Senin, 13 Januari 2020

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI

14 Januari 2019

KARMA DAN MENIKMATI SAAT INI (surat untuk kedua sahabat baik hati)
D dan D, yang terkasih...
Ada sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta, kriya, menunjukkan sebuah proses kerja atau aksi yang terus menerus, dilakukan dengan sepenuh daya usaha. Kata itu disanding dengan karma. Dua kata yang bertetangga, bersinggungan, namun pada saat yang sama berpelukan. Partisipatif. Karma menunjukkan bahwa sebuah aksi apa pun punya tujuan sekaligus dampak. Aksi baik akan berkarma baik, aksi yang buruk akan berkarma buruk.
Namun apakah baik dan buruk? Kita tahu, di seluruh pusat galaksi di sepanjang semesta yang mampu diamati, ada sebuah entitas yang begitu perkasa. Entitas itu tercipta oleh supernova maha dahsyat, oleh perpaduan entitas yang sama, bahkan sejak dentuman besar, 13,7-13,8 milyar tahun yang lalu. Entitas itu kita kenal dengan sebuah nama yang tak kalah gagah, lubang hitam supermasif.
Lubang hitam supermasif ini begitu rakus. Dia memakan apa saja yang ada di sekelilingnya. Bahkan ketika benda itu sejauh matahari dengan bumi, benda itu sudah akan diraupnya dengan lahap. Dekat dengannya berarti kematian. Setelah memamah bintang, planet, gas, dan materi apa pun di sekitarnya, lubang hitam supermasif akan menyemburkan jet kosmik panas, terang dan membunuh. Kita mengenalnya dengan istilah blazar, quasar, atau radio galaksi, tergantung dari mana kita melihatnya. Jika arah semburan jet spektakuler itu mengarah tegak lurus dengan arah pandang kita, kita menyebutnya radio galaksi, jika membentuk angle dari arah pandang kita, maka namanya quasar, namun jika tegak lurus mengarah pada kita - dan ini mampu membunuh seluruh bumi dalam sekejap, bahkan jika pun jaraknya milyaran tahun cahaya dari kita, karena yang disemburkan sebenarnya sinar gamma maha bahana - kita menyebutnya blazar.
Lubang hitam supermasif itu sendiri membunuh, muntahannya pun membunuh. Cahaya tak mampu menembusnya, waktu melengkung menjadi lebih pendek ketika kita di dekatnya, dia sendiri pun tak nampak oleh mata manusia, teleskop, atau kamera kumputer super canggih sekalipun. Begitu ngeri entitas ini.
Namun kita pun tahu, tanpa dia di pusat galaksi kita, kita akan menghambur tak keruan oleh energi kegelapan. Entah ke mana. Kita akan terhempas hilang. Gravitasi lubang hitam supermasif yang maha bahadur itulah yang menjaga kita tetap memiliki poros, tetap mempunyai inti. Tetap berumah. Dia menjaga kita terus berputar dan hidup. Dan kita beruntung bahwa saat ini, lubang hitam supermasif di pusat bima sakti sedang berpuasa karena kehabisan bahan bakar. Tidak ada gas, bintang, atau planet yang dekat-dekat dengannya. Sehingga dia tidak terlalu nakal. Namun 4 milyar tahun lagi, kejinakannya ini akan berakhir, dia akan menjadi buas dan liar ketika Bima Sakti bertabrakan dengan Andromeda. Kolisi itu menyebabkan konstelasi bintang berubah, dan segera saja begitu ada bintang-bintang yang mendekatinya, lubang hitam supermasif kita akan mempunyai cukup pakan untuk mengamuk serupa saudaranya yang lain.
D dan D, yang terkasih…
Maka kita melihat sebuah keajaiban lain dari kehidupan semesta, mereka yang paling buruk pun ternyata menyimpan kebaikan yang menggetarkan. Dalam sebuah pusat kematian, justru ada kehidupan yang lebih dari cukup untuk dijalani. Sama seperti siang dan malam, bukankah itu hanya ilusi? Siang dan malam, serupa quasar, blazar, dan radio galaksi. Bergantung sekali dari mana kita melihatnya. Namun kita sering dikecohkan oleh indera kita. Itulah kita. Bahkan untuk tahu bahwa quasar, blazar, dan radio galaksi sebenarnya adalah hal yang sama hanya bergantung dari sudut mana kita melihatnya, para ilmuwan menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mengerti, 20an tahun tepatnya. Mereka sempat berpikir itu adalah hal yang berbeda. Sama seperti berapa lama kita mengerti bahwa siang dan malam sebenarnya bukan karena matahari yang mengitari bumi, namun karena bumi kitalah yang berotasi. Butuh ribuan tahun. Kita sering silap, karena kita terlalu kukuh memegang pendapat kita, apalagi jika sudah dikukuhkan menjadi agama atau iman, semuanya menjadi serba kuwalat dan keramat. Namun pada saat yang sama, tanpa agama dan iman, hidup kita cerita ruang waktu yang saling bertumpuk, tanpa makna – atau setidaknya tak bisa begitu saja dimaknai. Dari mana segala nilai dan norma itu berasal, jika bukan dari ajrih asih kita pada Sang Misteri.
Maka tentang karma, nyatanya kita tak tahu apa yang akan terjadi esok, bahkan semenit dari sekarang. Kita bukan alien heptapods yang mampu membaca dulu, kini, dan nanti secara bersamaan. Kita masih selalu terikat ruang dan waktu. Namun bukankah ini yang membuat hidup begitu memesona, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi. Justru karena misterinya, justru karena tak semuanya kita tahu. Maka betapa konyolnya orang yang ingin bermain sebagai Tuhan, mereka sejatinya sedang mengecilkan diri mereka sendiri. Dengan sembrono menyebut ini benar atau salau, dengan serampangan membuat aturan-aturan yang sejatinya begitu lembam.
Maka dari ketidaktahuan kita akan nanti dan karma yang kita kenal, pilihan kita adalah untuk menghidupi hari ini. Mencintai dan memeluknya dengan sepenuh. Entah esok baik atau buruk, bukan di sana masalahnya, namun pada apa yang kita lakukan sekarang. Saat ini kita tidak hidup di masa depan. Saat ini kita tidak hidup di masa lalu, membayangkan kenangan terus menerus dan menggenggam yang tiada, menangisi yang pergi, dan menyesali dosa-dosa masa muda. Saat ini kita hidup pada saat ini. Bersyukur atas susah dan senang. Menari bersama irama denting hujan. Meratap bersama tumbuhnya kesewenang-wenangan.Tersenyum merasakan mentari memapar wajah kita sekali lagi. Menangis bersama sakit kita dan sakit mereka, tertawa bersama segala kelucuan semesta. Di sinilah Karma dan Kriya berkawin dalam mahligai damai sejahtera. Dan dengan mampu hidup pada saat ini, sebenar-benarnya kita sudah melampaui waktu dan ruang, kita sudah utuh.
Karma jika pun mengajarkan kita sebuah cerita lain adalah kita yang hidup pada saat ini lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Menurut yang kita nilai sebagai kebenaran. Bahkan jika akhirnya yang kita anggap kebenaran itu akhirnya menjelma kesalahan, waktu akan mengajar kita dengan telaten. Dan jika kita melakukan kesalahan yang tak termaafkan sekalipun, kita masih mengenal pemaafan yang mampu memaafkan yang tidak termaafkan. Demikianlah, kita mengenal Penebus.
D dan D, yang terkasih…
Aku ingat seorang perempuan pernah berkata demikian pada seorang gadis yang lebih muda dalam sebuah kompetisi menari, “Mengapa kau masih sibuk dengan kompetisi ini, Sayang, kau sibuk memikirkan apa pendapat para juri, pada kemenangan dan kekalahan. Berapa nilaimu. Nanti akan bagaimana, bagaimana kalau akan begini atau begitu. Hingga kau lupa pada indahnya tarianmu, pada korsase putih di rambutmu, pada pasangan menarimu yang hadir setiap waktu, Sayang. Kamu tahu, setelah aku memenangkan puluhan bahkan ratusan piala itu, aku kemudian tahu, bahwa menyanyi adalah menyanyi, memasak adalah memasak, hidup adalah hidup. Nikmati saja tanpa beban, just enjoy the show, enjoy the flower on your head. Dan, Sayang, kau akan menari dengan sempurna.”
Gide

LEBIH CEPAT DARI CAHAYA, KEMBALI KE MASA LALU - KISAH MESIN WAKTU

22 Januari 2017

LEBIH CEPAT DARI CAHAYA, KEMBALI KE MASA LALU - KISAH MESIN WAKTU (Surat untuk Sahabat)

D, yang terkasih…

Ada beberapa cara untuk bertamasya waktu ke masa lalu. Bayangkan pergi ke jaman dulu, lantas mengubah masa lalu kita yang buruk sehingga kita tidak perlu melakukan dosa-dosa masa muda kita! Atau kita ingin melihat pesta pernikahan orang tua kita? Mengikuti kuliah-kuliah Einstein dan Newton? Atau menjelajah semesta dan melihat bagaimana peristiwa dentuman besar itu terjadi, asal muasal jagad raya? Siapa yang tidak mau? Bukankah itu terdengar super menggairahkan?

Salah satu cara adalah dengan dengan menjadi Tru Davis dalam Tru Calling. Namun bukankah menjadi Tru begitu membosankan, kita harus melakukan hal-hal yang melulu baik. Jadi baik terus dan gak pernah nakal itu melelahkan! Ehm! Atau kita naik pesawat Star Trek! Bukankah mereka sering mengadakan perjalanan maju mundur waktu di luar angkasa? Kita bisa ketemu Kapten Kirk dan Komandan Spock juga! Ah tapi sayangnya kita tahu, bahwa sains dalam sains fiksi Star Trek adalah yang terburuk. Oh Iya! Doraemon! Tapi lebih baik enggak deh, kita nanti gak besar-besar, jadi anak SD terus, tuh Nobita dan kawan-kawan buktinya. Lalu bagaimana?

Kalau kita setia pada teori relaitivitas Einstein, E=mc2 (2-nya itu kuadrat ya), maka satu-satunya cara untuk kembali ke masa lalu adalah bergerak melampaui kecepatan cahaya! Hanya itu sebenarnya satu-satunya kendaraan kita untuk bertamasya ke masa lalu. Mengapa bisa begitu? Karena semakin kecepatan kita mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan memendek. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya, kita akan sampai pada sebuah kondisi yang namanya singularitas (ini kondisi yang sama dengan kondisi dalam lubang hitam, ajaib bukan). Namun jika kita lebih cepat dari cahaya, waktu akan bergerak ke arah sebaliknya, mundur.

Tapi, D, dan tapi ini adalah tapi yang sangat besar, aku harus mematahkan hatimu, karena hal itu mustahil. Bergerak melebihi kecepatan cahaya itu mematahkan hukum-hukum fisika, terutama hukum utama, hukum kekekalan energi. Bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya bisa berubah menjadi bentuk energi yang lain. Artinya jumlah energi di seluruh jagad raya ini tetap, tidak bisa bertambah atau berkurang. Sebuah hukum fisika patah, maka hukum-hukum fisika lainnya pun akan patah. Jika hukum-hukum itu patah, maka fisika tidak bisa menjadi kendaraan kita lagi, lalu kita naik kendaraan apa?

Memangnya apa masalahnya? Begini, E = mc2, E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya. Semakin kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka massa kita akan menjadi semakin besar. Dan ketika kita sampai pada kecepatan cahaya maka massa kita menjadi tidak terhingga. Jadi jangan percaya dengan Quicksilver dalam X Men: Days of Future Past yang bisa bergerak sambil jilatin kecap di tahanannya Magneto yang beromantis-romantis dengan lagunya Jim Croce, Time in the Bottle. Karena untuk bergerak sedemikian cepat, dia akan menjadi semakin berat. Boro-boro mindahin peluru karet, bawa pantat sendiri saja sudah berat, walaupun dia gak secepat cahaya. Dan untuk sebuah benda bermasaa seperti mesin waktu, atau tubuh kita ini saja, massa yang tidak terhingga pada kecepatan cahaya itu berarti kita butuh energi yang tidak terhingga (infinite). Energi dari seluruh jagad raya pun tidak akan sampai di titik itu. Kok cahaya bisa bergerak secepat itu? Karena walaupun cahaya itu partikel foton, tapi dia juga gelombang. Dan massanya adalah nol. Untuk bisa bergerak sama dengan kecepatan cahaya maka massa kita harus nol. Lah lalu lemak-lemak menumpuk di paha dan perut itu mau dibuang ke mana? Sayang dong, Idul Adha dipotong bisa dapat seratus ribu per kilo loh!

Jadi sampai saat ini, masih sama sekali tidak mungkin kin kin untuk bergerak menyamai kecepatan cahaya, apalagi lebih cepat dari itu. Seandainya pun, kita mengimajinasikan bahwa ada energi sebanyak itu, maka mengikuti kurvanya E=mc2 imajiner, jika kita mampu bergerak 2 kali dari kecepatan cahaya selama satu tahun, kita hanya bisa mundur lima bulan. Jadi berangkat Januari, perjalanan setahun, mendarat dipikir sudah di jaman Dinosaurus, eh ternyata sampai-sampai bulan Juli juga. Ngapain repot-repot, nunggu tujuh bulan juga sama saja. Karena waktu bergerak mundur hanya dengan kecepatan yang sama (satu kali) itu sampai 140 persen kecepatan cahaya saja, sesudahnya semakin melambat). Jadi untuk mundur sampai jaman Jepang masuk Indonesia, kamu butuh lebih cepat ribuan atau jutaan kali dari kecepatan cahaya. Energi dari mana? Mungkin dari nenek moyangmu orang perdukunan. Karena itu dengan hukum fisika, bergerak melampaui kecepatan cahaya itu dilarang (forbidden), itu merusak tatanan semesta.

Bukan hanya itu, berdasarkan keterikatan ruang dan waktu sebenarnya ada masalah besar juga. Jadi kalau menurut Einstein, ruang dan waktu itu adalah entitas yang tidak terpisah. Lebih baik jika kita menyebutnya ruang-waktu. Pada jam 7 kamu di rumah, jam 9 di warung bakso. Maka ruang dan waktu itu terikat. Tidak bisa jam 7 kamu di dua tempat yang berbeda. Karena waktu itu seperti frame film yang bertumpuk-tumpuk. Seandainya kamu bisa kembali ke masa lalu, itu bukan masa lalumu, tapi kamu akan masuk sebuah lingkungan ruang-waktu yang lain, yang disebut dunia paralel. Jadi keluar dari mesin waktumu, alih-alih kamu akan bisa mengubah dosa-dosa masa mudamu, yang adalah kamu akan bertemu dirimu yang lain dalam ruang dan waktu itu. Kamu ada dua. Asek! Gak butuh cermin dong! Sebelum kamu memberi tahu dia tentang dosa yang akan dia lakukan, kamu sudah ditonjok dulu sama dia. Dia berusaha meyakinkan dirinya, “Apakah ini mimpi, tapi kok nyata banget!” Tamasya waktu apa pun akan membawamu pada lingkungan ruang-waktu yang lain. Kayak di film-film gitu, jadi intinya sama aja dong kita gak bisa mengubah masa lalu kita sendiri? Iya! Mentok-mentok cuma bikin masa depan versi dua, versi tiga, dan seterusnya di paralel dunia yang berbeda-beda.

Sebentar-sebentar, D, bagaimana jika kita cukup egois. Sangat egois maksudnya. Semua energi di semesta ini kita kumpulkan kita masukkan ke tubuh kita, lalu kita melesat memakai celana dalam dan jubah merah tidak perlu menyamai kecepatan cahaya. Cukup mendekati saja. Hampir sama dengan kecepatan cahaya. Lah kalau itu mungkin! Dengan energi yang hampir tidak terhingga kita bisa bergerak mendekati kecepatan cahaya. Maka yang akan terjadi adalah waktu akan sangat melambat (walaupun untuk kita yang mengalami kecepatannya tetap, tapi bagi pengamat di bumi waktu begitu melambat). Sampai mendekati singularitas, dan pada singularitas, kita merasa bahwa kita akan terus bergerak. Namun bagi pengamat, kita akan nampak seperti berhenti. Ngefreeze. Kayak kuisnya Djaja Mihardja dulu, “Apaan tuh!” melek sebelah. Kita akan nampak tidak ke mana-mana, tidak ngapa-ngapain, selain cuma diam di tempat kayak cicak nemplok di dinding. Atau kodok terpesona melihat puteri cantik yang mau mencium dia. Mak gragap, kodoknya langsung bangun dari tidur. Eh Cuma mimpi.

Jika kita bukan cicak atau kodok, namun kondisi itu benar-benar terjadi, kita akan mengalami dilasi waktu. Dengan bergerak 90 persen kecepatan cahaya, waktu kita akan cuma separuhnya. Misalnya jam di bumi 10 menit, kita cuma ngabisin waktu 5 menit saja. Bukan hanya itu, kita akan dipusingkan oleh konsekuensi visual kita yang aneh dari dilasi waktu itu. Jadi kamu akan seperti menciut masuk ke dalam sebuah lubang sempit, karena foton di belakangmu juga seolah-olah akan datang dari depanmu. Kamu akan melihat semuanya begitu kecil, dan kamu pun akan nampak sangat mengecil dilihat oleh pengamat. Semuanya akan seperti film Superman. Wuzzz! Dan kamu juga akan mengalami efek dopler yang ekstrim! Cahaya bintang di depanmu akan mengumpul semuanya sangat ramai, lebih ramai daripada seribu pasar malam dikumpulkan, hingga yang ada di depanmu semuanya akan cuma kelihatan biru, yang di belakangmu akan nampak merah. Begitu terang karena cahaya itu ngumpul di ujung lubang yang kamu masuki. Semakin terang dan semakin terang. Dan semakin cepat kamu bergerak, matamu tidak akan bisa melihat cahaya lagi, karena tidak ada panjang gelombang cahaya yang bisa ditangkap oleh matamu. Dari sangat terang, semuanya lantas akan menghitam pekat. Lah, timbang repot-repot gitu, nyemplung aja ke lubang hitam kan sama saja.

Maka, D, yang terkasih...

Hukum fisika memang tidak memungkinkan perjalanan mesin waktu. Mungkin hukum metafisika bisa. Maka daripada bikin mesin waktu. Lebih baik kita belajar dukun saja. Ilmunya pakai nggrogoh sukma. Atau dikasih hati ngrogoh rempela. Tapi seandainya kamu masih memaksa juga mau ke masa lalu, ya sudah aku bisa ngomong apa. Ya aku senang kalau kamu senang. Tahun 1947 saja orang mengatakan mustahil bisa bergerak secepat kecepatan bunyi, buktinya sekarang bisa. Walaupun cahaya sama bunyi itu kecepatannya beda sih, beda dikit cumaan. Kecepatan cahaya itu 299.792.458 m/detik, sedangkan kecepatan bunyi 344 m/detik. Ya bedanya cuma dikit lah, sebelas dua belas.

Jadi mending kita kembali ke kesimpulan kita yang biasanya saja. Bangun pagi dan menikmati embun di ujung dedaunan, merasakan sinar mentari keemasan di kening kita. Memandang berkas-berkasnya dari puncak-puncak pepohonan, sambil merasakan gigil berkat angin pagi yang menusuk tulang. Lalu tersenyum memandang foto orang-orang yang kita taksir tapi tidak sadar-sadar juga. Atau sadar tapi kok ya tidak membalas taksiran kita. Sudah gitu mau kepoin dia saja internet di henpon kita lelet kayak semangka. Gambarnya burem, muter-muter doang. Buffering! Buffering! Ah, daripada belajar ilmu perdukunan buat kembali ke masa lalu, mending kita belajar nyanthet saja. Kita gak dapat dia, dia gak dapat siapa pun.


Sahabatmu, Gide

RAPUH: Tentang Kejahatan dan Kebaikan, Terutama Cinta dan Melepaskan

31 Januari 2017

RAPUH: Tentang Kejahatan dan Kebaikan, Terutama Cinta dan Melepaskan 
(Surat untuk Sahabat)

D yang terkasih,

Di hadapan keluarga yang sedang berduka karena kematian ibu mereka, seorang pendeta mengungkapkan sesuatu yang menenangkan, “Hari ini Ibu telah bersama Bapa di Sorga, dia pulang ke negeri kekal. Negeri di mana mentari bersinar sejuk dan padang rumput sepanjang hamparan mata, Bunga-bunga merah, ungu, hijau, kuning, oranye, biru, putih, coklat bersemi sepanjang hari. Kecil dan besar. Air bergemericik, bening seperti kaca. Di sana kita mendengar suara tonggeret mengerik sepanjang pagi, burung berkicau sepanjang siang, dan jengkerik menjelang gelap. Kunang-kunang berpendar hijau kekuningan, terbang di sepanjang sulur-sulur markisa dan sirih merah. Jambu, rambutan, kelengkeng bersemi di tengah kembang pacar dan bunga pukul empat.” Maka aku berpikir, betapa rapuhnya kehidupan ini.

Sebuah syair lagu yang biasa dinyanyikan ketika kepergian seorang terkasih, “Tiap hari Tuhan besertaku/ diberi rahmatNya tiap jam/ diangkatNya bila aku jatuh/ dihalauNya musuhku kejam/ Yang namanya Raja Maha Kuasa/ Bapa yang kekal dan abadi/ Mengimbangi suka duka dan menghibur yang sedih ... Suka dan derita bergantian memperkuat imanku” Maka aku semakin yakin, betapa rapuhnya kehidupan.

Cinta membuat kuat. Seorang bapak mengatakan kepada anak perempuannya, “Besok ayah belikan. Yang roda belakangnya bisa dilepas dan dipasang. Yang warnanya biru. Nanti bisa kamu naiki ke sekolah.” Seorang ibu memandang anaknya di rumah mereka yang tak lebih dari sebuah petak kecil, lalu berbisik kepada suminya, “Ayo nabung, Pak. Kasihan nanti kalau dia sudah besar. Teman-temannya datang ke sini, belajar kelompok. Lalu dia malu tinggal di rumah seperti ini.” Mereka mencintai, tersenyum, dan berbahagia menyaksikan orang yang mereka cintai tersenyum. Bahagia.

Namun cinta juga membuat kita lemah. Seorang nenek memandang cucu laki-lakinya yang terbaring karena tumor di otaknya. Lalu berbisik dalam hatinya, “Tidak apa-apa! Aku tahu iini dilarang oleh gereja. Tidak seperti yag Tuhan kehendaki. Tapi cucuku akan sembuh. Mereka akan memasukkan penyakit cucuku ke dalam telur. Dan segala penderitaannya akan lenyap.” Seorang perempuan mengiris lengannya, karena suaminya mencintai perempuan lain. Namun upaya itu gagal, lalu dia mengurung dirinya di kamar, tak hendak makan atau keluar. Atau seorang pria yang pernah ditolak ketika dia sudah begitu yakin bahwa gadis itu yang akan menemani hidupnya. Dia lalu sungguh-sungguh memperhatikan penampilannya. Dia berjuang keras menjadi kaya dan terpandang. Dan setelahnya dia menjadi begitu pemilih. Dia menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk orang yang bersamanya. Begitu bertemu dengan yang demikian, dia meninggalkan juga gadis itu. Seorang teman berkata kepadanya, “Karena kamu pernah ditolak, tidak berarti kamu berhak menyakiti orang lain. Kamu dulu seorang korban, dan sekarang kamu mengorbankan. Kamu belum selesai mencintainya, bahkan sampai hari ini.”

D, mengapa cinta bisa yang sama bisa begitu menguatkan, namun juga begitu menjadikan lemah? Sedemikian rapuhkan kehidupan, hingga kita perlu menceritakan kebahagiaan di tengah duka cita?

D yang terkasih,

Ada sebuah cerita tentang seorang petani yang pemalas namun begitu ambisius. Dia begitu ingin menjadi kaya dan berhasil. Istrinya setiap hari bekerja, namun dia tak mau beranjak dari layang-layangnya. Suatu hari dia bertemu dengan hantu pohon bambu. Dan hantu itu menawarkan padanya kekayaan yang tidak habis-habis. Syaratnya dia harus membunuh istrinya. Maka dia pun pulang, dan ketika istrinya tidur, lehernya dipotong dengan parang. Perempuan itu sembat bergelenjat tidak karuan sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Sebelum pagi sempat terbit, dia menguburkan mayat istrinya di bawah rerimbunan bambu. Paginya dia tersedu. Tetangganya bertanya, “Ada apa?” Dan dia menjawab, “Istriku kabur dibawa pria lain.” Orang-orang desa itu kasihan kepadanya. Satu per satu ganti menghiburnya. Hantu pohon bambu itu tersenyum, dan setiap bulan, tumbuh tunas baru dari bekas kuburan istrinya. Dia memotong tunas itu, dan membuat layang-layang darinya. Beraneka warna, beraneka rupa. Orang-orang dari penjuru negeri akhirnya mengenal layang-layangnya, dia menjadi begitu terkenal. Layang-layangnya bahkan dijual sampai ke seberang pulau. Dia benar-benar menjadi kaya. Dia akhirnya punya banyak sekali pekerja. Dan begitu murah hati kepada para pekerjanya, yang dulu adalam pengangguran pemalas sepertinya. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang bos layang-layang dan duda. Dia lalu menikahi seorang perempuan lain, dan mereka memiliki tiga orang anak. Mereka hidup bahagia sampai ajal menjemput mereka kembali. Dan kau bertanya, bukankah itu tidak adil. Dia pembunuh, tapi mengapa dia hidup bahagia dan dicintai? Entahlah, mungkin demikianlah kehidupan. Begitu rapuh.

Atau kisah seorang pangeran yang matanya bisa mengalirkan sungai. DI sebuah negeri nan jauh, terdapatlah sebuah kerajaan yang diserang kekeringan panjang. Begitu panjang, sampai pepohonan mati dan kulit penduduk desa itu bersisik karena saking keringnya. Sang pangeran melihat keadaan negerinya dan menangis. Tidak disangkanya, air matanya membeludak, mengalir seperti sungai dan membentuk danau di alun-alun kota. Dan sepanjang aliran air matanya, tumbuh tunas-tunas muda. Penduduk negeri begitu terkejut sekaligus terpesona. Sang pangeran pun menjadi begitu bahagia. Dia pun berhenti menangis. Hanya sebulan saja, air itu pun menjadi kering kembali. Orang-orang itu melihat kepada sang pangeran, tapi dia tidak lagi bisa menangis. Pada bulan berikutnya orang-orang bergantian bercerita sedih, sang pangeran menangis, dan kembali terbentuk danau di alun-alun. Penduduk bisa kembali hidup. Namun hanya sebulan saja, pangeran menjadi kebas dengan dengan cerita sedih, cerita paling memilukan pun tak membuatnya meneteskan air mata. Akhirnya penduduk desa membunuh adik perempuan sang pangeran. Sang pangeran menangis menjadi-jadi, dan danau itu kembali penuh. Lalu bergantian, adik laki-lakinya, lalu kakeknya, neneknya, istrinya, anaknya, bapaknya, ibunya, semuanya dibunuh. Dan penduduk desa itu memiliki persediaan air yang lebih dari cukup untuk mereka hidup ratusan tahun.

Kau mengatakan mengapa harus ada korban untuk sebuah kebaikan. Mengapa harus patah hati untuk bisa melanjutkan kehidupan. Mengapa menjadi begitu pahit padahal memiliki segalanya. Mengapa kebaikan dan kejahatan harus berkelindan dengan begitu mesra. Aku tidak tahu. Tapi demikianlah yang terjadi.

D yang terkasih,

Mengapa kehidupan begitu rapuh? Sedemikian rapuh hingga kita membutuhkan janji sorgawi atas kematian. Begitu rapuh hingga kita tidak rela kejahatan dan kebaikan sesungguhnya begitu melekat.

Atau jangan-jangan bukan kehidupan, tetapi kitalah yang begitu rapuh, hingga kita membutuhkan karma, hingga kita membutuhkan iman, hingga kita membutuhkan harapan, dan cinta. Karena melepaskan memang tidak pernah mudah. Melapaskan berarti membiarkan diri kita tidak berdaya. Namun kita tak rela menjadi tak berdaya, karenanya jika terlalu berat untuk melepaskan, kita memilih untuk terus menggenggam. Cinta pun menggenggam, karenanya dia menguatkan. Cinta menggenggam, karenanya dia begitu melemahkan. Dan ketika kita begitu kuat menggenggam, semakin kuat kita kehilangan. "Jangan pergi, aku membutuhkanmu." Cinta konon akan begitu. Cinta yang rapuh. Cinta diri.

Lebih mendasar dari mencintai adalah melepaskan. Karena dengan melepaskan saja, cinta menjadi tidak bersyarat, karma menjadi tidak menghukum, iman menjadi bernilai, dan harapan menjadi tidak egois. Hanya dengan melepaskan, kita menghargai arti memeluk.

Dalam pesta pemakaman itu, setelah sang pendeta menyampaikan penghiburannya. Anak-anak bergantian memeluk dan mencium ibu mereka sebelum peti ditutup. Mereka semua bersedih karena cianta mereka begitu kuat. Dan sang pendeta mengatakan, “Saatnya kita melepaskan.” Dan pintu peti pun ditutup.

HANTU ANAK KECIL

28 Maret 2016

Kau bercerita kepadaku tentang seorang anak kecil yang terus mengikutimu. Kau mengatakan tentang polahnya yang selalu bergelayut di pundakmu.

Awalnya kau pikir anak itu lucu. Kau menyayanginya, begitu menyayanginya. Karena sejauh kau ingat, anak itu selalu bersamamu. Ketika teman-teman, saudara, bahkan keluarga datang pergi silih berganti, anak itu tinggal tetap. Kau dulu berpikir bahwa anak itu yang membutuhkanmu, lalu kau mulai menyadari bahwa justru kau lah yang membutuhkannya. Tetapi, benar, semakin merasa dibutuhkan anak itu semakin kurang ajar.

Lalu seiring kau merasakan bergantung kepadanya, dia pun semakin beringas. Dia memakan segala mimpimu, terutama mimpi-mimpi yang kau temukan ketiga terbangun. Anak itu selalu menangis ketika kamu sedang sendirian, kalau sudah begitu kau tidak punya cara selain menenangkannya. Dia rewel, selalu rewel, tapi kau terus berupaya menemaninya. Dan ketika kau berupaya menemaninya semakin dekat, dia justru menusukkan sebilah pisau di dadamu. Bukan darah yang mengalir, tapi kekosongan. Seperti rasa kematian.

Anak kecil itu selalu membawa album foto yang sama. Dia mengatakan itu album foto kepahitan. Dan kau sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, akan sangat berempati pada kepahitan. Kau ikut terlarut dalam deret gambar yang terpampang di sana. Judul-judulnya bahkan memikatmu: sakit, perih, lara, gagal, sepi, sendiri, jatuh, kehilangan, suram, hampa, sekarat, ingin mati. Tidak ada gambar yang jelas, semua buram dan suram. Tapi entahlah kau diam-diam begitu menikmati gambar-gambar di album itu. Dan sedikit demi sedikit kewarasanmu hilang, berganti dengan air mata yang tak habis-habis dari pelupukmu.

Wajah anak itu tidak jelas, katamu. Tapi tidak, wajahnya begitu kentara. Aku bahkan bisa melihatnya dengan sempurna. Anak itu tak berbayangan, kakinya tak menginjak tanah. Pakaiannya kelam dan rambutnya api. Wajahnya, ya itu yang paling mencekam, adalah wajahmu. Setiap kali kau menumpuk kekesalan, penyangkalan, dan kepedihan, pakaiannya semakin kelam, dan rambut apinya semakin bernyala.

Anak kecil itu hantu. Aku tahu itu. Mengapa tidak kau lepaskan?

Tapi ingat, melepaskan anak kecil berbeda dengan melepaskan orang dewasa. Satu-satunya cara adalah berdamai dengannya. Mengatakan kepadanya, "Terima kasih telah menemaniku selama ini, tapi sekarang, aku harus berjalan sendiri. Kau pulanglah! Karena kau adalah cerita yang sudah lalu. Sedang aku hidup pada saat ini, dan mungkin saja ada esok buatku. Sekarang aku punya teman-teman yang lain, mereka yang datang dan pergi. Mereka memang tidak sesempurna kamu dalam menemani, tapi mereka saja cukup untuk saat ini. Dan andaikata aku memang sendirian, aku rasa aku sudah berani." Salamilah dia, peluklah dia. Lalu biarkan dia terbang.

RAMBATAN CAHAYA

1 April 2019

Rambatan Cahaya
Surat untuk Sahabat

וַיֹּ֥אמֶר אֱלֹהִ֖ים יְהִ֣י א֑וֹר וַֽיְהִי־אֽוֹר׃

D yang terkasih, tahukah kau betapa bersyukurnya aku mempunyai engkau sebagai sahabatku? Aku tak akan punya teman untuk berbicara hal-hal ini jika tidak denganmu. Hal-hal yang kita suratkan adalah yang membuatku terus bergerak, membuatku terus merasa bodoh, gila, waras, dan beruntung. Tanpa ini aku tak akan meramu turunan-turunannya yang lebih terbaca. Terima kasihku tak terkira untuk adamu.

Surat kali ini adalah akrobat, khususnya kata-kata. Ada yang ingin kukejar, bukan idiosinkratik - walaupun bisa jadi melapang menjadi begitu - tapi aku sedang menunjuk betapa leganya kemungkinan. Dan sama seperti para pengembara yang berteman unta, para penjelajah semesta yang berkawan teleskop, para petualang yang berkarib peta, para pejalan yang berkanti musik dan hujan, aku pun berkarib kamus dan tesaurus. Dan lihatlah betapa diksi adalah kemungkinan yang jabar. Semakin kita melonggarkan kekang, semakin kaya kita akan keluasan. (Maka percayalah, dari sedemikian banyak suratku, ini yang paling lama memakan waktu, aku sangat berhati-hati memilih kata – selain bahwa aku harus berkali-kali mengecek data demi membatasi ceracau. Sekalipun demikian tak perlu risau, agaknya yang kali ini tak terlalu sulit dipahami.)

Mungkin remeh saja sebabnya, karena kita berbicara (lagi-lagi) cahaya.

Dengan mata telanjang kita bisa melihat Venus dan Mars pada kesempatan yang tak terlalu langka. Tahukah kau kata lain untuk telanjang selain bugil? Mungkin kau tak pernah mendengarnya: loncos dan urian. Maka berani-beraninya ada yang bilang bahwa bahasa Indonesia kita miskin? Bisa jadi kita saja yang tak cukup (mau) tahu, selain yang sudah kita tahu. Kalimat ini tidak kuletakkan di dalam kurung, karena bagiku penting, bersengkarut cahaya. Melihat yang hanya ingin kita lihat adalah kemalasan yang paling takzim, karena kita mendakunya. Maka bukannya kita menyebutnya sebagai Venus atau Mars, kita menyebutnya bintang.

Bintang-bintang ditempa dalam sebuah tungku peraduan, sebuah timangan yang kita kenal dengan nebula: arak-arakan kabut maha jembar gas, debu, dan plasma (kau tahu salah satu yang terbanyak ditemukan dalam nebula: alkohol) yang daripadanya bintang-bintang terlahir. Paling tidak hingga hari ini ada tiga jenis nebula yang kita kenal, nebula emisi, nebula refleksi, dan nebula planetari. Sekalipun demikian, kerumitan ketiganya akan sia-sia saja kita bicarakan untuk surat singkat ini, maka aku akan mengajakmu cukup berbicara mengenai nebula emisi, karena cahaya berasal dari sini. Sekaligus bahwa biasanya masing-masing nebula tidak berdiri terpisah, tetapi yang satu terjadi sebagai yang lain juga (‘terjadi sebagai’ frase yang ganjil, bukan? Tapi aku tak punya kata atau frase lain yang lebih mewakili.)

Nebula emisi memperibuanakkan cahaya pada diri mereka sendiri. Nebula yang terlampau panas bergelung; panas itu sendiri menyiarkan calak cemerlang. Benderang ini bisa saja bintang(-bintang) yang terbentuk lebih dulu karena gelungan kabut sebelumnya, atau sebuah bakal bintang(-bintang) yang kemampo (tidak matang tidak mentah) yang mengionisasi (menghamburkan elektronnya) pada kabut di sekitarnya. Ketika elektron-elektron bebas ini bersatu kembali dengan proton-proton, maka foton pun diproduksi (emitted – emisi). Foton adalah kata lain dari partikel-gelombang cahaya. Demikianlah cahaya jebrol, umumnya pada tahap ini cahaya berwarna merah. Jika gelungan ini terjadi terus menerus dalam waktu yang sangat panjang, sangat panas, dan tak mau menetap, selalu bergerak, dia bisa menggumpal serupa daging lembek. Daging ini memisahkan diri dari timangannya. Lahirlah bintang. Matahari kita adalah daging lembek yang tak mau menetap ini. Massa melahirkan gravitasi, menarik yang bersekitar dengannya, terjadilah tata surya.

Mengapa aku menceritakan peristiwa tidak menarik sekaligus membingung-buncahkan itu? Semata-mata untuk mengungkapkan bahwa tubuh kita pun elektron dan proton (pun neutron) yang tak mau diam tenang. Kita bukan saja (sisa) debu-debu bintang, kita pun bintang yang lain. Kita mungkin tak nampak bercahaya oleh mata kita, semata-mata karena mata kita hanya bisa menangkap cahaya dalam frekuensi yang terbatas, tapi gunakan kamera termal, kita bercahaya. Maka ketika ada yang bilang, “D, wajahmu hari ini sangat bercahaya!” itu bukan sekadar karena kau berseri-seri, tapi karena kau memang memancarkan dan memencarkan cahaya. Lihatlah, sesuatu yang sangat afektif, ternyata berdiametral dengan yang sangat empiris kognitif. Mengapa kita berani bilang satu lebih tinggi dari yang lain? Mabuk! Kita adalah proses yang tak selesai, dan demi kemanusiaan, aku akan menambahkan, aneh sekali jika kita lalu berputus asa. Keputusasaan bukankah menafikan realitas kita yang paling ontologis?

Cahaya memampukan kita melihat {dan kali ini aku harus mengingatkan, selain ada cahaya, juga ada kegelapan, paling tidak yang kita ketahui di semesta sementara ini adalah baru dark energy, dark matter, dan lubang hitam – sekalipun kita tidak akan berbicara mengenai kegelapan saat ini, tapi kita perlu awas bahwa berbicara tentang yang satu, adalah juga mengatakan yang lain ada – sampai dengan hari ini sayangnya bahasa matematika masih biner 0 dan 1. Cahaya dan gelap. Sekalipun kita sudah bisa menemukan yang tiga dimensi dengan adanya sumbu x, y, dan z (dan mungkin sekali tak cuma tiga, bisa jadi lebih banyak dimensi [oh, betapa sombongnya kita yang merasa banyak tahu ini] yang belum dijelajah). Hal tersebut semata-mata menunjukkan bahwa pengetahuan kita masih jauh dari selesai. Lihatlah ketololanku, satu paragraf ini hanyalah sebuah kalimat, selebihnya adalah anak yang beranak-pinak}.

Demikianlah mengapa cahaya menjadi begitu penting. Jika kau tak sedang bersinar, bukankah orang menganggapmu tiada. Namun, ketika kau bersinar, kau ada di sana. Kau, aku, kita ada karena cahaya. Mereka ada karena cahaya. Cahaya memberikan kita sewajah cerita (karena ada kisah-kisah yang dituturkan dalam gelap, dan beberapa yang terindah dituturkan dalam pekat – sebutlah Wijaya Kusuma yang masyhur itu).

Sedemikian penting cahaya, hingga abad ke-20 sebelum era bersama (before common era – dulu kita mengenalnya dengan sebelum Masehi, tapi kau tahu kenapa aku tidak memakai lagi nama itu, terlalu Kristen), tersebutlah di Thebes penyembahan pada Amun-Ra, dewa dari segala dewa, dewa matahari. Dinasti kedelapan belas Mesir Kuno (1500an – 1200an SEB) membangun sebuah kuil yang masih bisa kau singgahi hari ini, Kuil Karnak. Menjelang akhir Desember, kau akan melihat sang dewa terbit persis di pintu utama kuil tersebut, terus menanjak hingga di puncak kepalamu, lalu terbenam di punggungmu. Tidak setiap saat begitu, karena poros bumi kita yang tidak jejeg – matahari pun kadang bangkit miring, tenggelam menyerong. Mungkin memang pada sebuah masa, matahari sang pembawa cahaya itu pernah menjadi yang tak terbantah, tapi bagi kita hari ini, ketimbang sang puncak, dia lebih baik kita lihat sebagai sang pembawa pesan, malaikat. Bintang-bintang adalah malaikat-malaikat bagi sebuah pesan tak terperi: cahaya.

Cahaya adalah pesan paling lawas yang mampu berdeging hingga masa kini. Dalam pesannya, dia membawa cerita tentang hampir segalanya – termasuk tentang ketiadaan cahaya. Salah satu pesan yang paling istimewa adalah: waktu. Tanpa cahaya, kita akan buta waktu.

Maka kita berhutang pada Galileo – yang pernah diadili oleh gereja kita yang sering bebal ini (tapi bukan hanya gereja, para filsuf Aristotelian juga selalu berkonfrontasi dengannya), tapi juga pada Ole Rømer. Awalnya Galileo menemukan bahwa Jupiter memiliki sebuah satelit, Io, yang mengelilingi induk semangnya setiap 42 jam setengah. Namun, Rømerlah yang mencatat dengan saksama bahwa ternyata bilangan 42 setengah itu tak selalu presisi. Pada bulan-bulan tertentu lebih cepat, pada bulan-bulan lain lebih lambat (lihatlah, betapa ada orang yang sedemikian kurang kerjaan, mengamati lamanya lintasan orbit sebuah satelit pada sebuah planet). Perbedaan itu bukan terjadi karena orbit lintasan Io pada Jupiter yang berubah-ubah, tetapi justru revolusi kita pada mataharilah yang menyebabkan perubahan itu. Pada bulan-bulan tertentu, kita berada di belakang matahari sehingga jarak kita pada Jupiter lebih jauh. Pada saat itulah Io muncul lebih kemudian. Tetapi ketika jarak kita dan Jupiter lebih mesra, karena kita berada di antaranya dengan matahari, maka semakin bergegaslah Io. Apa yang dia temukan? Benar, D! Cahaya memiliki kecepatan. Cahaya butuh waktu untuk merambat dari Io menuju mata sang Rømer. Cepat rambat cahaya membuat Io kadang nampak lebih acap, adakalanya lebih ayal. Dan sejak saat itulah kita mengukur berapa kecepatan (rambat) cahaya.

Di bumi, karena jarak – dari sudut pandang kosmik begitu dekat – maka rambatan cahaya itu begitu instan, hingga tak mampu kita persepsi. Namun dalam jarak yang lebih panjang – dalam artian lebih panjang dari yang mampu kau pandang dan perkirakan – rambatan itu menjadi lebih profan.

Aku tak akan menggunakan angka yang sulit dibaca dengan mudah itu, aku akan menggunakan bilangan yang lebih prasaja: 300.000 km/detik. Itulah kecepatan cahaya yang kita ketahui hari ini. Jika matahari berjarak 150 juta kilometer, maka berapa waktu yang dibutuhkannya untuk menyampaikan pesan cahayanya ke bumi? Ah tak perlu bingung menghitung. Delapan menit. Cahaya matahari yang kita lihat hari ini, sejatinya adalah cahaya yang dipancarkannya delapan menit yang lalu. Sehingga jika kau tinggal di matahari dan aku tinggal di bumi, lalu kita bisa berkontak batin instan, ketika matahari meledak, aku masih punya waktu delapan menit untuk bersembunyi. Tapi karena saat ini gelombang dan partikel yang tercepat masih cahaya, kita butuh mujizat untuk itu.

Salah satu penemuan Hubble yang ternama terjadi pada tahun 2004: Hubble Ultra-Deep Field. Hubble membutuhkan waktu selama 11 hari untuk menangkapnya supaya cukup cerlang. Artinya 11 hari tersebut dia menangkap obyek yang sama terus menerus, tanpa bergeser. Apakah yang ditemukannya? Sebuah sumber cahaya yang sangat sangat sangat kecil di antara Orion. Cahaya itu berasal dari galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya. Artinya cahaya yang diterima oleh Hubble itu memancar dari sumber 13 milyar tahun yang lalu, sebelum masa dinosaurus, sebelum bumi lahir, sebelum terjadi benturan antara Theia dengan proto bumi dan membentuk Bumi dan Bulan. Sebelum bapak dan ibumu memikirkan akan menghadirkanmu ke dunia ini. Entahlah apakah hari ini galaksi itu masih ada. Tapi cahaya menyampaikan pesan yang baru kita terima hari ini: galaksi sejauh 13 milyar tahun cahaya itu (pernah) ada.

Apa yang hendak kukatakan? Hal-hal yang kita lihat melalui cahaya, sejatinya selalu masa lalu. Rambatan cahaya itu sampai di sebuah benda, benda itu memantulkan cahaya ke mata kita, kita menangkapnya. Ketika kita menagkap pantulan cahaya itu, benda yang kita lihat sudah bukan yang memantul tadi. Itu sudah masa lalunya. Apalagi jika kita melihat sumber cahaya. Segala yang kita tahu sudah usang. Kita tak tahu masa kini sejatinya bagaimana. Segalanya adalah sepersekian detik hingga seberjuta tahun yang lalu. Cahaya merambat, dan rambatan itu membuat kita tak melihat yang sedang terjadi pada masa yang kita sebut sebagai kini. Kini adalah sebuah realitas yang semata kita persepsikan. Semata itu. Kita hanya tahu kini sesudah kini menjadi lampau.

Hal ini serupa kita menatap cahaya matahari yang putih itu. Anggaplah putih itu yang kau persepsikan selama ini. Kau tahu bahwa sebenarnya putih itu adalah deret gradasi dari merah hingga ungu yang tak terbatas, kau tahu itu sejak jaman SD. Kita hanya melihat putih karena sama seperti bagaimana kita menggunakan kata-kata, kita tak (mau) cukup tahu. Kita hanya tahu apa yang mau kita tahu, yaitu putih. Padahal sejatinya putih itu terlalu sepele dibandingkan berbagai gelombang yang bisa kita tangkap dalau uraiannya. Prisma cahaya akan membantuk kita untuk mengerti lebih teliti betapa minimnya yang mampu kita ceritakan.

Inilah mengapa aku mengatakan bahwa surat ini begitu penting bagiku, bahkan aku harus mengirimkan prasurat sebelumnya kepadamu. Kita selalu berpikir bahwa masa depan adalah persepsi, tetapi nyatanya masa kini pun sejatinya adalah persepsi. Yang kita miliki adalah semata-mata tangkapan kita atas yang telah lalu. Lihatlah senjang ini, D! Kita hidup di masa kini, tetapi sejatinya – di dalam cahaya – segalanya yang kita ketahui, segala pengetahuan, segala kelihaian, segala cerap kita adalah tentang yang telah lalu. Namun di sisi lain, pengetahuan kita tentang sumber cahaya di masa lalu, mulai dari nebula hingga Hubble Ultra-Deep Field pun, nyatanya sangat terbatas. Kita hanya melihat dari alat yang kita gunakan: kamus dan tesaurus. Dan sekaya itu pun kamus dan tesaurus, itu pun tak mampu menerjemahkan segala jejalan yang ada dalam benak kita. Sehebat apa pun bahasa, segalanya terbatas. Bahkan dengan alat bantu pun kita masih cacat. Ketika yang bisa kita pegang adalah sekadar masa lalu, ternyata kita pun hanya meliaht masa lalu seperti melihat warna putih. Padahal masa lalu bisa saja terdiri dari banyak warna yang tak mampu kita jajarkan dari ujung ke ujung.

Tentu aku tak hendak mengatakan bahwa kita tak mencapai apa pun. Tapi capaian kita sejatinya baru sampai pada yang telah lalu. Ketika aku dan mungkin orang lain mengatakan, “Live your life today, because present is a gift” sebenarnya tak benar-benar akurat. Karena kita tak sungguh-sungguh tahu tentang apa yang sedang terjadi.

Aku tidak akan menyerah, sekalipun bagian berikut ini tak akan begitu kuat. Demikianlah aku akan kembali pada pembukaan surat ini tentang akrobat kata-kata. Lihatlah kreativitas yang mungkin dibuat dalam keluasan yang serba mungkin. Anggaplah keluasan itu sebagai kemungkinan dalam terang (sadarkah kau aku baru menggunakan kata ini sekarang, padahal dari tadi aku berbicara tentang cahaya, aku sengaja melakukannya karena terang selalu memiliki lebih banyak makna konotatif ketimbang cahaya, maka apa yang hendak kukatakan berikut ini lebih konotatif dari yang sebelum-sebelumnya, dan karenanya aku tak berani bicara berpanjang-panjang lagi). Segala kemungkinan dalam terang adalah segala kreativitasmu dalam menanggapi – bahkan mencipta – berbagai persepsi, termasuk dari yang belum pernah digunakan sebelumnya. Betapa indahnya kreativitas dan betapa berharganya dalam berhadapan dengan hari ini. Lalu apakah takdir, dalam nuansa demikian tak ada takdir, kau menentukan ke mana kau akan mempersepsikan terangmu hari ini. Takdir adalah batas untuk membatasimu supaya kau tidak sombong. Dan seperti cahaya kau sejatinya tak berbatas. Tidak! Kau tidak sombong! Bahkan ketika kau membuang takdir, kau tidak sombong. Sama sekali tidak. Tentu tulisan ini bukan tentang takdir, karena sudah terlalu banyak tulisan tentang itu. Bagiku, yang tahu sempit dan terbatas ini, surat ini adalah tentang dalam terang, kau adalah segala kemungkinan tanpa batas.

Lihatlah, sekali lagi aku akan kembali pada pembukaan suratku ini, betapa berbahagia aku memilikimu sebagai sahabat.

Sahabatmu,
Gide

PS: Aku tak ingin menarikmu mundur. Namun sungguhlah ingat, kita baru berbicara tentang cahaya, kita belum melihat wajah sebaliknya - dan beberapa yang terindah lahr dalam pekat.

PPS: Maafkan aku, kau mungkin berpikir bahwa seharusnya surat ini lebih panjang dari ini, sebagaimana kubilang sebelumnya. Ya, aku harus memotong banyak sekali bagian surat ini, banyak yang mungkin akhirnya harus direlakan tak tersampaikan, salah satu yang paling menarik yang terpaksa harus dibuang misalnya tentang foton, juga tentang gradasi warna. Namun, percayalah hal-hal yang paling mendesak, sudah terwakili. Biarlah yang belum menjadi cerita untuk lain kali.

KELAM

8 April 2019

Kelam
Surat untuk Sahabat
D, yang terkasih, surat ini akan begitu panjang. Ambillah tempat yang nyaman. Beberapa bagian surat ini mungkin akan membingungkan, selebihnya ...

Kelam menakutkan, karena dalam kelam kita tak bisa melihat. Mata telah menghadirkan cerita-cerita paling penting dalam hidup kita, bahkan mata sendiri telah menjadi cerita yang paling penting (bukankah dalam surat sebelumnya, sebuah kata perintah yang terus menerus kugunakan hanya sebuah, adalah ‘lihatlah’?). Namun, ternyata mata juga yang dianggap membawa kita pada dosa-dosa paling tonjol. Dia sendiri dan yang dibawanya kemudian. Dengan mata kau jatuh cinta, dengan mata kau terluka dan merela jatuh pada tujuh dosa mematikan. Mata adalah taruk.

Sebagai taruk, mata adalah kesadaran. Atau jika pun tidak sadar, itu ketaksadaran yang ditengarai dan dikenal. Sebutlah rasa malu, sekalipun kau menyembunyikannya dari terang, kau tahu di mana dia bersemayam. Dalam pengenalan oleh mata, oleh cahaya, bahkan yang paling redup sekali pun, kau adalah sebebas-bebasnya segala kebebasan. Dan atasnya kita membangun sebuah kebanggaan – benar kebanggaan – yang kita sebut dengan kontrol.

Namun, ketika kau menutup matamu dan mengijinkan dirimu melayang-layang, maka kau segera terhambur dalam semesta yang binal. Dan sejauh yang ku tahu, jika pun ada pintu kepadanya, kita hanya bisa merasukinya melalui iklhlas dan lupa. Kelam adalah ketika bertemu dengan segala roh dan hantu yang mengucur. Dan mungkin juga yang terlalu akrab kita kenal sebagai Tuhan. Bertemu Tuhan dalam terang adalah kemustahilan kecuali dia sedang berinkarnasi atau mewujud materi. Ketika tidak, maka dia bersemayam dalam alam yang lain, kelam. Jangan kaget, lagi-lagi aku harus mengatakan kepadamu, kita hanya bisa merasukinya melalui Ikhlas atau lupa. Tentu ada Tuhan yang lain, yang memancarkan cahaya. Serupa bintang. Namun sejak kita menolak matahari sang bintang tata surya adalah Tuhan, sanggupkan kita mempertahankan Tuhan yang demikian?

Kita pernah bercerita tentang lubang hitam yang adidaya. Sedikit sekali kala itu, berkelitkelindan dengan supernova yang memekakkan. Kali ini aku tak akan berbicara tentangnya. Aku akan berbicara tentang kelam yang lain, yang lebih memukaukan, aku akan membawa kita tamasya pada dark matter dan selanjutnya aku akan menuju bagian paling mengerikan, dark energy.

Bukan, D, dark matter bukan sembarang gelap. Bukan malam yang kau nikmati di Alun-alun Selatan bersama kitiran aneka warna yang diumban ke angkasa dan mencipta gerak memutar serupa biji mahoni. Dark matter bukan juga kaus hitammu. Kau tak bisa melihat dalam gelap karena tak ada cahaya, tak ada yang memantulkannya. Warna hitam dalam kausmu adalah susunan atom yang membentuk materi, namun karena hitam, dia menyerap cahaya. Kaus hitammu adalah normal matter, materi biasa. Materi biasa mampu memantulkan cahaya atau menyerapnya. Dark matter justru tembus cahaya. Cahaya dapat melaluinya begitu saja tanpa terpaksa. Tanpa berkurang kecepatannya. Jadi alih-alih dia memusuhi cahaya, dia berkawan. Atau jika berkawan kau anggap terlalu berlebihan, dia mengikhlaskan cahaya. Bukan hanya cahaya, tetapi segala gelombang elektromagnetik, termasuk gelombang radio dan sinar gamma. Jadi sebenarnya ketimbang disebut dark matter, mungkin lebih tepat kita menyebutnya invisible matter.

Sampai di sini, bukankah kita guyah? Selama ini kita berprasangka bahwa terang akan berhadap-hadapan dengan gelap sama tingginya. Namun kita sering lupa, tidak melulu gelap, ada juga invisible. Sejak ini ingatlah – jika tentang cahaya aku menggunakan kata lihatlah, maka kali ini aku akan menggunakan kata ingatlah – bahwa dualitas akan kelu ketika diperhadapkan pada keluasan semesta. Bukankah juga kita sering menyebut kelam bukan pada hal-hal yang menakutkan, tapi lebih pada perkara-perkara yang tak mampu kita ketahui dengan pasti. Betapa anehnya di tengah segala pengetahuan kita yang sedemikian terbatas, lalu kita mendakukan kepastian, ketika ketidakpastian begitu hablur. Kau tidak terima? Marilah mengikhlaskan, atau kita tak akan bertanya lagi, karena mengikhlaskan bukanlah menghentikan segala pertanyaan, mengikhlaskan justru merelakan kita masuk dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah kita tanyakan sebelumnya. Seperti pertanyaan berikut: bagaimana mungkin kita bisa tahu dark matter ada jika cahaya pun meluputkannya?

Marilah berbicara sesuatu yang kita lupakan dari gravitasi. Gravitasi memampukan kita melekat pada sebuah obyek bermassa. Bahkan cahaya pun dibelokkan olehnya. Gravitasi meletakkan kita di atas (on) bumi dan bulan. Semakin kuat gravitasinya, semakin kuat kita melekat. Tata surya ditarik sedemikian keras oleh otot gravitasi matahari yang pejal, menjadikan kita tak lepas darinya. Yang kita lupa adalah jarak, jika memang gravitasi menarik kita seperti kemelekatan kita pada bumi, lalu mengapa dengan gravitasi matahari yang sedemikian gagah, kita justru tak melekat padanya? Kau dan aku masih bisa berjemur di bawah sinar mentari pagi, mendapatkan vitamin yang cukup untuk menguatkan tulang belulang kita. Kau tahu sekarang aku bicara apa, kan? Ada yang tidak masuk akal, yang jarang kita bicarakan ketika kita berbicara gravitasi, sesuatu begitu saja kita ikhlaskan. Mengapa jarak itu terjadi? Karena ada materi lain yang menjejali, menghadirkan gravitasi dalam gravitasi. Materi itu nirmassa, sehingga gravitasi yang timbul menjarakkan kita dengan matahari. Ingatlah, kau masih hidup hari ini berkat jarak itu.
Namun ada hal lain yang membuktikan keberadaannya, gravitational lensing, dan ini sangat erat kaitannya dengan cahaya. Einstein memunculkan teori ini bersama dengan teorinya tentang gravitasi. Kali ini mungkin akan sedikit rumit. Menurut Einstein, alih-alih gravitasi adalah adalah sebuah energi yang menyerap segala hal ke dalam sebuah obyek, gravitasi justru adalah lengkungan dalam kurva semesta yang muncul karena benda bermassa mengisinya. Gravitasi tidak menyedot, tapi gravitasi melengkungkan ruang di sekitarnya menuju sang benda bermassa. Menariknya begini: ketika kita melihat sebuah galaksi nun jauh di sana, yang berada di balik sebuah galaksi yang lain, seharusnya galaksi nun jauh itu tak nampak lagi karena tertutup oleh galaksi yang berada di depannya. Tapi lensa kita justru masih bisa menangkapnya, membentuknya serupa titik-titik melingkar yang menyekitari galaksi yang ada di depan kita. Kita pun masih bisa menatap galaksi yang berada di belakang galaksi tersebut. Maka dengan teori gravitasi Einstein, seharusnya ada materi lain yang mengisi ruang di sekitar galaksi di depan mata kita, yang gravitasinya mampu membengkokkan cahaya dari galaksi belakang tersebut. Anehnya lensa kita tidak menangkap benda tersebut. Lalu bagaimana kita bisa melihat galaksi nun jauh di sana itu? Sejauh ini, satu-satunya kemungkinan dalam ilmu pengetahuan kita – kecuali bahwa teori gravitasi Einstein keliru, dan e=mc2 (kuadrat) itu kita hempaskan saja – ada materi tak bermassa dan tak nampak di kegelapan yang membengkokkan cahaya tersebut, sehingga gravitasinya menyebabkan galaksi nun jauh di sana bisa tetap kita lihat. Dark matter.

Ada hal lain yang bisa membuktikan keberadaannya, kolisi antar galaksi dalam satu klaster. Tapi sudahlah, kita melewatkannya saja, daripada terlalu banyak beban yang harus kita tanggung dalam sepucuk surat.

Apakah dark matter ini? Tak ada yang tahu. Tapi ketika kita menghitung big bang – ya, kita bisa menghitungnya sekadar dari cahaya yang memencar dari pusat 13,7 milyar tahun yang lalu itu – maka kita akan menemukan bahwa materi bermassa, yang kita sebut sebagai atom, yang membentuk kita dan juga bintang-bintang, ternyata jika pun dijumlahkan ternyata hanya 15 persen dari seluruh materi yang memencar dari big bang itu. Ke mana 85 persen massa yang hilang? Mereka menjelma dark matter (pada titik ini ingatlah aku baru mengatakan massa, bukan energi, maka kita belum berurusan dengan hukum kekekalan energi).

Kau mungkin bertanya, bagaimana para ilmuwan bisa begitu yakin pada angka 15 dan 85 itu? Sebenarnya tidak ada tahu angka persisnya. Yang jelas di antara 70 – 90an persen massa yang ada adalah dark matter. Mengapa begitu yakin? Jawabannya bisa sangat panjang, karena kita harus menjumlahkan berbagai macam temuan fisika mulai dari pola kurva yang muncul dalam rotasi sebuah planet atau galaksi, juga dari hasil pemindaian Hubble atas Cosmic Microwave Background, namun ada satu yang akan segera kita ingat. Gravitasi, D. Lagi-lagi gravitasi. Jika tidak ada dark matter, maka tidak mungkin ada gravitasi yang menjaga semesta kita menjadi serupa sekarang. Dan gravitasi dari segala atom jika dikumpulkan pun tak akan mencapai sepertiganya. Tidak mungkin segala benda di penjuru semesta akan membentuk konstelasinya seperti sekarang, bergerak seperti sekarang, atau pada suatu waktu berdiam pada posisinya yang sekarang jika hanya mengandalkan pada gravitasi materi-materi yang bisa kita tangkap dalam cahaya. Ya, kita tak bisa melihat dark matter, tapi kita bisa merasakan kehadirannya melalui gravitasi, hanya itu. Selebihnya kita buta. Hawking bahkan pernah membuat teori tentang dark matter dalam kaitannya dengan lubang hitam primordial, tapi para peneliti dari Kavli Institute di Jepang yang melibatkan para peneliti dari Princetown, Jepang dan India menemukan kekeliruan dalam teori Hawking. Bayangkan sedemikian butanya kita, sampai seorang seperti Hawking pun keliru. Sedemikian kelamnya.

Kau ingat ketika tadi aku baru mengatakan tentang massa? Maka kali ini aku akan bergerak menuju energi: dark energy. Aku akan singkat saja, karena bahasan ini lebih kelam daripada daripada dark matter, kebodohan kita lebih akut di sini. Kita tak tahu banyak hal kecuali menduga – dan apalagi cara terbaik untuk menerima dugaan kecuali mengikhlaskan (ikhlas yang membawa kita pada pertanyaan)?

Kau pernah meniup sebuah balon? Mungkin engsel rahangmu akan kelelahan ketika kau harus meniup beberapa balon untuk acara sekolahmu. Lalu kau akan kesal dan menyerahkannya kepada guru-guru yang lain atau murid-muridmu. Bayangkan bahwa peristiwa semesta sejak big bang seupa itu, ada suatu kala ketika semuanya begitu kecil, balonmu belum kau tiup. Ketika udara mengisi balonmu, maka dia akan mengembang. Maka gambaran kita tentang peristiwa setelah big bang adalah demikian, segalanya terpencar. Titik-titik putih di permukaan balon menjelma Donald Bebek atau Mickey Mouse, semakin besar seiring menggelembungnya balonmu. Itulah ketika segala galaksi memencar. Sama seperti balon, kita membayangkan bahwa setelah sekian tahun big bang terjadi, semesta kita akan mencapai titik terbesarnya dan kemudian kembali mengempis ke ukuran balonmu serupa.

Namun salah, sama sekali salah! Seharusnya karena semesta semakin membesar, maka kecepatan pencarnya akan semakin turun dan turun hingga dia berada di titik optimal. Tapi ternyata tidak demikian, yang terjadi hari ini justru adalah kecepatan pencar semesta semakin besar. Alih-alih ada sebuah titik optimal, yang terjadi justru dengan kecepatan yang semakin besar semesta ini terus dan terus memencar. Bagaimana mungkin? Hal ini terjadi karena ada energi yang lebih besar yang memencarkan semesta kita ketimbang mengikatnya dan mengoptimalkannya. Dark energy. Dark energy ini mendorong galaksi semakin berjatuhan satu sama lain. Kita bahkan tidak yakin lagi bahwa suatu saat mereka akan menyatu kembali, mungkin mereka akan memecah belah karena tidak ada lagi gravitasi yang mampu mengikat mereka. Gravitasi dari dark matter tidak, apalagi gravitasi dari materi-materi yang nampak.
Mengamati kecepatan pemencaran yang semakin laju, arah yang semakin menjauh, dan segala hal lain di semesta kita kemudian tahu. Energi terbesar yang lahir dari big bang justru tidak menyatukan, mengeratkan, tetapi memencarkan. Energi ini jauh lebih besar dari seluruh gravitasi dan energi apa pun yang ada di semesta yang telah kita amati sejauh ini. Dengan segala perhitungan, para ilmuwan ini mendapatkan angka. Big bang menghasilkan hanya 4,6 persen atom yang menyusun semesta yang bisa kita amati dengan mata, 24 persen dark matter, sedangkan 71,4 persen sisanya adalah kekuatan yang memencarkan kita ini, dark energy. Bagaimana akhirnya jika kita ternyata tidak pulang ke rumah dari mana kita berasal? Tetapi justru hilang terhempas tak tentu arah? Untuk apa segala perjuangan yang kita lakukan selama ini?

Maka aku memberanikan berkata begini, mengingat kelam akan membawa kita pada sebuah kesempatan ketika segalanya bermula, big bang. Bukankah pertanyaan dari mana kita berasal menjadi salah satu permasalahan paling pelik dalam filsafat, dalam agama, bahkan dalam kehidupan seseharimu. Karena dari mana kau berasal akan memberikan alasan mengapa kau sekarang ada di sini. Ketika kau tahu dari mana kau berasal maka kau akan tahu ke mana kau menuju. Maka dari sana hidupmu akan memiliki makna. Bukankah kita manusia karena kita selalu memakna. Dan tanpa mengetahui dari mana kita berasal, dan ke mana kita menuju, maka kita hanya menjalani hari-hari begitu saja tanpa tujuan.

Bayangkan, dari 4,6 persen semesta yang bisa kita amati, kita baru mengetahui sangat sangat sangat sedikit. Itu pun mungkin baru di sekitar bumi dan sedikit sekali tentang tata surya. Pengetahuan kita yang kita pikir begitu menandak-nandak itu ternyata tak lebih dari sejumput hitam di kukumu. Selebihnya kita takt ahu, D. Selebihnya kita hanya menduga. Maka beranikah kita memegang segala kepastian yang selama ini kita yakini dengan sungguh-sungguh?

Dark matter mengingatkan kita bahwa kita memiliki penjaga yang tak nampak. Yang membuat kita berjarak dari sang bintang yang mampu membakar kita. Selama ini kita abai, kita lupa, karena kita yakin bisa mengerjakan dan mengukur segalanya secara deterministik. Lalu kita mengingat cerita itu: Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung. Kita punya ukuran untuk segala-galanya, bahkan kita bisa mengukur cinta dan kesetiaan. Kita punya indikator-indikator dan variable-variabel yang membuat kita terus menjalani hidup kita setiap hari. Kita bahkan membangun rencana serba teliti. Kita yakin bahwa kita bisa bebas sebebas-bebasnya. Namun apakah segalanya itu dibandingkan misteri yang kita tak pernah kita anggap ada. Bahkan kadang terhadap misteri pun kita punya ukuran-ukuran serba tertentu. Kita punya ukuran bahwa yang mistis itu seperti ini, sufi itu seperti ini, hantu itu seperti ini, setan itu seperti ini, tuhan itu seperti ini, hidup itu seperti ini. Bagaimana mungkin sekarang kita bisa yakin dengan segala ukuran yang kita buat hanya dalam secuil hitam di kuku kita itu? Bahkan jika pun kita begitu kreatif, sekreatif apa kita berhadapan dengan segala hal yang tak nampak, yang serba kelam. Yang sedemikian rungkup itu?

Dan yang paling menyakitkan mungkin adalah tentang ke mana kita akan menuju. Kita bahkan tak tahu apakah kita akan kembali pulang atau menghempas. Maka kita bisa jadi kehilangan segala cerita tentang rumah yang hangat yang siap menerima anaknya pulang setelah menghabiskan uang bapaknya dengan para pelacur dan makan dari ampas babi. Kita tak yakin bahwa akan ada rumah bagi yang menjaga cinta dengan setia. Kita tak yakin akan ada kerajaan seribu tahun setelah segalanya pungkas. Kita bahkan tak tahu apakah segala moralitas, kesetiaan, kepatuhan, dan cinta itu sungguh bermakna. Segala pengetahuan kita tentang harapan adalah sebuah lagu nina bobok dalam menghadapi ketakuatan kita pada sebuah akhir yang tak menentu. Relasi yang kubangga-banggakan ternyata hanya sebuah jalinan sementara yang akan hilang bersama meluruhnya gravitasi. Senyata-nyatanya kita tak tahu.

Mengapa kita menolak gentar? Mengapa kita menolak takut? Atau itu hanya sebuah cara kita untuk melupakan. Dan melupakan adalah kemustahilan, karena ketika kita mengatakan melupakan, maka kita tak akan pernah lupa. Kita justru menghadirkannya.

Bagaimana? Kau masih yakin dengan sesuatu? Kau tidak terima bahwa hidupmu dan orang tuamu senyata-nyatanya tak punya tujuan? Ternyata hidupmu hanyalah sebuah percik di tengah sejarah semesta yang bahkan tak memihakmu? Apakah segala nilaimu masih mampu menyelamatkanmu? Masihkah segala nalar dan rasamu mampu bertahan? Masihkah kau bisa tersenyum?
Ikhlas mungkin, lepas bebas … atau mungkin itu pun bukan. Mengapa kita – diam-diam – begitu mendamba ‘menemukan’ dan tak rela berhadapan dengan ‘hilang dan terhempas’?

Ah, ingatkah kau kala itu, ketika aku mengatakan “Yang terindah kadang justru hadir dalam pekat?”

SELIMUT TETANGGA (1)

28 April 2019

Selimut Tetangga (1)
Surat untuk Sahabat

D, yang termaram, berbeda dari biasanya, suratku kali ini akan menjadi sebuah trilogi, dan ini adalah bagian pertamanya.

Hari kedua, Allah menggubah cakrawala. Selimut. Allah menarik garis batas antara air atas dan air bawah. Tentu kita tahu, sekarang maklumat serupa itu terdengar serasa omong kosong belaka. Menyaru entah dengan seolah. Tak ada air bertengger di atas cakrawala. Sekiranya ada awan yang masih berkitaran di statosfer, dia tak pantas disebut mega, dia gegana: awan stratosferik kutub (PSCs). Kau tahu kerjanya apa? Membolongi ozon.

Pernahkah kau menonton Angels in America, D? Sebuah pertunjukan teater yang adi. Aku tidak. Aku hanya membaca naskah lakon tersebut di Scribd (tidak berakhir tuntas) dan menonton serialnya tahun 2003 di HBO - beruntunglah serial berkerlip maha bintang itu sangat apik. Dalam lakon itu, diberitakan bahwa sejak tahun 1985 (dan info ini sahih) beberapa ilmuwan melaporkan penipisan ozon di Antartika. Seorang tokoh, Harper Pitt, yang mengalami ketidakseimbangan emosional hingga memiliki waham, menolak untuk diajak oleh suaminya ke Washington, karena dunia di luar rumah dianggapnya tidak aman. Laporan itu tepatnya disampaikan dalam sebuah jurnal saintifik Nature. Ditulis oleh J. C. Farman, B. G. Gardiner, dan J. D. Shanklin. Namun ketika itupara ilmuwan tak mengetahui persis penyebabnya, mereka hanya tahu dampaknya pada makhluk dan mencairnya es di kutub.

Namun sebenarnya, sejak tahun 1972, dua orang ilmuwan dari University of California, Mario Molina and Sherwood Rowland, telah mengudar sebuah temuan, yang juga diterbitkan dalam jurnal Nature, bahwa penyebab penipisan ozon adalah CFC. Mereka mendapatkan Nobel di bidang kimia pada tahun 1995 karena pernyataan mereka bahwa ozon sebenarnya memiliki daya tampung beban yang tidak tak terbatas atas klorin.

Sebentar, kau mungkin bertanya, apa hubungan klorin (salah satu penyusun utama CFC adalah klorin) dengan ozon? Ozon, yang menyebabkan langit kita berwarna biru itu, tersusun dari molekul oksigen (O2) tipis di stratosfer yang dipencar dan disatukan kembali menjadi O3 oleh sinar UV dari matahari. Namun CFC yang naik ke stratosfer ketika bertemu dengan ozon akan memecahkan diri dan memecah ozon. Cl + O3 => ClO + O2. Tahukah kau berapa kekuatan sebuah atom klorin? Sebuah atom klorin dapat memecah 1.000 molekul ozon. Ketika ClO bergabung dengan molekul unsur atau molekul senyawa lain sebutlah gabungan antara nitrogen dan oksigen, maka dia akan membentuk sebuah senyawa lain yang lebih stabil, yang disebut reservoir substances, seperti klorin nitrat (ClONO2). Dari sanalah kemudian ozon menipis.

Namun penipisan ozon dan lubang ozon adalah hal yang berbeda. Lubang ozon terbentuk ketika PSCs, gegana tipis yang dingin itu, yang bisa saja terbentuk dari asam klorida (HCl) bertemu dengan reservoir substances tadi. Reservois substances tadi akan terpecah lagi menjadi bentuk klorin yang lebih aktif (sebutlah misalnya Cl2) di samping HNO3. Klorin aktif inilah yang ketika bertemu dengan ozon merusak ozon sama sekali. Ozon yang sudah kikis diserut kembali dalam benturan-benturan molekul yang parah hingga tak berbekas. Dampaknya adalah tak ada lagi penahan sinar UV, salah satu penyebab kanker kulit.

Namun jangan salah, bukan sinar UV yang menyebabkan global warming. Sinar UV memang dapat menyebabkan kanker kulit, tetapi bukan perubahan iklim. Jika pun ada dampaknya sangat kecil. Terlebih sejak PBB meluncurkan Montreal Protocol pada tahun 1987, larangan produksi dan penggunaan produk yang merusak ozon. Protokol tersebut ditandatangani oleh 197 negara anggota PBB. Pada tahun 2005, para peneliti di NASA menemukan bahwa ozon kita telah pulih hingga 20 persen. Dan tahun 2018 kemarin ozon kita telah kembali sembuh. Diprediksi tahun 2030an nanti lapisan ozon kita benar-benar pulih. Namun mengapa justru sekarang kamar kos kita semakin panas? Jawabannya sebenarnya justru adalah karena pulihnya ozon. Sayangnya, aku tidak akan membahas ini sekarang, ini akan menjadi bagian dari surat kedua dari trilogi ini, yang akan menjadi bagian tergelap dari suratku tentang selimut. Namun, awaslah pada hal ini, lubang pada ozon menyebabkan bahaya besar karena tidak ada lagi yang menyerap sinar UV, tetapi kembalinya ozon menyebabkan bahaya yang lain. Relasi dengan alam memang tidak pernah sederhana, tapi sayangnya kadang kita kerap menyepelekannya.

Surat ini hendak kulanjutkan dengan ucapan terima kasih pada selimut kita. Selimut kita nyatanya berlapis-lapis. Lima lapis tepatnya, jika kita menghitung eksosfer (Aku sudah menulis pembagian atmosfer, tapi kuputuskan tidak akan kumasukkan dalam trilogi ini, karena bisa jadi begitu mekanis dan begitu panjang, aku akan membagikannya lain kali dalam surat yang lebih ringan. Percayalah, bagiku surat kali ini tidak terlalu berat, tetapi mencekam – khususnya bagian kedua nanti). Selimut kita ini memanjakan kita dengan yang hari ini kita sebut kehidupan. Tanpa selimut ini tak ada kehidupan. Tidak akan ada cerita tentang kita. Tidak akan ada surat-surat bersambung kita yang panjang dan menjemukan ini.

Lihatlah tetangga-tetangga kita. Merkurius tidak memiliki selimut yang cukup mumpuni – ada memang lapisan eksosfer yang aneh, tapi berbeda sekali dengan selimut kita. Jaraknya yang terlalu dekat dengan matahari membuat selimutnya terus terbakar. Dampaknya, tanpa selimut itu, siang di Merkurius begitu panas (hingga 427 °C) dan malam begitu menusuk tulang (hingga -173 °C). Berbeda dengan Venus, selimutnya terlalu padat, 92 kali lebih padat dari selimut kita. Itu selimut atau bonggol pintu? Dan alih-alih bulu angsa, selimutnya terbentuk dari karbondioksida yang terus terionisasi. Kau mungkin bertanya, bukankah karbon dioksida itu penyebab global warming, efek rumah kaca? Tepat, Venus adalah planet dengan efek rumah kaca paling parah, karena itu Venus adalah planet dengan global warming – bukan lagi warm tapi heating – paling ganas. Kalau kamu pingin pakai selimut Venus, maka kamu harus siap untuk menikmati suhu 462 °C. Es batu pun langsung menguap hilang, tanpa sempat meleleh dan menetes-netes di sana. Kecepatan angin di sana mencapai 85 m/ detik atau 300 km/ jam. Jadi bukan saja kamu akan terpanggang, kamu akan terlempar mental ke sana kemari kalau memakai selimutnya. Mars? Selimut Mars sangat tipis dan sebagian besar berisi karbon dioksida juga. Selimut mars begitu berdebu karena seringnya badai debu di sana. Jaraknya yang jauh dari matahari menjadikannya suhu rata-rata di sana – 46 °C. Suhu terendah di planet itu -143 °C, hanya ketika musim panas, dan siang daerah ekuator mencapai suhu 36 °C.

Itu selimut di inner planet, bagaimana dengan outer planet? Jupiter sang raksasa memiliki selimut troposfer setebah 50 km (bandingkan dengan troposfer kita yang hanya setebal 6-18 km). Jangan berharap bertemu oksigen, karena selimutnya tersusun oleh ammonia. Kecepatan angin di sana lebih ganas daripada Venus, rata-rata kecepatan angina di sana 100 m/ detik atau 360 km/jam bahkan bisa mencapai 620 km/ jam. Itu angin atau naik pesawat jet? Namun bicara Jupiter dan outer planet lain sebenarnya lebih berbicara perkara kasur atau struktur planet itu sendiri. Hanya inti planet Jupiter yang bebatuan solid, selebihnya adalah gas. Dia memang raksasa dentgan gravitasi dan massa luar biasa, tapi sebagian besar tak ada yang solid di sana. Jangan harap bisa tidur dengan nyaman.

Saturnus yang cantik itu memiliki selimut yang tersusun oleh hidrogen dan helium. Dan sama seperti Jupiter, merupakan planet yang tersusun dari gas. Selimut Saturnus adalah juga kasurnya. Kecepatan angin di sana mencapai 500 m/detik atau 1800 km/jam. Indah sih, tapi mawut. Uranus begitu jauh dari matahari, sebuah planet gas juga. Artinya persis Saturnus, kita tak bisa membedakan antara kasur dengan selimutnya. Kecepatan angin di sana tak secepat Saturnus, hanya 900 km/ jam saja. Kau tidak akan membutuhkan pesawat, mengendarai angin saja, berangkat dari Jogja satu jam sudah langsung sampai Jambi. Neptunus tidak berbeda, bedanya hanya di kecepatan angin. Di Neptunus kamu bisa mengendarai angin dengan kecepatan 2.400 km/ jam. Diam saja di tempat, dalam satu detik tubuh kamu sudah terlempat 600an meter. Pasti sedap.

Gini kok ya kita meremehkan selimut kita. Bahkan kadang tak terlalu mengargainya hingga menganggapnya tiada. Padahal tanpa selimut itu, malam ini kita gak bakalan bisa mimpi Nicholas Saputra atau Dian Sastro. Boro-boro mau mimpi, sudah terpanggang panas atau terlempar angin. Jadi masih pingin pakai selimut tetangga? Bisa-bisa serupa Repvblik: Mana mungkin selimut tetangga/ hangati tubuhku dalam kedinginan/ malam, malam panjang setiap tidurku/ selalu kesepian.