ini, sebagaimana kubilang sebelumnya. Ya, aku harus memotong banyak sekali bagian surat ini, banyak yang mungkin akhirnya harus direlakan tak tersampaikan, salah satu yang paling menarik yang terpaksa harus dibuang misalnya tentang foton, juga tentang gradasi warna. Namun, percayalah hal-hal yang paling mendesak, sudah terwakili. Biarlah yang belum menjadi cerita untuk lain kali.