1 April 2019
Rambatan Cahaya
Surat untuk Sahabat
וַיֹּ֥אמֶר אֱלֹהִ֖ים יְהִ֣י א֑וֹר וַֽיְהִי־אֽוֹר׃
D yang terkasih, tahukah kau betapa bersyukurnya aku mempunyai engkau sebagai sahabatku? Aku tak akan punya teman untuk berbicara hal-hal ini jika tidak denganmu. Hal-hal yang kita suratkan adalah yang membuatku terus bergerak, membuatku terus merasa bodoh, gila, waras, dan beruntung. Tanpa ini aku tak akan meramu turunan-turunannya yang lebih terbaca. Terima kasihku tak terkira untuk adamu.
Surat kali ini adalah akrobat, khususnya kata-kata. Ada yang ingin kukejar, bukan idiosinkratik - walaupun bisa jadi melapang menjadi begitu - tapi aku sedang menunjuk betapa leganya kemungkinan. Dan sama seperti para pengembara yang berteman unta, para penjelajah semesta yang berkawan teleskop, para petualang yang berkarib peta, para pejalan yang berkanti musik dan hujan, aku pun berkarib kamus dan tesaurus. Dan lihatlah betapa diksi adalah kemungkinan yang jabar. Semakin kita melonggarkan kekang, semakin kaya kita akan keluasan. (Maka percayalah, dari sedemikian banyak suratku, ini yang paling lama memakan waktu, aku sangat berhati-hati memilih kata – selain bahwa aku harus berkali-kali mengecek data demi membatasi ceracau. Sekalipun demikian tak perlu risau, agaknya yang kali ini tak terlalu sulit dipahami.)
Mungkin remeh saja sebabnya, karena kita berbicara (lagi-lagi) cahaya.
Dengan mata telanjang kita bisa melihat Venus dan Mars pada kesempatan yang tak terlalu langka. Tahukah kau kata lain untuk telanjang selain bugil? Mungkin kau tak pernah mendengarnya: loncos dan urian. Maka berani-beraninya ada yang bilang bahwa bahasa Indonesia kita miskin? Bisa jadi kita saja yang tak cukup (mau) tahu, selain yang sudah kita tahu. Kalimat ini tidak kuletakkan di dalam kurung, karena bagiku penting, bersengkarut cahaya. Melihat yang hanya ingin kita lihat adalah kemalasan yang paling takzim, karena kita mendakunya. Maka bukannya kita menyebutnya sebagai Venus atau Mars, kita menyebutnya bintang.
Bintang-bintang ditempa dalam sebuah tungku peraduan, sebuah timangan yang kita kenal dengan nebula: arak-arakan kabut maha jembar gas, debu, dan plasma (kau tahu salah satu yang terbanyak ditemukan dalam nebula: alkohol) yang daripadanya bintang-bintang terlahir. Paling tidak hingga hari ini ada tiga jenis nebula yang kita kenal, nebula emisi, nebula refleksi, dan nebula planetari. Sekalipun demikian, kerumitan ketiganya akan sia-sia saja kita bicarakan untuk surat singkat ini, maka aku akan mengajakmu cukup berbicara mengenai nebula emisi, karena cahaya berasal dari sini. Sekaligus bahwa biasanya masing-masing nebula tidak berdiri terpisah, tetapi yang satu terjadi sebagai yang lain juga (‘terjadi sebagai’ frase yang ganjil, bukan? Tapi aku tak punya kata atau frase lain yang lebih mewakili.)
Nebula emisi memperibuanakkan cahaya pada diri mereka sendiri. Nebula yang terlampau panas bergelung; panas itu sendiri menyiarkan calak cemerlang. Benderang ini bisa saja bintang(-bintang) yang terbentuk lebih dulu karena gelungan kabut sebelumnya, atau sebuah bakal bintang(-bintang) yang kemampo (tidak matang tidak mentah) yang mengionisasi (menghamburkan elektronnya) pada kabut di sekitarnya. Ketika elektron-elektron bebas ini bersatu kembali dengan proton-proton, maka foton pun diproduksi (emitted – emisi). Foton adalah kata lain dari partikel-gelombang cahaya. Demikianlah cahaya jebrol, umumnya pada tahap ini cahaya berwarna merah. Jika gelungan ini terjadi terus menerus dalam waktu yang sangat panjang, sangat panas, dan tak mau menetap, selalu bergerak, dia bisa menggumpal serupa daging lembek. Daging ini memisahkan diri dari timangannya. Lahirlah bintang. Matahari kita adalah daging lembek yang tak mau menetap ini. Massa melahirkan gravitasi, menarik yang bersekitar dengannya, terjadilah tata surya.
Mengapa aku menceritakan peristiwa tidak menarik sekaligus membingung-buncahkan itu? Semata-mata untuk mengungkapkan bahwa tubuh kita pun elektron dan proton (pun neutron) yang tak mau diam tenang. Kita bukan saja (sisa) debu-debu bintang, kita pun bintang yang lain. Kita mungkin tak nampak bercahaya oleh mata kita, semata-mata karena mata kita hanya bisa menangkap cahaya dalam frekuensi yang terbatas, tapi gunakan kamera termal, kita bercahaya. Maka ketika ada yang bilang, “D, wajahmu hari ini sangat bercahaya!” itu bukan sekadar karena kau berseri-seri, tapi karena kau memang memancarkan dan memencarkan cahaya. Lihatlah, sesuatu yang sangat afektif, ternyata berdiametral dengan yang sangat empiris kognitif. Mengapa kita berani bilang satu lebih tinggi dari yang lain? Mabuk! Kita adalah proses yang tak selesai, dan demi kemanusiaan, aku akan menambahkan, aneh sekali jika kita lalu berputus asa. Keputusasaan bukankah menafikan realitas kita yang paling ontologis?
Cahaya memampukan kita melihat {dan kali ini aku harus mengingatkan, selain ada cahaya, juga ada kegelapan, paling tidak yang kita ketahui di semesta sementara ini adalah baru dark energy, dark matter, dan lubang hitam – sekalipun kita tidak akan berbicara mengenai kegelapan saat ini, tapi kita perlu awas bahwa berbicara tentang yang satu, adalah juga mengatakan yang lain ada – sampai dengan hari ini sayangnya bahasa matematika masih biner 0 dan 1. Cahaya dan gelap. Sekalipun kita sudah bisa menemukan yang tiga dimensi dengan adanya sumbu x, y, dan z (dan mungkin sekali tak cuma tiga, bisa jadi lebih banyak dimensi [oh, betapa sombongnya kita yang merasa banyak tahu ini] yang belum dijelajah). Hal tersebut semata-mata menunjukkan bahwa pengetahuan kita masih jauh dari selesai. Lihatlah ketololanku, satu paragraf ini hanyalah sebuah kalimat, selebihnya adalah anak yang beranak-pinak}.
Demikianlah mengapa cahaya menjadi begitu penting. Jika kau tak sedang bersinar, bukankah orang menganggapmu tiada. Namun, ketika kau bersinar, kau ada di sana. Kau, aku, kita ada karena cahaya. Mereka ada karena cahaya. Cahaya memberikan kita sewajah cerita (karena ada kisah-kisah yang dituturkan dalam gelap, dan beberapa yang terindah dituturkan dalam pekat – sebutlah Wijaya Kusuma yang masyhur itu).
Sedemikian penting cahaya, hingga abad ke-20 sebelum era bersama (before common era – dulu kita mengenalnya dengan sebelum Masehi, tapi kau tahu kenapa aku tidak memakai lagi nama itu, terlalu Kristen), tersebutlah di Thebes penyembahan pada Amun-Ra, dewa dari segala dewa, dewa matahari. Dinasti kedelapan belas Mesir Kuno (1500an – 1200an SEB) membangun sebuah kuil yang masih bisa kau singgahi hari ini, Kuil Karnak. Menjelang akhir Desember, kau akan melihat sang dewa terbit persis di pintu utama kuil tersebut, terus menanjak hingga di puncak kepalamu, lalu terbenam di punggungmu. Tidak setiap saat begitu, karena poros bumi kita yang tidak jejeg – matahari pun kadang bangkit miring, tenggelam menyerong. Mungkin memang pada sebuah masa, matahari sang pembawa cahaya itu pernah menjadi yang tak terbantah, tapi bagi kita hari ini, ketimbang sang puncak, dia lebih baik kita lihat sebagai sang pembawa pesan, malaikat. Bintang-bintang adalah malaikat-malaikat bagi sebuah pesan tak terperi: cahaya.
Cahaya adalah pesan paling lawas yang mampu berdeging hingga masa kini. Dalam pesannya, dia membawa cerita tentang hampir segalanya – termasuk tentang ketiadaan cahaya. Salah satu pesan yang paling istimewa adalah: waktu. Tanpa cahaya, kita akan buta waktu.
Maka kita berhutang pada Galileo – yang pernah diadili oleh gereja kita yang sering bebal ini (tapi bukan hanya gereja, para filsuf Aristotelian juga selalu berkonfrontasi dengannya), tapi juga pada Ole Rømer. Awalnya Galileo menemukan bahwa Jupiter memiliki sebuah satelit, Io, yang mengelilingi induk semangnya setiap 42 jam setengah. Namun, Rømerlah yang mencatat dengan saksama bahwa ternyata bilangan 42 setengah itu tak selalu presisi. Pada bulan-bulan tertentu lebih cepat, pada bulan-bulan lain lebih lambat (lihatlah, betapa ada orang yang sedemikian kurang kerjaan, mengamati lamanya lintasan orbit sebuah satelit pada sebuah planet). Perbedaan itu bukan terjadi karena orbit lintasan Io pada Jupiter yang berubah-ubah, tetapi justru revolusi kita pada mataharilah yang menyebabkan perubahan itu. Pada bulan-bulan tertentu, kita berada di belakang matahari sehingga jarak kita pada Jupiter lebih jauh. Pada saat itulah Io muncul lebih kemudian. Tetapi ketika jarak kita dan Jupiter lebih mesra, karena kita berada di antaranya dengan matahari, maka semakin bergegaslah Io. Apa yang dia temukan? Benar, D! Cahaya memiliki kecepatan. Cahaya butuh waktu untuk merambat dari Io menuju mata sang Rømer. Cepat rambat cahaya membuat Io kadang nampak lebih acap, adakalanya lebih ayal. Dan sejak saat itulah kita mengukur berapa kecepatan (rambat) cahaya.
Di bumi, karena jarak – dari sudut pandang kosmik begitu dekat – maka rambatan cahaya itu begitu instan, hingga tak mampu kita persepsi. Namun dalam jarak yang lebih panjang – dalam artian lebih panjang dari yang mampu kau pandang dan perkirakan – rambatan itu menjadi lebih profan.
Aku tak akan menggunakan angka yang sulit dibaca dengan mudah itu, aku akan menggunakan bilangan yang lebih prasaja: 300.000 km/detik. Itulah kecepatan cahaya yang kita ketahui hari ini. Jika matahari berjarak 150 juta kilometer, maka berapa waktu yang dibutuhkannya untuk menyampaikan pesan cahayanya ke bumi? Ah tak perlu bingung menghitung. Delapan menit. Cahaya matahari yang kita lihat hari ini, sejatinya adalah cahaya yang dipancarkannya delapan menit yang lalu. Sehingga jika kau tinggal di matahari dan aku tinggal di bumi, lalu kita bisa berkontak batin instan, ketika matahari meledak, aku masih punya waktu delapan menit untuk bersembunyi. Tapi karena saat ini gelombang dan partikel yang tercepat masih cahaya, kita butuh mujizat untuk itu.
Salah satu penemuan Hubble yang ternama terjadi pada tahun 2004: Hubble Ultra-Deep Field. Hubble membutuhkan waktu selama 11 hari untuk menangkapnya supaya cukup cerlang. Artinya 11 hari tersebut dia menangkap obyek yang sama terus menerus, tanpa bergeser. Apakah yang ditemukannya? Sebuah sumber cahaya yang sangat sangat sangat kecil di antara Orion. Cahaya itu berasal dari galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya. Artinya cahaya yang diterima oleh Hubble itu memancar dari sumber 13 milyar tahun yang lalu, sebelum masa dinosaurus, sebelum bumi lahir, sebelum terjadi benturan antara Theia dengan proto bumi dan membentuk Bumi dan Bulan. Sebelum bapak dan ibumu memikirkan akan menghadirkanmu ke dunia ini. Entahlah apakah hari ini galaksi itu masih ada. Tapi cahaya menyampaikan pesan yang baru kita terima hari ini: galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya itu (pernah) ada.
Apa yang hendak kukatakan? Hal-hal yang kita lihat melalui cahaya, sejatinya selalu masa lalu. Rambatan cahaya itu sampai di sebuah benda, benda itu memantulkan cahaya ke mata kita, kita menangkapnya. Ketika kita menagkap pantulan cahaya itu, benda yang kita lihat sudah bukan yang memantul tadi. Itu sudah masa lalunya. Apalagi jika kita melihat sumber cahaya. Segala yang kita tahu sudah usang. Kita tak tahu masa kini sejatinya bagaimana. Segalanya adalah sepersekian detik hingga seberjuta tahun yang lalu. Cahaya merambat, dan rambatan itu membuat kita tak melihat yang sedang terjadi pada masa yang kita sebut sebagai kini. Kini adalah sebuah realitas yang semata kita persepsikan. Semata itu. Kita hanya tahu kini sesudah kini menjadi lampau.
Hal ini serupa kita menatap cahaya matahari yang putih itu. Anggaplah putih itu yang kau persepsikan selama ini. Kau tahu bahwa sebenarnya putih itu adalah deret gradasi dari merah hingga ungu yang tak terbatas, kau tahu itu sejak jaman SD. Kita hanya melihat putih karena sama seperti bagaimana kita menggunakan kata-kata, kita tak (mau) cukup tahu. Kita hanya tahu apa yang mau kita tahu, yaitu putih. Padahal sejatinya putih itu terlalu sepele dibandingkan berbagai gelombang yang bisa kita tangkap dalau uraiannya. Prisma cahaya akan membantuk kita untuk mengerti lebih teliti betapa minimnya yang mampu kita ceritakan.
Inilah mengapa aku mengatakan bahwa surat ini begitu penting bagiku, bahkan aku harus mengirimkan prasurat sebelumnya kepadamu. Kita selalu berpikir bahwa masa depan adalah persepsi, tetapi nyatanya masa kini pun sejatinya adalah persepsi. Yang kita miliki adalah semata-mata tangkapan kita atas yang telah lalu. Lihatlah senjang ini, D! Kita hidup di masa kini, tetapi sejatinya – di dalam cahaya – segalanya yang kita ketahui, segala pengetahuan, segala kelihaian, segala cerap kita adalah tentang yang telah lalu. Namun di sisi lain, pengetahuan kita tentang sumber cahaya di masa lalu, mulai dari nebula hingga Hubble Ultra-Deep Field pun, nyatanya sangat terbatas. Kita hanya melihat dari alat yang kita gunakan: kamus dan tesaurus. Dan sekaya itu pun kamus dan tesaurus, itu pun tak mampu menerjemahkan segala jejalan yang ada dalam benak kita. Sehebat apa pun bahasa, segalanya terbatas. Bahkan dengan alat bantu pun kita masih cacat. Ketika yang bisa kita pegang adalah sekadar masa lalu, ternyata kita pun hanya meliaht masa lalu seperti melihat warna putih. Padahal masa lalu bisa saja terdiri dari banyak warna yang tak mampu kita jajarkan dari ujung ke ujung.
Tentu aku tak hendak mengatakan bahwa kita tak mencapai apa pun. Tapi capaian kita sejatinya baru sampai pada yang telah lalu. Ketika aku dan mungkin orang lain mengatakan, “Live your life today, because present is a gift” sebenarnya tak benar-benar akurat. Karena kita tak sungguh-sungguh tahu tentang apa yang sedang terjadi.
Aku tidak akan menyerah, sekalipun bagian berikut ini tak akan begitu kuat. Demikianlah aku akan kembali pada pembukaan surat ini tentang akrobat kata-kata. Lihatlah kreativitas yang mungkin dibuat dalam keluasan yang serba mungkin. Anggaplah keluasan itu sebagai kemungkinan dalam terang (sadarkah kau aku baru menggunakan kata ini sekarang, padahal dari tadi aku berbicara tentang cahaya, aku sengaja melakukannya karena terang selalu memiliki lebih banyak makna konotatif ketimbang cahaya, maka apa yang hendak kukatakan berikut ini lebih konotatif dari yang sebelum-sebelumnya, dan karenanya aku tak berani bicara berpanjang-panjang lagi). Segala kemungkinan dalam terang adalah segala kreativitasmu dalam menanggapi – bahkan mencipta – berbagai persepsi, termasuk dari yang belum pernah digunakan sebelumnya. Betapa indahnya kreativitas dan betapa berharganya dalam berhadapan dengan hari ini. Lalu apakah takdir, dalam nuansa demikian tak ada takdir, kau menentukan ke mana kau akan mempersepsikan terangmu hari ini. Takdir adalah batas untuk membatasimu supaya kau tidak sombong. Dan seperti cahaya kau sejatinya tak berbatas. Tidak! Kau tidak sombong! Bahkan ketika kau membuang takdir, kau tidak sombong. Sama sekali tidak. Tentu tulisan ini bukan tentang takdir, karena sudah terlalu banyak tulisan tentang itu. Bagiku, yang tahu sempit dan terbatas ini, surat ini adalah tentang dalam terang, kau adalah segala kemungkinan tanpa batas.
Lihatlah, sekali lagi aku akan kembali pada pembukaan suratku ini, betapa berbahagia aku memilikimu sebagai sahabat.
Sahabatmu,
Gide
PS: Aku tak ingin menarikmu mundur. Namun sungguhlah ingat, kita baru berbicara tentang cahaya, kita belum melihat wajah sebaliknya - dan beberapa yang terindah lahr dalam pekat.
PPS: Maafkan aku, kau mungkin berpikir bahwa seharusnya surat ini lebih panjang dari ini, sebagaimana kubilang sebelumnya. Ya, aku harus memotong banyak sekali bagian surat ini, banyak yang mungkin akhirnya harus direlakan tak tersampaikan, salah satu yang paling menarik yang terpaksa harus dibuang misalnya tentang foton, juga tentang gradasi warna. Namun, percayalah hal-hal yang paling mendesak, sudah terwakili. Biarlah yang belum menjadi cerita untuk lain kali.